Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Aku sudah menebak Bang Ramdan pasti akan memanfaatkan kemiskinanku suatu hari. Sejujurnya, baik aku mau pun Mamah kami sangat syok ketika mengetahui kalau almarhum bapak yang sudah setahun meninggalkan kami ternyata berhutang pada Bang Ramdan dan buruknya itu dilakukan selama kami menikah.
Mendapati fakta itu, Mamah benar-benar kecewa. Dia terus menangis karena merasa terkejut ujian ini terjadi kepada keluarga kami sementara aku tidak tahu harus berekspresi apa. Otakku buntu, bagaimana pun aku tidak mau perceraianku terganggu karena hutang itu. Namun, patut diakui kalau uang 200 juta bagiku sangat besar.
Ke mana kami harus mencari uang sebanyak itu? Bahkan dengan memberikan seluruh tabungan kamu pun tidak cukup?
"Sekarang gimana, Mon? Apa yang harus kita lakukan? Maaf ya Mon, Mamah beneran gak tahu kalau bapak berhutang sebanyak itu, maaf ya Mon, andai Mamah tahu mungkin Mamah udah ngelarangnya, maafin Mamah Mon, maaf ...." ujar Mamah. Suaranya terdengar seperti rintihan.
Wanita berumur 56 tahun itu menangis sambil memelukku yang hanya bisa diam di kursi. Memperhatikan sekeliling yang terasa hampa dan kosong. Samar kulihat Dina pun sama terisaknya, gadis itu diam-diam menangis tanpa suara.
Mungkin saat ini kami sama-sama sedih dan bingung. Terutama Mamah terlihat merasa sangat bersalah karena telah melibatkanku dalam urusan hutang piutangnya yang ia dirahasiakan dari kami.
Aku mengelus punggung Mamah. Dalam hal ini, hatiku tahu pasti kalau tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi.
"Sudahlah Mah, gak apa-apa sekarang lebih baik kita cari jalan keluarnya. Insya Allah kita akan coba meminjam Mah," jawabku sendu.
"Tapi siapa yang bakal minjamin uang sebanyak itu Mon? Di zaman sekarang semua orang sulit, apalagi saudara kita juga gak ada yang bisa diandelin," erang Mamah.
"Gimana kalau ke Wa Eti aja Mah? Dia kan warisannya banyak dari Nenek. Dia juga pedagang telur dan banyak sawahnya." Dina tiba-tiba nyeletuk, gadis itu mengangkat wajahnya untuk mempertegas usulan.
Mamah menggeleng gak setuju. "Gak mungkin kalau ke Wa Eti, dia itu pasti akan menghina kita kalian tahu kan sifatnya seperti apa. Dia selalu merendahkan," jawab Mamah seraya mengusap air di sudut matanya.
"Ya emang sih tapi kan gak masalah untuk dicoba Mah, ini demi Teh Mona Mah, kasian Teh Mona, mudah-mudahan aja kalau dia tahu kondisi kita hatinya akan luluh."
Aku tercenung. Dina benar bisa jadi setelah mengetahui tentang kondisi kami Wa Eti yang suka merendahkan orang itu bisa lulus. Diam-diam aku melirik ke arah Mamah, kulihat diam-diam mata tua Mamah pun mengeluarkan air mata. Seumur-umur aku tak pernah melihat mamahku menangis sehebat ini bahkan di saat Bapak meninggal pun Mamah terlihat tegar. Melihat itu aku meraih tangan tua Mamah dan menggenggamnya erat.
"Mah, udah gak usah nangis lagi. Sudah, jangan salahkan keadaan karena nasi sudah menjadi bubur. Anggap saja mungkin ini sudah jadi bagian dari ujian Mona, insya Allah Mona akan mencari jalan untuk melunasi hutang Bapak. Lagi pula, dia tidak bisa apa-apa, bukti perselingkuhan sudah Mona simpan. Jadi, Mamah tenang aja Mona tetap gak akan rujuk," kataku yakin.
Jujur, aku pribadi tidak takut tentang ancaman Bang Ramdan Bagiku, dia hanya lelaki licik yang memanfaatkan keadaan. Sebagai istri, selama ada bukti tentu saja aku bisa menggugat cerai.
Lalu, kenapa aku harus takut?
Hanya saja sekarang yang kukhawatirkan adalah orang tuaku. Pasti Bang Ramdan akan terus merongrong mereka, aku tahu betul kepicikan sikap Bang Ramdan dan Mbak yuli.
"Tapi gimana caranya, Mon? Gimana caranya kamu akan bayar?" tanya Mamah prihatin.
"Assalammu'alaikum!"
Aku baru saja mau menjawab pertanyaan Mamah ketika seseorang mengucapkan salam dari luar pintu rumah. Reflek aku dan Mamah sesaat bertukar pandang karena tak biasanya ada tamu semalam ini, sampai akhirnya Dina si adik bungsuku bangkit dari kursi.
"Biar Dina aja Mah yang buka pintu, kali aja itu teman Dina--Alif," ujar Dina yang langsung ngibrit menuju ruang tamu untuk membuka pintu. Wajahnya yang semula sedih jadi tampak bersemangat.
Aku tahu, sebenarnya selama ini Dina sudah ingin menikah tapi karena melihat kondisi keluarga kami yang morat marit sedang kesusahan maka dia memilih untuk lebih banyak bergaul tanpa menjalin hubungan, salah satunya dengan Alif si anak kepala desa.
Diam-diam aku berharap semoga Dina suatu saat bertemu pria yang tepat dan shalih sehingga bisa menjalani pernikahan yang baik tidak seperti kakaknya ini.
Tak lama Dina kembali sambil berlari-lari bak baru melihat setan. "Teteh! Teteh!" teriaknya.
"Loh, kenapa Din? Kenapa kamu ngos-ngosan gitu? Siapa yang bertamu?Apa itu Alif?" tanyaku sambil berdiri ikut kaget.
"Bukan Teh, Bukan! Ayo ke depan, ada orang ganteng nyariin Teteh. Ayo, sini!"
Aku mengernyitkan kening. "Orang ganteng? Siapa Din?"
"Mas Satria Teh! Mas Satria!"
Mendengar nama itu, mataku seketika membulat sempurna. Tanpa banyak bicara lagi, aku langsung beranjak dari kursi untuk menemui orang yang dimaksud.
Mengapa Mas Satria datang ke rumahku semalam ini? Ada apa? Bukannya dia bilang mau menghajar Bang Ramdan tadi di pesan terakhirnya?
Sampai di depan pintu, sesuai info Dina aku mendapati seorang lelaki sedang menggendong seorang anak lelaki berusia empat tahun di tangannya.
"Mas Satria?" pekikku.
"Assalammu'alaikum Mon, apa saya mengganggu kamu?" sapa Mas Satria dengan senyuman khasnya yang bijak.
Gak terasa sudah hampir setahun aku tak melihatnya karena gak terlalu memperhatikan juga ketika dia pulang, selama ini aku hanya dua kali berkomunikasi sama Mas Satria.
Pertama saat dia menanyakan kondisi Mbak Yuli yang sulit dihubungi beberapa bulan lalu dan kedua saat aku memberitahukan tentang chat mesum antara istrinya dan suamiku. Lalu, setelah lama gak ketemu nyatanya dokter satu ini sudah banyak berubah. Wajahnya menjadi lebih tampan dari kali terakhir kami bertemu dan badannya lebih berisi hingga tampak kekar.
Ya Allah, kok bisa Mbak Yuli tega menyia-nyiakan Mas Satria demi Bang Ramdan yang ketampanannya jauh dari Mas Satria?
Ah, sudahlah! Kalau nafsu sudah berbicara genderuwo pun berubah bak melihat Gong Yoo.
"Mon? Hey, Mon!" tegur Mas Satria ketika aku malah bengong.
Aku terkesiap. "Eh, Mas? Eh, iya Mas gak apa-apa. Ngomong-ngomong ada apa Mas? Oh, ya Mas udah ketemu Bang Ramdan sama Mbak Yuli?" tanyaku penasaran.
Mas Satria melangkahkan kakinya lebih dekat seakan ada hal penting yang ingin ia ceritakan.
"Ya saya udah ketemu dan saya sudah menghajar Ramdan," ujar Mas Satria dengan raut wajah dingin.
"Menghajar? Wah bagus itu! Dia pantas mendapatkannya. Saya puas banget dengernya. Tapi Mas, gimana masalai perce--"
"Mon, maaf memutus ucapanku tapi sebenarnya tujuan utama saya ke sini adalah untuk menyerahkan ini," potong Mas Satria seraya memberikan sebuah amplop berisi uang yang jumlahnya kurang lebih lima juta.
Aku tercengang sambil menerima amplop itu. "Ya Allah Mas, ini apa? Kok ngasih uang sebanyak ini?" tanyaku terkejut.
Mas Satria berdehem sambil menggaruk kepalanya yang gak gatal. "Hem ... sebenarnya itu adalah uang yang dipinjam Yuli dari kamu yang saya kembalikan."
"Loh kok malah Mas yang bayarin?" Aku memekik.
Rasanya gak nyangka, dia mau jauh-jauh datang hanya untuk membayarkan hutang Mbak Yuli yang telah menyakitinya. Bahkan saking sudah lamanya Mbak Yuli meminjam aku sampai lupa kalau Mbak Yuli pernah meminjam ini.
Mas Satria tersenyum miris. "Jujur, tadinya saya gak mau bayarin tapi saya sadar kamu pasti butuh uang ini apalagi buat mengurus perceraian juga butuh biaya."
"Iya sih Mas tapi ini kan bukan urusan Mas lagi, lagi pula Mbak Yuli meminjam untuk kepetingannya pribadi."
"Iya saya tahu tapi saya takut kamu membutuhkannya. Jadi saya harap kamu menerima ini semua. Dan saya juga jauh-jauh ke sini hanya ingin bertanya sama kamu. Apa benar bapakmu berhutang pada Bang Ramdan sebesar 200 juta?"
"Astaghfirullah! Jadi, Mas sudah tahu?" tanyaku memekik kaget.
Bagaimana dia bisa tahu? Apa mungkin dia menguping ketika beberapa saat lalu di sini terjadi kericuhan? Ya ampun ... mau diletakkan di mana mukaku?
Mas Satria tak lekas menjawab, dia terlebih dulu menghembuskan napasnya dalam lalu menatapku lurus tepat ke netra seperti hendak membolongi tempurung kepalaku.
"Ya saya sudah tahu Mon, maaf jika saya lancang tapi jika diijinkan apakah boleh bila saya saja yang bayarin hutang keluargamu?" Wajah Mas Satria berubah sangat serius.
Aku menautkan alis tak mengerti. "Loh, kenapa Mas? Kenapa harus Mas yang bayar?"
"Karena saya ...."
"Dasar wanita binal! Pantas saja suamiku ingin bercerai! Ternyata ini semua pengaruh darimu! Awas kamu ya Mon!"
Belum juga Mas Satria menyelesaikan kalimatnya, tetiba aku melihat sosok Mbak Yuli tiba-tiba datang dari arah depan.
Sungguh, aku kaget karena sama sekali tak mengetahui arah datangnya dan buruknya pandangannya bahkan begitu marah.
Allahu Akbar! Ngapain di pelakor itu di sini?
Aku tercekat begitu pun Mas Satria. "Yuli, apa yang kamu lakukan di sini?" bentak Mas Satria. Tapi, Mbak Yuli bukannya menjawab, dia malah terus maju dengan ayunan di tangannya.
"Halah! Gak usah ikut campur, Mas! Ini urusanku sama Mona karena wanita ini butuh ditampar biar sadar! Mona rasakan ini!"
Bersamaan dengan teriakan Mbak Yuli, sebuah ayunan tangan dengan gerakan menampar hendak terayun ke arah mukaku. Sontak saja mataku membulat terkejut.
Ya Allah, apa dia akan ...?!
PLAK!
"Allahu Akbar!'
Aku menutup mulutku yang menganga saking syoknya karena ternyata sebelum telapak tangan Mbak Yuli sampai ke pipiku ada wajah lain yang menggantikanku.
Siapa lagi kalau bukan ....
"MAS SATRIA?!"
Mas Satria terlihat menajamkan matanya sambil memegang tangan Mbak Yuli dengan kuat. Lelaki itu terlihat sangat marah karena kelakuan Mbak Yuli yang di luar dugaan. Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, ingin rasanya marah tapi ada Mas Satria yang lebih berhak untuk mengurus Mbak Yuli karena aku terlalu lelah. Dalam kemarahan, aku hanya bisa bertanya-tanya. Kenapa Mbak Yuli bisa ada di sini? Kenapa dia tiba-tiba mau menamparku?"Mas, Mas, lepasin! Kenapa Mas membela jal*ng ini? Kenapa Mas? Apa mungkin sebenarnya Mas it--""Diam kamu Yuli! Berhenti bermain playing victim! Jangan menghina hati wanita yang sudah kamu rebut suaminya! Ingat kamu sudah banyak berhutang sama dia, seharusnya kamu malu!" Mas Satria tiba-tiba memotong teriakan Mbak Yuli secara membabi-buta.Mbak Yuli sejenak membeku, mungkin dia tidak menyangka kalau Mas Satria malah membelaku.Mbak Yuli, terimalah karmamu!"Ja-jadi, Mas tahu kalau aku berhutang sama Mona?" ta
Aku pergi ke rumah sakit yang disebutkan Mela bersama Dina dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Dina kuliah. Sepanjang perjalanan aku benar-benar cemas tapi tetap berusaha untuk bersikap waras sementara Dina terus saja menangis dan menambah kekalutan. Jujur, jauh di dalam hati aku pun merasa sangat kalut setelah mendengar Mamah kecelakaan tapi sebagai kakak sulung aku harus bisa lebih tenang dibanding adikku. Walau benak ini terus saja mempertanyakan.Bagaimana ini bisa terjadi pada Mamah? Kenapa Mamah bisa kecelakaan? Kenapa ujian ini gak berhenti melingkupi kami? Kenapa Mamah harus terluka di saat aku sedang berjuang untuk perceraianku?"Ya Allah! Tolonglah kami," desahku di antara suara bising kendaraan.Saat ini meski perasaanku campur aduk yang bisa kulakukan hanya terus berdoa agar mamah gak kenapa-kenapa walau kuakui aku terlalu takut kehilangan Mamah. Tidak perlu waktu lama, akhirnya kami sampai di rumah sakit, kulangkahkan kedua kakiku secara cepat menyusuri ruangan
Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Perasaanku kini cukup lega karena biaya rumah sakit Mamah tertangani tanpa harus menjadi simpanan dokter Aldo.Aku tidak terbayang kalau Mas Satria telat datang ke ruangan dokter Aldo, aku pasti akan terjebak dan terpaksa mengambil jalan yang salah. Menurut info dari Mas Satria, ternyata dokter Aldo yang menangani Mamah emang sudah dicurigai suka memeras pasiennya. Jadi, gak heran kalau dia memanfaatkan kondisiku yang miskin demi keuntungannya.Sekarang pertanyaannya, kenapa Mas Satria bilang aku keluarganya? Kalau pun kami pernah satu mertua tapi kan sekarang kami sama-sama mantan keluarga? Lalu kenapa dia mau membantuku?Atau ... agh! Sudahlah mengingat ucapan tegas Mas Satria yang seperti membelaku tadi di depan dokter Aldo membuat aku berharap lebih. "Aww!"Aku mengerang seraya memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat sejenak, lagipula ketika tadi kuc
"Mon, Mona?" Panggilan lirih seorang lelaki membuat aku terbangun dari lena.Aku mengerjapkan kedua mataku dengan hati-hati. Saat ini pusing di kepalaku mulai agak berkurang hanya mualnya saja yang masih terasa. Aku terkesiap ketika melihat Mas Satria ada di samping bed tempat aku dibaringkan.Di situlah aku menyadari kalau aku bukan lagi ada di lorong rumah sakit tapi di suatu ruangan mirip kamar periksa karena hidungku bisa mencium bau obat yang pekat."Mon, kamu sudah bangun?" Mas Satria menatapku cemas. Dia memegang tanganku untuk memastikan bahwa aku sadar sepenuhnya.Aku melirik ke arahnya. "Ehm ... iya Mas. Ini di mana Mas? Saya pingsan, ya?"Dia tersenyum simpul. "Iya kamu pingsan. Sepertinya kamu kekurangan nutrisi. Ayo, diminum dulu, " ujar Mas Yuga sambil membawa segelas air putih dari atas nakas. Dengan perlahan dan lembut, dia membantuku duduk bersandar ke ranjang.Aku meminum air itu hingga tandas di bawah pandangan Mas Satria yang masih terlihat khawatir."Gimana rasany
"Awas saja kalau kamu menggoda Mas Satria! Sampai kapan pun aku tidak akan melepaskannya!" Lagi. Ancaman Yuli terngiang-ngiang bagaikan peluru yang terus memborbardir kepalaku dengan ucapannya. Beruntung, beberapa waktu lalu obrolan dengan Mbak Yuli tak berlangsung lama karena perawat langsung datang dan membolehkan aku untuk keluar dari IGD. "Hah ...." Aku menghela napas seraya duduk termangu di depan ruang rawat Mamah. Tak terasa sudah hampir sebulan lamanya Mamah dirawat, semenjak itu juga aku bertekad menjaga Mamah dan gak mau pingsan lagi di IGD seperti sebelumnya. Alhamdullilah, berkat usaha semuanya Mamah berangsur pulih.Gumpalan darah di otak Mamah syukurnya bisa disembuhkan dengan operasi yang dilakukan oleh Mas Satria. Aku bersyukur bisa bertemu dengan pria itu, dia mengawasi kesehatan Mamah hingga Mamah siuman dan berpindah dari ICU ke ruang rawat biasa. Sekarang tinggal penyakit kanker Mamah yang harus terus menjalani pengobatan.Ini keajaiban. Alhamdullilah. Namun, t
"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be