Istal istana kosong melompong. Tak ada kuda maupun kereta yang tersisa. Semuanya lenyap. Ada satu kuda yang berbaring di kandang. Keadaannya tak lebih baik dari mereka. Kuda itu kurus dan lemas. Bahkan untuk mengangkat kepala saja sulit. Fjola tak mungkin memaksanya membawa mereka bertiga, mustahil.“Lepaskan aku,” rintih Barrant. “Aku harus membunuh peri itu.”“Diamlah, Barrant!” Fjola yang kelelahan tambah frustrasi. “Kita ke pintu belakang. Semoga saja ada kuda yang dapat kita gunakan,” tambahnya memberi aba-aba kepada Ishak yang memapah sang pangeran di sisi satunya.Untungnya, pintu belakang istana tidak terkunci, bahkan menjeblak terbuka. Fjola menyeret tubuh Barrant yang langkahnya diseret melewati pintu besi itu. Namun, saat berhasil keluar, Fjola harus kecewa karena tak ada apa pun di sana kecuali seorang prajurit telanjang yang pingsan. Ia dan Ishak berusaha menyeret tubuh Barrant yang kini pingsan menjauh dari istana.Sebuah gerobak berisi tong-tong bekas makanan teronggok
Sementara itu, di sebuah ruangan kecil di istana Malakora, sebuah kotak seluas 2 x 3 meter yang tingginya hanya satu meter dan terbuat dari baja, dengan kaca sebagai jendela, dikunci sedemikian rupa sehingga hanya lubang sepanjang kepalan tangan yang disekat teralis menjadi satu-satunya jalan untuk udara. Seorang peri berambut cokelat kayu dipernis terikat dengan kedua tangannya terentang. Ia tergantung dengan posisi setengah berlutut. Kakinya yang lemah tertekuk ke belakang. Kepalanya menunduk. Bajunya koyak, beberapa bagian tampak bekas terbakar. Darah dan kotoran menghiasi sosoknya.Seorang peri cantik berjalan masuk ke ruangan itu bersama dua pengawalnya yang setia. Salah seorang pengawal itu menarik kursi sampai di depan kotak baja. Setelahnya, peri cantik tadi duduk di sana, menyilangkan kaki dan bersedekap. Matanya memandang kotak dengan pongah. Ia mengibaskan tangan, menyuruh pengawalnya untuk membuka pintu kotak itu.Salah satu pengawal itu tergopoh-gopoh menuju kotak baja, m
Langkah makhluk itu tampak mantap saat mendaki bukit. Meski tubuhnya berat sehingga mata kakinya terbenam dalam tumpukan salju, ia berjalan dengan langkah ringan. Seringai menghiasi wajahnya yang jelek, membuatnya semakin jelek. Pedangnya yang tajam dan panjang diseret hingga bagian ujungnya membelah salju di bawah, menciptakan bekas yang mengalur di samping jejaknya. Matanya menatap lurus ke tujuan. Setelah dua hari mengikuti, akhirnya ia mampu mengejar buruannya.Meski rajanya tidak memerintahkan secara langsung untuk memburu mereka, namun dari pengalamannya, Malakora selalu membunuh anggota kerajaan dari negeri yang diserangnya. Ia ingat ketika mereka menyerang salah satu kerajaan yang mayoritas penduduknya merupakan bangsa kurcaci. Waktu itu hampir semua prajurit mereka binasakan. Namun, Malakora tak berhenti membantai.“Sudahlah! Biarkan sisannya kita pekerjakan sebagai budak. Bukankah mereka pandai membuat senjata?” katanya.Malakora yang baru saja merenggut seorang bayi dari de
Fannar merasa sia-sia melepaskan anak panah ke makhluk yang sedang mengayunkan pedang secara membabi buta di depannya. Pasalnya, kulit makhluk itu sulit dilukai hanya dengan sebuah panah bermata besi. Meski dalam jarak yang dekat serangannya tak mampu melukai lawan. Yang ada si lawan malah bertambah murka.Makhluk itu menusukkan pedangnya yang panjang ke tubuh kecil Fannar tanpa ampun. Dengan kegesitan yang luar biasa, pemuda belia itu mampu menghindar. Tangannya yang bebas meraih benda apa pun di dekatnya untuk dilempar ke makhluk itu. Ia malah tampak seperti anak kecil yang merajuk. Hal itu membuat si makhluk semakin jengkel.Makhluk yang adalah salah satu panglima terkuat Malakora itu pun menyapukan pedangnya memutar ke sekelilingnya. Hal itu menyebabkan baju bagian dada Fannar terkena ujungnya lalu robek.Zoe yang datang setelah memastikan kuda yang membawa lari Fjola dan Pangeran Barrant sudah melaju dan tak kembali pun menghujamkan belatinya ke punggung sang makhluk ketika lenga
Fjola bakal percaya kalau dirinya sudah mati apabila makhluk buas yang tadi menyerangnya menghilang. Karena bagaimanapun, ia yakin bahwa makhluk sekeji itu tak mungkin dapat masuk ke dalam dunia kekal nan nyaman serta indah. Lagi pula, saat ia menengok ke samping, Barrant masih tertelungkup tak berdaya.Yang paling membuatnya yakin ini hanya mimpi adalah keberadaan Arnor yang berdiri di depannya, menahan pedang makhluk menyeramkan yang berniat membunuhnya. Padahal, dari kilasan yang pernah dikirimkan oleh Eleanor, saudara kembar Arnor yang memiliki kekuatan pikiran, ia mendapat kabar bahwa Arnor sudah mati. Ditambah ucapan Malakora ketika menyerangnya, Fjola kian yakin bahwa peri itu telah tiada. Namun sekarang, sang peri berdiri di depannya. Tubuhnya solid dan utuh. Meski baru bisa melihat punggungnya, gadis itu yakin Arnor baik-baik saja. Ia hidup.Hati Fjola lega luar biasa. Bahkan saking lega dan bahagia, ia sampai menitikan air mata. Dalam hati, ia bersyukur dapat bertemu lagi de
“Bagaimana? Apa aku sudah mirip budak yang cantik?” tanya Fjola mengelus rambutnya yang pendek. “Belum,” bisik Arnor sang peri berdiri di belakang gadis itu. “Tapi, tetang saja. Aku akan mengatasinya.” Dengan tangannya yang lembut, ia mengelus bahu Fjola, bibirnya mengecup tengkuk sang gadis. Darah Fjola mendesir. Napasnya tertahan. Arnor mendekatkan tubuhnya ke gadis itu hingga hampir tak ada jarak. Dadanya sampai menyentuh punggung Fjola. “Kau mau apa?” tanya gadis itu. Namun, Arnor diam saja. Perlahan, tangannya turun ke dada gadis itu dan bermain-main di sana. Bibirnya menelusuri leher Fjola yang terekspos. Jantung gadis itu berdegup kencang. Wajahnya panas. “Jangan,” ujarnya lirih. "Tolong hentikan.” Alih-alih, sang peri berbisik, “Jadilah budakku.” Napasnya yang hangat menggelitik leher Fjola hingga membuat otak sang gadis meleleh.Tangannya yang lembut lantas naik, menyentuh kerah kemeja Fjola. Perlahan, ia menarik turun kerah itu. Pundak sang gadis menjadi terekspos.
Seorang pria berdiri di tengah panggung alun-alun. Bajunya yang bernuansa merah terang begitu mencolok. Manset emas yang dikenakannya menandakan bahwa ia memiliki posisi penting dalam kerajaan. Rambutnya yang pirang dibentuk sedemikian rupa hingga melengkung di ujungnya. Raut wajahnya kaku, begitupun dengan gesturnya. Dua orang prajurit mengapitnya. Mereka memukul gong kecil yang dibawanya guna meminta perhatian para penduduk yang berada di sekitar.Pagi hari begini, para penduduk memadati alun-alun yang juga digunakan untuk berjualan, atau tukar menukar barang, hasil panen, maupun ternak. Penduduk Negeri Veggur berbondong-bondong memenuhi kebutuhan mereka karena musim dingin telah tiba. Sebelum badai salju datang, mereka harus memenuhi stok kebutuhan makanan kalau tidak mau mati sia-sia.Setelah mendapat perhatian para penduduk, lelaki berwajah kaku tadi mengangkat tangannya yang berisi sebuah gulungan perkamen. Melihatnya, tahulah para penduduk bahwa sang lelaki merupakan juru bicar
Bagi kebanyakan orang, mimpi indah dapat membuat pagi hari lebih ceria, tetapi tidak berlaku untuk Fjola. Meski indah, mimpi itu justru menjadi ironi yang menyesakkan jiwanya.Mimpi itu bukanlah mimpi yang muluk-muluk, hanya sebuah mimpi sederhana yang berasal dari masa lalunya. Dalam mimpi itu ia dapat melihat ayah dan ibunya tengah bermesraan di padang rumput yang luas sembari menatap hamparan langit yang terang nan indah. Mereka duduk berselonjor kaki di rumput. Raut mereka tampak tanpa beban. Senyum merekah di wajah mereka. Tangan mereka saling tertaut. Sesekali, mereka melemparkan pandangan penuh damba.Fannar, adiknya yang masih belia berlarian, mencoba menangkap belalang. Pekik keceriaannya terasa bagaikan simponi yang menyenangkan.Fjola berjalan ke arah mereka dengan lambat. Tangannya terulur ke depan, seolah ingin meraih mimpi itu, tetapi tak bisa. Mereka tak menyadari keberadaannya. Ia mencoba berteriak, memanggil mereka. Namun, suaranya tak keluar. Fjola menunduk frustrasi