Share

Sebuah keyakinan

Setelah berbincang beberapa saat, April sepakat untuk mencoba memperkerjakan Andra terlebih dahulu sebelum memutuskan akan terus memakai jasanya atau tidak.

“Baik Pak Andra, besok Anda sudah bisa mulai bekerja ya. Saya akan memberi waktu percobaan selama tiga bulan, setelah itu akan saya putuskan bagaimana selanjutnya.”

Andra mengangguk pelan. “Terima kasih banyak Bu Aprilia atas kesempatan yang Ibu berikan kepada saya. Saya akan bekerja sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan Ibu,” sahutnya sambil tersenyum dan membetulkan kaca matanya.

“Boleh saya bertanya sesuatu?”

“Silakan, Bu.”

“Anda asli orang sini? Pernah ke Indonesia sebelumnya? Apa Anda mempunyai saudara kembar?” cecar April membuat Andra menautkan alisnya. Merasa bingung dengan rentetan pertanyaan yang diajukan oleh atasan barunya itu.

“Maaf sebelumnya Bu, tapi di data yang saya berikan pada perusahaan ini semuanya sudah lengkap dan Anda bisa membacanya di sana,” tolak Andra sesopan mungkin.

“Hmm maaf ya, saya hanya merasa kalau kamu mi—“ April tidak meneruskan perkataannya, perempuan itu menghela napas dalam seraya mengusap wajahnya.

Andra memberikan April segelas air putih yang terletak di atas meja. “Silakan Anda minum dulu, Bu.”

April menerima gelas itu, lagi-lagi mata mereka saling beradu pandang. Menimbulkan perasaan tersendiri di hati April, entah mengapa ia melihat pria di hadapannya seperti sosok suaminya, Alan.

“Ya Tuhan, perasaan apakah ini. Dia bukan Alanku tapi mengapa setiap menatap ke dalam matanya, aku seperti sedang berhadapan dengan Alan,” batin April sambil menatap Andra tak berkedip.

Andra berdeham, membuat April tersadar dari lamunannya lalu meminum air pemberian pria itu sambil sesekali melirik ke arah pria di hadapannya yang sangat mirip dengan suaminya.

“Apa ada yang bisa saya kerjakan untuk Anda?” tanya Andra sambil sesekali membetulkan letak kaca matanya.

April menggeleng pelan. “Tidak ada, jam kantor sudah berakhir. Anda bisa pulang dan mulai bekerja besok, Pak Andra.”

“Baik Bu, kalau begitu saya permisi,” pamit Andra sambil beranjak, bersalaman dengan April kembali lalu melangkah pergi meninggalkan ruangan atasan barunya itu. “Huh, lega rasanya,” gumamnya dalam perjalanan pulang.

April memijit pelipisnya yang terasa pening karena pertemuannya dengan Andra, asisten barunya yang sangat mirip dengan Alan.

“Kamu kenapa, Pril?” tanya Andrew sambil memasuki ruangan April.

April menggeleng pelan. “Tidak papa Kak, hanya sedikit pusing.”

Andrew mengambil duduk di samping April, menempelkan tangannya pada kening adik iparnya itu. “Apa kamu sakit? Mau kuantar ke dokter?” tawarnya dengan khawatir.

April mengalihkan tangan Andrew dari keningnya. “Aku tidak papa Kak, sungguh,” sahutnya sambil tersenyum tipis. “Di mana yang lain?”

“Ya sudah, kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk meminta bantuanku. Zac dan Dafa sudah pulang lebih dulu, katanya ingin segera sampai apartemen untuk beristirahat,” terang Andrew.

“Iya Kak, ya sudah kalau begitu kita pulang juga. Aku akan bersiap sebentar,” ujar April beranjak dari duduknya lalu bersiap untuk segera pulang bersama Andrew.

**

“Andra, bagaimana wawancara kerjamu? Apa kamu diterima bekerja kembali di sana?” tanya Alex.

Andra mengangguk antusias. “Tentu saja, sudah kubilang kan. Aku akan kembali ke sana, terima kasih ya kalian telah banyak membantuku selama ini,” ucapnya lalu tersenyum.

“Sama-sama, kami senang bisa membantumu meraih kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu,” sahut Lucia dengan merangkul lengan suaminya, Alex.

“Semua ini baru permulaan Lucia, perlahan namun pasti aku akan kembali mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku,” ujar Andra dengan tersenyum penuh misteri.

“Baiklah, mari kita makan malam bersama untuk merayakan ini,” ajak Alex.

Andra dan Lucia mengangguk setuju, lalu mereka bertiga menghabiskan waktu untuk makan malam bersama.

**

Andrew sedang mengendarai mobil bersama April yang duduk di kursi sebelahnya. Sepanjang perjalanan, April hanya melamun dan menatap keluar jendela dengan tatapan sendu seperti memikirkan sesuatu yang amat berat.

“April ...” panggil Andrew dengan lembut seraya memegang jemari April, membuat wanita itu tersadar dari lamunan lalu menatap ke arahnya.

“Ya, Kak? Apa sudah sampai?” tanya April sambil mengedarkan pandangan namun mereka masih berada di tepi jalan, karena Andrew menepikan mobilnya.

“Belum, aku sengaja berhenti karena sedari tadi hanya melihatmu yang melamun. Apa kamu ada masalah?” tanya Andrew hati-hati, namun lagi-lagi hanya gelengan yang ia dapati dari mantan tunangannya itu.

“Lalu kenapa diam saja? Apa masih sakit?” tanya Andrew lagi, ia berniat menyentuh kening April namun dengan sigap wanita itu mundur perlahan. “Hmm, maaf ...” gumamnya.

“Aku tidak papa, Kak. Lebih baik kita pulang sekarang, semuanya pasti sudah menunggu.”

“Tapi Pril, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”

April menghela napas kasar. “Baiklah, katakan saja Kak,” ucapnya tak sabar karena ingin segera pulang.

Andrew akan membuka mulut sebelum deringan ponsel April menghentikan niatnya. “Maaf ya, aku angkat dulu,” ucap April lalu menerima telepon yang ternyata dari Zac.

[Kalian kenapa belum pulang? Ini Alana menanyakan kamu terus.]

[Iya maaf Kak, sebentar lagi kami sampai. Tunggu ya.]

Panggilan mereka akhiri, Andrew tidak jadi mengutarakan perasaannya dan akhirnya mereka pun segera pulang.

**

Usai makan malam dan menidurkan Alana, April menghampiri Dafa yang sedang bersantai di balkon apartemennya.

“Dafa, bisa minta waktunya sebentar?” tanya April seraya menguncir rambutnya.

Dafa membetulkan posisi duduknya lalu mempersilakan April duduk di sampingnya.

“Ada apa Bu CEO? Apa kita mau membahas soal rapat tadi pagi?” tanya Dafa sambil bertopang dagu.

“Tidak ... bukan itu yang ingin aku bicarakan, ini tentang ... Andra.”

“Andra? Asisten pribadi kamu, memang ada apa?”

“Apa kamu sudah pernah bertemu dengan dia sebelumnya?”

“Pernah, beberapa kali.”

“Lalu?”

“Lalu kenapa memangnya?”

April mendesis kesal. “Isssh ... kamu ini ya. Memang kamu tidak sadar kalau wajahnya itu sangat mirip dengan Alan?” tukasnya.

Dafa mengernyitkan keningnya. “Apa iya? Ah, itu perasaan kamu saja. Jelas mereka berbeda,” kilahnya.

“Dafa aku serius, coba kamu perhatikan lagi. Kalau saja rambutnya tidak ikal, tidak memakai kaca mata tebal dan tidak berkumis, dia terlihat sangat mirip dengan Alan aku sangat yakin itu,” ujar April tegas.

“Tidak April, itu tidak mungkin. Andra dan Alan adalah dua pria yang berbeda,” kilah Dafa sedikit gugup. “Sudah ya aku mengantuk, besok harus ke bandara pagi-pagi sekali,” pamitnya lalu secepat mungkin meninggalkan April.

“Kenapa dia selalu menghindar? Aku yakin Andra itu sangat mirip dengan Alan,” gumam April sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan satu tangannya.

**

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status