Dokter itu menempelkan tubuh sang bayi ke dadanya, lalu menepuk-nepuk bokong. Tetapi tetap, bayi itu tak bersuara.
"Kenapa, Dok?" tanya Bima seraya berdiri. Tangan gadis itu sudah terlepas dari rambutnya.
"Ini, bayinya nggak nangis."
Dokter itu menempelkan telinga kirinya ke arah wajah bayi mungil itu, tak ada udara yang berhembus. Lalu beralih ke dada, dan detak jantungnya tak terdengar.
Tak ingin menyerah, dokter itu langsung membaringkan bayi itu pada boxs, kemudian menyentuh pergelangan tangan untuk mengecek denyut nadi.
Tetapi nyatanya kosong, bayi itu juga terlihat pucat sekarang.
"Innalilahi wa innailaihi ro'jiun. Bayi Anda meninggal dunia, Pak," katanya yang mata membuat Bima terbelalak.
"Innalilahi wa innailaihi ro'jiun." Bima melirikkan matanya ke arah gadis yang masih berbaring itu. Matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama keluar buliran bening pada sudut matanya, dia pun menangis terisak-isak sembari menutupi wajah.
"Kamu yang sabar ...." Bima mengelus pundak gadis itu sambil tersenyum getir.
Dia tahu, gadis itu pasti sangat berduka dan sakit yang teramat dalam. Dia sendiri tak bisa membayangkan jika dirinya ada diposisinya, pasti sangat perih.
"Bapak adzani dulu, Pak." Dokter itu memberikan bayi mungil yang kini berbalut selimut putih itu kepada Bima. Pria itu tampak bingung, dia merasa tak berhak mengadzani sebab hanya orang asing.
"Tolong, Om." Suara gadis itu terlontar begitu lirih, dia menatap mata Bima yang baru saja melihat ke arahnya dengan sedih. Rasanya Bima tak tega untuk menolaknya.
Pria itu mengangguk, lalu mengendong bayi itu. Perlahan dia manarik napas, lalu membuangnya dan kemudian mengumandakan adzan.
Meskipun suaranya tak terlalu merdu, tetapi cukup menyentuh hati gadis itu. Perasaannya campur aduk sekarang.
Memang sedih dan sakit, tetapi ada setitik rasa senang di hatinya yang entah apa itu sebabnya.
'Selamat lahir ke dunia dan kembali, Sayang. Ya Allah ... aku bingung harus senang atau sedih. Tapi aku yakin ... apa pun yang Allah lakukan itu untuk yang terbaik,' batinnya.
Setelah mengumandangkan adzan, Bima pun mengecup seluruh wajah bayi mungil itu.
"Tampan, sepertinya dia laki-laki ya, Dok?" Bima tersenyum lalu memberikan bayi itu pada sang dokter.
"Benar, dia laki-laki, Pak."
'Kamu akan menjadi penghuni surga. Om yakin itu,' batin Bima.
"Maaf, kalau begitu aku permisi. Masih ada urusan." Bima tersenyum sambil membujuk sedikit, lalu berlalu keluar dari ruangan itu.
Gadis itu baru saja membuka mulutnya, hendak mengucapkan terima kasih yang sempat dia lupa ucapankan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu juga sudah terlambat karena Bima sudah menghilang.
"Nona mau kasih dia nama apa? Meskipun dia sudah meninggal tapi nama itu harus ada."
***
"Sus, apa ada pasien bayi perempuan berumur 4 bulan yang masuk tadi?" Bima berada di depan pintu UGD. Bertanya pada seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan itu, disekelilingnya dia tak melihat Weni di mana-mana.
"Yang bernama Kaila Adriana Pradipta bukan, Pak?"
"Iya, betul." Bima mengangguk.
"Dia sudah masuk ke ruang perawatan bayi. Bapak ini siapanya?"
"Saya Papanya."
"Baik, saya antar Bapak."
Suster berjalan lebih dulu, sedangkan Bima mengekorinya hingga mereka sampai di ruang perawatan khusus bayi dengan nomor 111. Setelah mengantar, suster itu berlalu pergi meninggalkan Bima yang bergegas masuk.
"Kaila, bagaimana keadaan kamu, Sayang?" Bima berlari menghampiri tempat tidur. Bayi cantik itu tengah tertidur pulas di atas sana, dahinya tertempel plaster penurun panas, punggung tangannya tersambung jarum infusan.
Sudah sering sekali tangan kecil itu ditusuk untuk mendapatkan cairan lebih. Melihat semua itu sungguh sangat menyakitkan. Bayi itu hanya membutuhkan ASI langsung, tetapi sampai sekarang dia belum berhasil mengadapatkan ibu susu untuk bayinya.
"Kondisinya sangat parah, Pak. Anda harus secepatnya mencari ibu susu untuk Kaila, Pak. Semua susu formula tidak cocok untuknya. Bahkan sekarang Kaila juga kena asam lambung," jelas Dokter wanita berkacamata.
"Iya, Dok. Saya akan mencarinya lagi sekarang juga."
Bima mengangguk, setelah mengecup pipi kiri. anaknya dia pun berjalan keluar lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. Kemudian menghubungi asistennya yang bernama Budi.
"Halo, Bud. Bagaimana? Apa sudah ada info yang mau jadi ibu susu?" tanya Bima dengan suara sedih.
Sudah beberapa bulan terakhir Bima mengalami kesulitan untuk mencari ibu susu anaknya, padahal informasi itu sudah disebar luaskan tak hanya lewat brosur, tetapi media sosial juga.
Dokter pernah menyarankan Bima untuk membeli ASI perah, tetapi dia sendiri tak mau sebab belum jelas jika asal ASI itu dari orang sehat atau tidak. Dia tak mau jika nantinya akan ada pengaruh bagi anak semata wayangnya.
Jadi menurutnya, akan lebih baik dia menyewa jasa ibu susu saja, dan tentu nantinya akan diperiksa kesehatan terlebih dahulu sebelum menyusui.
"Belum, Pak. Tapi nanti saya sebar luaskan lagi infonya."
"Saudaramu nggak ada yang habis melahirkan? Mungkin dia mau menyusui Kaila, Bud? Aku nggak pilih-pilih, yang penting orangnya sehat."
"Nggak ada, Pak. Kalau ada saya pasti bawa orangnya."
Setelah mematikan sambungan telepon, kini Bima beralih menghubungi istrinya.
"Halo, Raya."
"Dih, ngapain Mas telepon?" Suara Soraya terdengar seperti mengeluh saat menjawab telepon itu. Hal tersebut sungguh membuat Bima kesal.
"Suami telepon kok jawabnya begitu! Ngapain saja kamu seharian? Dan kenapa kamu nggak ke rumah sakit?!" pekik Bima emosi.
"Rumah sakit mau apa? Aku ini lagi live I*******m. Sebentar dulu ya, Mas."
Tut ... tut ... tut. Panggilan itu langsung dimatikan begitu saja, tidak sopan sekali. Padahal suaminya belum mengatakan maksud tujuannya menelepon.
"Br*ngsek! Setiap hari kerjanya live, foto dan joget-joget terus di depan kamera! Memuakkan banget!" berang Bima sambil meremmas ponselnya. Dia sangat emosi, jelas sekali kalau Soraya seakan tak peduli. Dia hanya sibuk dengan dunianya.
"Setidaknya kamu ikut membantuku mencari ibu susu, Ray. Kalau kamu sendiri nggak mau menyusui Kaila," lirihnya dan tak lama cairan bening itu mengalir, tetapi dengan cepat Bima mengusapnya. Perlahan dia membuang napasnya kasar, dadanya terasa sakit dan bergemuruh.
"Kamu memang nggak sayang sama Kaila anak kita, Ray. Kamu benar-benar bukan Soraya yang dulu aku kenal lagi! Kamu berubah!" Bima menjambak rambutnya dengan frustasi, lalu duduk pada kursi panjang sambil memijat dahinya. Kepalanya mendadak terasa pening.
Semenjak istrinya itu mengenal media sosial dan sering berinteraksi dengan penggemarnya, entah mengapa rasanya Bima sudah tak mengenal sosok istrinya yang dulu. Yang selalu hangat dan mencintainya.
Bima juga sering menasehatinya untuk jangan terlalu fokus pada dunia maya, ya setidaknya dapat membagi waktu dan porsi yang sama dengan dunia nyata. Tetapi nasehat itu seperti hanya masuk ke kuping kanan dan keluar lagi ke kuping kiri. Tidak ada satu pun yang nyangkut ke hati dan pikirannya.
"Pak, boleh saya kasih saran?" tanya dokter wanita dengan suara pelan. Dia dokter yang sama yang berada di dalam ruangan anaknya, sekarang menghampiri Bima.
Pria itu menoleh. "Boleh, Dok. Saran apa?"
"Bagaimana kalau Bapak cari ibu susu di sini saja, mungkin banyak beberapa wanita yang baru melahirkan dan mempunyai ASI cukup banyak. Sekarang Bapak ke tempat resepsionis, biar penjaga sana mengumumkannya," jelas dokter itu panjang lebar.
Dokter itu sempat mendengar percakapan Bima lewat sambungan telepon, dan merasa kasihan melihatnya yang marah-marah. Dokter wanita itu juga salah satu dokter yang sering mengobati Kaila saat bayi mungil itu masuk rumah sakit.
"Baik, Dok. Terima kasih sarannya. Aku permisi kalau begitu." Bima langsung berlari, kemudian menuju tempat yang dimaksud.
Seminggu kemudian....Suara deringan ponsel yang berada di dekat bantal lantas membangunkan gadis yang tengah tertidur. Lantas dia pun mengerjapkan matanya dan segera mengangkat panggilan masuk yang tertera nama Bu Nur."Jenny! Kemana saja kamu?!" Pekikan dari sambungan telepon itu langsung membuat gadis yang bernama Jenny itu menjauhkan ponselnya pada telinga, sebab terasa berdengung."Aku sakit, Bu.""Sakit sakit, kamu ini sakit-sakitan terus! Sekarang kamu pulang ke kontrakan! Kalau nggak aku akan membuang seluruh pakaianmu!" ancamnya.Jenny membulatkan matanya dengan lebar, tetapi ada rasa bingung di otaknya. "Maksud Ibu apa? Kok bawa-bawa pakaian?""Kamu aku usir! Sudah ada yang mau menempati kontrakanku!""Kok Ibu usir aku? Aku 'kan hanya telat sebulan. Nanti aku bayar kalau ada uang.""Nggak! Aku nggak suka sama orang yang sering nunggak. Mau sebulan atau seminggu sekali pun ... aku nggak suka!" tegasnya terdengar emosi. "Aku tunggu kamu sampai sore, kalau kamu nggak datang ...
"Memangnya penampilanku seperti pengemis?" Jenny bertanya-tanya sendiri. Mungkin ini adalah pengalaman pertamanya dituduh sebagai pengemis. Jujur, ada rasa sakit di dalam hati sebenarnya. Tetapi dia mencoba memaklumi sebab mungkin saja pria itu sering bertemu pengemis yang minta-minta. Jadi dia salah paham.Jenny menundukkan kepalanya sambil memperhatikan apa saja yang dia pakai di tubuhnya. Pertama sendal jepit berwarna hijau, ketebalannya sudah lumayan tipis. Celana panjang dengan bahan kolor berwarna hitam, memang sudah terlihat butut.Dan kaos putih yang dia kenakan. Kaos itu tidak terlalu jelek, menurut dia sih masih bagus. Hanya saja warnanya kelunturan dengan bajunya yang berwarna hijau, jadi terlihat seperti buluk. Rambut panjang Jenny diikat dengan karet."Mungkin iya kali ya aku seperti pengemis, padahal 'kan niatku ingin bertanya tentang rumahnya Pak Bima. Apa aku pulang saja dari sini?" Jenny memandangi rumah mewah itu dari balik celah gerbang. Terlihat sangat indah sekali
"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak.""Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni."Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?""Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terl
Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.Kreek...Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam."Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar."Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget
"Tapi aku Pak Bima." Bima menepuk dadanya dan seketika membuat langkah Jenny terhenti."Pak Bima? Jadi Bapak yang—""Ada apa, Jen?" tanya Weni yang baru saja berlari menuruni anak tangga, dia menghampiri gadis itu sebab sempat mendengar teriakannya.Jenny langsung memeluk tubuh Weni, lalu beringsut ke belakangnya. Entah apa yang dilakukan, tetapi yang jelas saat ini dia bingung bercampur takut."Pria itu yang mencoba memperkosaku semalam, Mbak," ujarnya lirih sambil menatap mata Bima sebentar.Sontak—Weni dan Bima membulatkan matanya dengan lebar. Mereka tampak kaget."Aku mencoba memperkosamu?" Bima mengulang perkataan Jenny dengan wajah bingung."Dia Pak Bima, Jen. Bosmu," kata Weni."Tapi dia orang yang sama yang mencoba memperkosaku semalam.""Masa, sih? Tapi rasanya nggak mungkin." Weni menggeleng cepat. Dia benar-benar tak percaya sebab selama dirinya kerja dengan Bima, pria itu tak pernah melakukan tindakan asusila.Weni memang tahu, jika Bima sering mabuk kalau pulang malam. N
Mata Jenny seketika membulat, lalu dia pun menepis tangan Bima. Bisa-bisanya Bima dengan enteng mengatakan ingin menikahinya.Ya mungkin dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Tetapi Jenny tentu tahu jika Bima masih mempunyai istri. Dia tidak mau menjadi istri kedua dan terlebih Jenny pun tak punya perasaan pada pria itu."Pak, berhenti di sini," pinta Jenny pada sang sopir angkot yang mana dianggukan olehnya. Setelah mobil merah itu terhenti, Citra langsung membayar lalu turun. Bima juga melakukan hal yang sama."Jen, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu." Bima berlari mengejar Jenny yang berjalan cepat disisi jalan raya, gadis itu benar-benar seperti menghindarinya."Aku nggak mau, Pak." Jenny menggeleng cepat seraya menghentikan langkah. Jujur, dia saat ini bingung mau kemana. "Bapak sekarang pulang saja," ujarnya tanpa melihat ke arah Bima. Bahkan sejak dalam angkot pun dia tak menatapnya."Aku akan pulang denganmu.""Tapi aku 'kan sudah bilang kalau ak
"Selingkuh? Siapa yang selingkuh?!" Bima menyahutinya dengan sebuah teriakan. Kedua mulut manusia itu saling berbicara dengan nada tinggi dan itu membuat telinga Jenny berdengung sakit.Weni yang baru saja turun dari anak tangga segera menghampiri Jenny yang berdiri mematung, dia pun langsung merangkulnya dan membawanya pergi menuju lantai atas."Mas nggak usah ngelak, aku sudah dengar kalau Mas memperkosanya!" tuduh Soraya dengan kedua tangan yang mengepal kuat."Kamu dengar dari siapa? Siapa yang memberitahu?" Bima mengatur napas dan emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Jika sudah bicara dengan Soraya, terkadang ada saja yang membuatnya emosi."Bi Ijah!"Bi Ijah adalah pembantu di rumah itu."Itu nggak benar!" tegas Bima. "Aku nggak memperkosanya, itu cuma baru mau tapi nggak beneran terjadi.""Mas bohong!" teriak Soraya tak percaya. "Pengemis itu bajunya sampai robek, aku nggak percaya kalau dia dan Mas nggak ngapa-ngapain!""Namanya Jenny, bukan pengemis!" tegas Bima. Dia pun me
"Semoga saja nggak, nanti aku lihatin kamu dari lantai atas. Kalau Bu Raya bersikap kasar ... aku akan menghampirimu dan membantumu, Jen." Weni tahu bagaimana karakter Soraya, wanita itu memang suka main tangan. Dia sendiri juga sering ditampar hanya masalah sepele saja."Iya, Mbak." Jenny mengangguk. Sebelum pergi Weni mengolesi dulu salep pada pipi kiri bekas tamparan. Pipi kiri gadis itu tampak lebam kemerahan."Bismillah dulu, Jen," tegur Weni saat melihat gadis itu hendak keluar kamar. Jenny tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu berjalan keluar dari kamar.Rasanya seperti Dejavu, kejadian ini seperti apa yang dia alami tadi pagi. Dipanggil oleh seseorang yang berada di ruang tamu.Hanya saja bedanya kini Soraya tengah duduk dengan kaki menyilang menumpang di atas meja. Jenny menghampirinya dengan membungkuk sopan dan menundukkan wajahnya."Apa Ibu memanggilku?" tanya Jenny dengan lembut sambil tersenyum kecil.Soraya menatap Jenny dari ujung kaki ke ujung kepala. Baginya tak ada y