Share

2. Bayi Anda meninggal

Dokter itu menempelkan tubuh sang bayi ke dadanya, lalu menepuk-nepuk bokong. Tetapi tetap, bayi itu tak bersuara.

"Kenapa, Dok?" tanya Bima seraya berdiri. Tangan gadis itu sudah terlepas dari rambutnya.

"Ini, bayinya nggak nangis."

Dokter itu menempelkan telinga kirinya ke arah wajah bayi mungil itu, tak ada udara yang berhembus. Lalu beralih ke dada, dan detak jantungnya tak terdengar.

Tak ingin menyerah, dokter itu langsung membaringkan bayi itu pada boxs, kemudian menyentuh pergelangan tangan untuk mengecek denyut nadi.

Tetapi nyatanya kosong, bayi itu juga terlihat pucat sekarang.

"Innalilahi wa innailaihi ro'jiun. Bayi Anda meninggal dunia, Pak," katanya yang mata membuat Bima terbelalak.

"Innalilahi wa innailaihi ro'jiun." Bima melirikkan matanya ke arah gadis yang masih berbaring itu. Matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama keluar buliran bening pada sudut matanya, dia pun menangis terisak-isak sembari menutupi wajah.

"Kamu yang sabar ...." Bima mengelus pundak gadis itu sambil tersenyum getir.

Dia tahu, gadis itu pasti sangat berduka dan sakit yang teramat dalam. Dia sendiri tak bisa membayangkan jika dirinya ada diposisinya, pasti sangat perih.

"Bapak adzani dulu, Pak." Dokter itu memberikan bayi mungil yang kini berbalut selimut putih itu kepada Bima. Pria itu tampak bingung, dia merasa tak berhak mengadzani sebab hanya orang asing.

"Tolong, Om." Suara gadis itu terlontar begitu lirih, dia menatap mata Bima yang baru saja melihat ke arahnya dengan sedih. Rasanya Bima tak tega untuk menolaknya.

Pria itu mengangguk, lalu mengendong bayi itu. Perlahan dia manarik napas, lalu membuangnya dan kemudian mengumandakan adzan.

Meskipun suaranya tak terlalu merdu, tetapi cukup menyentuh hati gadis itu. Perasaannya campur aduk sekarang.

Memang sedih dan sakit, tetapi ada setitik rasa senang di hatinya yang entah apa itu sebabnya.

'Selamat lahir ke dunia dan kembali, Sayang. Ya Allah ... aku bingung harus senang atau sedih. Tapi aku yakin ... apa pun yang Allah lakukan itu untuk yang terbaik,' batinnya.

Setelah mengumandangkan adzan, Bima pun mengecup seluruh wajah bayi mungil itu.

"Tampan, sepertinya dia laki-laki ya, Dok?" Bima tersenyum lalu memberikan bayi itu pada sang dokter.

"Benar, dia laki-laki, Pak."

'Kamu akan menjadi penghuni surga. Om yakin itu,' batin Bima.

"Maaf, kalau begitu aku permisi. Masih ada urusan." Bima tersenyum sambil membujuk sedikit, lalu berlalu keluar dari ruangan itu.

Gadis itu baru saja membuka mulutnya, hendak mengucapkan terima kasih yang sempat dia lupa ucapankan sebelumnya. Tetapi nyatanya itu juga sudah terlambat karena Bima sudah menghilang.

"Nona mau kasih dia nama apa? Meskipun dia sudah meninggal tapi nama itu harus ada."

***

"Sus, apa ada pasien bayi perempuan berumur 4 bulan yang masuk tadi?" Bima berada di depan pintu UGD. Bertanya pada seorang suster yang baru saja keluar dari ruangan itu, disekelilingnya dia tak melihat Weni di mana-mana.

"Yang bernama Kaila Adriana Pradipta bukan, Pak?"

"Iya, betul." Bima mengangguk.

"Dia sudah masuk ke ruang perawatan bayi. Bapak ini siapanya?"

"Saya Papanya."

"Baik, saya antar Bapak."

Suster berjalan lebih dulu, sedangkan Bima mengekorinya hingga mereka sampai di ruang perawatan khusus bayi dengan nomor 111. Setelah mengantar, suster itu berlalu pergi meninggalkan Bima yang bergegas masuk.

"Kaila, bagaimana keadaan kamu, Sayang?" Bima berlari menghampiri tempat tidur. Bayi cantik itu tengah tertidur pulas di atas sana, dahinya tertempel plaster penurun panas, punggung tangannya tersambung jarum infusan.

Sudah sering sekali tangan kecil itu ditusuk untuk mendapatkan cairan lebih. Melihat semua itu sungguh sangat menyakitkan. Bayi itu hanya membutuhkan ASI langsung, tetapi sampai sekarang dia belum berhasil mengadapatkan ibu susu untuk bayinya.

"Kondisinya sangat parah, Pak. Anda harus secepatnya mencari ibu susu untuk Kaila, Pak. Semua susu formula tidak cocok untuknya. Bahkan sekarang Kaila juga kena asam lambung," jelas Dokter wanita berkacamata.

"Iya, Dok. Saya akan mencarinya lagi sekarang juga."

Bima mengangguk, setelah mengecup pipi kiri. anaknya dia pun berjalan keluar lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. Kemudian menghubungi asistennya yang bernama Budi.

"Halo, Bud. Bagaimana? Apa sudah ada info yang mau jadi ibu susu?" tanya Bima dengan suara sedih.

Sudah beberapa bulan terakhir Bima mengalami kesulitan untuk mencari ibu susu anaknya, padahal informasi itu sudah disebar luaskan tak hanya lewat brosur, tetapi media sosial juga.

Dokter pernah menyarankan Bima untuk membeli ASI perah, tetapi dia sendiri tak mau sebab belum jelas jika asal ASI itu dari orang sehat atau tidak. Dia tak mau jika nantinya akan ada pengaruh bagi anak semata wayangnya.

Jadi menurutnya, akan lebih baik dia menyewa jasa ibu susu saja, dan tentu nantinya akan diperiksa kesehatan terlebih dahulu sebelum menyusui.

"Belum, Pak. Tapi nanti saya sebar luaskan lagi infonya."

"Saudaramu nggak ada yang habis melahirkan? Mungkin dia mau menyusui Kaila, Bud? Aku nggak pilih-pilih, yang penting orangnya sehat."

"Nggak ada, Pak. Kalau ada saya pasti bawa orangnya."

Setelah mematikan sambungan telepon, kini Bima beralih menghubungi istrinya.

"Halo, Raya."

"Dih, ngapain Mas telepon?" Suara Soraya terdengar seperti mengeluh saat menjawab telepon itu. Hal tersebut sungguh membuat Bima kesal.

"Suami telepon kok jawabnya begitu! Ngapain saja kamu seharian? Dan kenapa kamu nggak ke rumah sakit?!" pekik Bima emosi.

"Rumah sakit mau apa? Aku ini lagi live I*******m. Sebentar dulu ya, Mas."

Tut ... tut ... tut. Panggilan itu langsung dimatikan begitu saja, tidak sopan sekali. Padahal suaminya belum mengatakan maksud tujuannya menelepon.

"Br*ngsek! Setiap hari kerjanya live, foto dan joget-joget terus di depan kamera! Memuakkan banget!" berang Bima sambil meremmas ponselnya. Dia sangat emosi, jelas sekali kalau Soraya seakan tak peduli. Dia hanya sibuk dengan dunianya.

"Setidaknya kamu ikut membantuku mencari ibu susu, Ray. Kalau kamu sendiri nggak mau menyusui Kaila," lirihnya dan tak lama cairan bening itu mengalir, tetapi dengan cepat Bima mengusapnya. Perlahan dia membuang napasnya kasar, dadanya terasa sakit dan bergemuruh.

"Kamu memang nggak sayang sama Kaila anak kita, Ray. Kamu benar-benar bukan Soraya yang dulu aku kenal lagi! Kamu berubah!" Bima menjambak rambutnya dengan frustasi, lalu duduk pada kursi panjang sambil memijat dahinya. Kepalanya mendadak terasa pening.

Semenjak istrinya itu mengenal media sosial dan sering berinteraksi dengan penggemarnya, entah mengapa rasanya Bima sudah tak mengenal sosok istrinya yang dulu. Yang selalu hangat dan mencintainya.

Bima juga sering menasehatinya untuk jangan terlalu fokus pada dunia maya, ya setidaknya dapat membagi waktu dan porsi yang sama dengan dunia nyata. Tetapi nasehat itu seperti hanya masuk ke kuping kanan dan keluar lagi ke kuping kiri. Tidak ada satu pun yang nyangkut ke hati dan pikirannya.

"Pak, boleh saya kasih saran?" tanya dokter wanita dengan suara pelan. Dia dokter yang sama yang berada di dalam ruangan anaknya, sekarang menghampiri Bima.

Pria itu menoleh. "Boleh, Dok. Saran apa?"

"Bagaimana kalau Bapak cari ibu susu di sini saja, mungkin banyak beberapa wanita yang baru melahirkan dan mempunyai ASI cukup banyak. Sekarang Bapak ke tempat resepsionis, biar penjaga sana mengumumkannya," jelas dokter itu panjang lebar.

Dokter itu sempat mendengar percakapan Bima lewat sambungan telepon, dan merasa kasihan melihatnya yang marah-marah. Dokter wanita itu juga salah satu dokter yang sering mengobati Kaila saat bayi mungil itu masuk rumah sakit.

"Baik, Dok. Terima kasih sarannya. Aku permisi kalau begitu." Bima langsung berlari, kemudian menuju tempat yang dimaksud.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status