"Tapi aku Pak Bima." Bima menepuk dadanya dan seketika membuat langkah Jenny terhenti.
"Pak Bima? Jadi Bapak yang—"
"Ada apa, Jen?" tanya Weni yang baru saja berlari menuruni anak tangga, dia menghampiri gadis itu sebab sempat mendengar teriakannya.
Jenny langsung memeluk tubuh Weni, lalu beringsut ke belakangnya. Entah apa yang dilakukan, tetapi yang jelas saat ini dia bingung bercampur takut.
"Pria itu yang mencoba memperkosaku semalam, Mbak," ujarnya lirih sambil menatap mata Bima sebentar.
Sontak—Weni dan Bima membulatkan matanya dengan lebar. Mereka tampak kaget.
"Aku mencoba memperkosamu?" Bima mengulang perkataan Jenny dengan wajah bingung.
"Dia Pak Bima, Jen. Bosmu," kata Weni.
"Tapi dia orang yang sama yang mencoba memperkosaku semalam."
"Masa, sih? Tapi rasanya nggak mungkin." Weni menggeleng cepat. Dia benar-benar tak percaya sebab selama dirinya kerja dengan Bima, pria itu tak pernah melakukan tindakan asusila.
Weni memang tahu, jika Bima sering mabuk kalau pulang malam. Namun untuk melakukan hal itu seperti tak mungkin.
"Aku jujur, Mbak. Sumpah!"
"Bibi!" teriak Bima pada pembantu rumah tangganya. Dan tak lama seorang wanita berdaster berlari menghampiri.
"Ada apa, Pak?" tanyanya sambil membungkuk sopan.
"Panggil Muklis ke sini!" titah Bima yang mana dianggukan oleh wanita itu. Lantas dia pun berlari pergi keluar dari rumah Bima.
"Jenny, aku nggak mungkin melakukan perbuatan seperti itu." Bima menggeleng cepat seraya menatap Jenny yang menundukkan wajah. "Kita akan cek CCTV, biar melihat siapa pelaku sebenarnya."
'Ngapain cek CCTV? Aku ingat betul dia orangnya.' Jenny menelan salivanya dengan kelat. Mendadak sebuah lintasan masa lalu terbayang samar-samar di otaknya, hingga membuat bulu kuduknya berdiri. 'Nggak, aku harus pergi dari sini. Aku nggak mau hamil lagi, aku nggak mau diperkosa.' Jenny menggeleng cepat, dia pun melepaskan pelukan di tubuh Weni kemudian berlari menaiki anak tangga.
Tak berselang lama Muklis datang bersama pembantu, dia berlari tergesa-gesa dan menghampiri Bima.
"Ada apa, Pak?"
"Apa kamu sudah cek CCTV semalam? Aku mau lihat."
"Sudah saya cek, Pak. Kebetulan saya simpan juga rekamannya di hape saya." Muklis merogoh kantong celana bahannya untuk mengambil ponsel, setelah itu memberikan pada Bima dan langsung menyetel rekaman itu. "Nggak ada yang mencurigakan dan nggak ada penyusup masuk."
Bima memperhatikan video tersebut, cuplikan pertama video itu dari arah gerbang. Tidak hanya gerbang depan yang terdapat kamera, tetapi samping kanan kiri dan belakang.
Benar kata Muklis tadi, semuanya tidak ada yang mencurigakan.
Kemudian, rekaman itu tergulir dibagian depan kamar Kaila. Tepat di depan pintu, Bima memang sengaja memasang kamera. Dan sebenarnya bukan di kamar Kaila saja, tetapi kamarnya sendiri, ruang kerja dan kamar Soraya untuk melakukan aktivitas di dunia mayanya.
Terlihat Weni keluar dari kamar itu, lalu Jenny masuk dan menutup pintu. Tak berselang lama Bima pun membulatkan matanya saat melihat dirinya sendiri ada di sana, berjalan sempoyongan sambil memegang kepala kemudian masuk ke dalam kamar.
Beberapa menit kemudian, Jenny terlihat keluar dari kamar sambil menggendong Kaila dengan berlari seperti orang yang kesetanan. Bima menelan saliva saat melihat buah dada Jenny yang terlihat pada rekaman itu akibat bajunya robek, dua asetnya itu tampak bulat dan sintal. Sangat menggiurkan.
'Montok banget dadanya Jenny.' Bima terkesima sesaat, lalu segera menggeleng cepat menyadarkan isi otaknya. Entah mengapa otaknya justru traveling gara-gara dua bongkahan benda kenyal itu. Harusnya dia fokus untuk mencari siapa pelakunya.
Namun, saat selesai melihat rekaman itu, bisa disimpulkan jika memang dirinya lah tersangkanya.
"Jadi, aku pelakunya?" Monolog Bima sambil menatap lurus.
Seketika matanya membulat kala melihat Jenny tengah berlari begitu saja sambil membawa tas jinjing. Cepat-cepat Bima memberikan ponsel itu pada Muklis kemudian berlari mengejarnya.
"Jenny, mau ke mana kamu?!" teriak Bima saat Jenny sudah berada di depan gerbang rumahnya. Melihatnya hendak membuka gerbang, dia pun langsung berlari menghampiri hingga mencekal lengannya sebelum Jenny berhasil keluar. "Mau ke mana?"
Jenny langsung menepis kasar tangan Bima, dia merasa risih.
"Maaf, Pak. Sepertinya aku nggak jadi kerja jadi ibu susu anak Bapak," ucapnya pelan seraya keluar gerbang.
Bima ikut keluar dari gerbang, kembali dia mencekal lengan Jenny saat gadis itu hendak naik angkot yang baru saja berhenti di depan rumahnya.
"Maafkan aku, Jen. Semalam aku mabuk dan nggak ingat apa-apa. Tapi aku mohon jangan pergi, Kaila membutuhkanmu," pinta Bima dengan suara memohon.
Rasanya tak ikhlas jika membiarkan gadis itu pergi begitu saja. Sudah sejak lama dia menunggu seseorang untuk menyusui anaknya. Dan sekarang, Bima tak akan mau semudah itu melepaskannya.
"Bapak bisa cari orang lain, tapi maaf aku nggak mau." Jenny menggeleng, dia tak mau ambil resiko jika ada sesuatu yang terjadi lebih parah.
Jenny pun segera melepaskan tangan Bima kemudian masuk ke dalam angkot. Mobil angkot itu hendak melaju, tetapi dengan cepat Bima naik dan duduk di sampingnya. Di dalam mobil angkot itu hanya mereka berdua saja.
"Jen, jangan pergi. Maafkan aku. Aku janji aku nggak akan melakukan hal itu lagi padamu. Kaila membutuhkanmu," pintanya.
"Aku nggak mau, Pak. Maaf ..." Jenny menggeleng lalu menggeserkan bokongnya supaya tak terlalu dekat dengan Bima. "Bapak cari orang lain saja."
"Aku sudah mencarinya selama beberapa bulan, tapi belum ketemu. Hanya kamu satu-satunya." Tangan Bima saling menggenggam, lalu meremmasnya dengan kuat.
'Semua ini gara-gara Raya, andai dia datang ke hotel untuk merayakan anniversary kita. Mungkin aku nggak akan mabuk karena setres menunggunya!' gerutu Bima dalam hati, lalu dia pun mengambil ponselnya pada kantong celana untuk melihat isi chat yang dia kirim beberapa kali dalam semalam. Jangankan dibaca, bahkan nomornya saja tidak aktif sebab hanya centang satu.
Mendadak kepalanya terasa pusing, Bima amat bingung dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya demi membujuk Jenny.
Dia juga terkadang heran, pencariannya selama beberapa bulan mencari ibu susu tak pernah membuahkan hasil. Padahal, Budi sudah menyebar luaskan info itu. Hingga saat itu dia hanya berpikir, apa mungkin tak ada di dunia ini perempuan yang mempunyai ASI lalu bersedia menyumbangkan untuk anaknya?
"Nona mau ke mana ini?" tanya sang sopir angkot.
Jenny tampak terdiam, dia bingung harus menjawab apa sebab tak tahu arah tujuannya.
"Jalan dulu saja, Pak. Nanti aku beritahu," sahut Jenny yang mana dianggukan oleh sopir itu.
"Jen ... ayok pulang ke rumahku, mungkin Kaila sedang menangis karena haus," pinta Bima pelan. Tetapi tak ada tanggapan sama sekali oleh gadis itu. Dia bahkan memalingkan wajahnya ke arah lain. "Aku tahu kamu pasti marah dan mungkin nggak terima dengan apa yang aku lakukan semalam. Tapi aku berani bersumpah kalau aku nggak ada niat melecehkanmu. Aku bahkan nggak ingat apa-apa," sesalnya seraya menjambak rambutnya sendiri. 'Ah bagaimana ini? Bagaimana cara membujuknya? Aku takut nanti Kaila sakit lagi.'
"Eemm ... kalau kamu mau aku tanggung jawab dengan apa yang aku perbuat, aku bersedia, Jen," bujuk Bima lagi, perlahan dia pun memberanikan diri untuk menyentuh punggung tangan Jenny seraya berkata, "Aku akan menikahimu."
Mata Jenny seketika membulat, lalu dia pun menepis tangan Bima. Bisa-bisanya Bima dengan enteng mengatakan ingin menikahinya.Ya mungkin dia merasa bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat. Tetapi Jenny tentu tahu jika Bima masih mempunyai istri. Dia tidak mau menjadi istri kedua dan terlebih Jenny pun tak punya perasaan pada pria itu."Pak, berhenti di sini," pinta Jenny pada sang sopir angkot yang mana dianggukan olehnya. Setelah mobil merah itu terhenti, Citra langsung membayar lalu turun. Bima juga melakukan hal yang sama."Jen, aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu." Bima berlari mengejar Jenny yang berjalan cepat disisi jalan raya, gadis itu benar-benar seperti menghindarinya."Aku nggak mau, Pak." Jenny menggeleng cepat seraya menghentikan langkah. Jujur, dia saat ini bingung mau kemana. "Bapak sekarang pulang saja," ujarnya tanpa melihat ke arah Bima. Bahkan sejak dalam angkot pun dia tak menatapnya."Aku akan pulang denganmu.""Tapi aku 'kan sudah bilang kalau ak
"Selingkuh? Siapa yang selingkuh?!" Bima menyahutinya dengan sebuah teriakan. Kedua mulut manusia itu saling berbicara dengan nada tinggi dan itu membuat telinga Jenny berdengung sakit.Weni yang baru saja turun dari anak tangga segera menghampiri Jenny yang berdiri mematung, dia pun langsung merangkulnya dan membawanya pergi menuju lantai atas."Mas nggak usah ngelak, aku sudah dengar kalau Mas memperkosanya!" tuduh Soraya dengan kedua tangan yang mengepal kuat."Kamu dengar dari siapa? Siapa yang memberitahu?" Bima mengatur napas dan emosinya yang sudah naik ke ubun-ubun. Jika sudah bicara dengan Soraya, terkadang ada saja yang membuatnya emosi."Bi Ijah!"Bi Ijah adalah pembantu di rumah itu."Itu nggak benar!" tegas Bima. "Aku nggak memperkosanya, itu cuma baru mau tapi nggak beneran terjadi.""Mas bohong!" teriak Soraya tak percaya. "Pengemis itu bajunya sampai robek, aku nggak percaya kalau dia dan Mas nggak ngapa-ngapain!""Namanya Jenny, bukan pengemis!" tegas Bima. Dia pun me
"Semoga saja nggak, nanti aku lihatin kamu dari lantai atas. Kalau Bu Raya bersikap kasar ... aku akan menghampirimu dan membantumu, Jen." Weni tahu bagaimana karakter Soraya, wanita itu memang suka main tangan. Dia sendiri juga sering ditampar hanya masalah sepele saja."Iya, Mbak." Jenny mengangguk. Sebelum pergi Weni mengolesi dulu salep pada pipi kiri bekas tamparan. Pipi kiri gadis itu tampak lebam kemerahan."Bismillah dulu, Jen," tegur Weni saat melihat gadis itu hendak keluar kamar. Jenny tersenyum dan mengangguk kecil. Lalu berjalan keluar dari kamar.Rasanya seperti Dejavu, kejadian ini seperti apa yang dia alami tadi pagi. Dipanggil oleh seseorang yang berada di ruang tamu.Hanya saja bedanya kini Soraya tengah duduk dengan kaki menyilang menumpang di atas meja. Jenny menghampirinya dengan membungkuk sopan dan menundukkan wajahnya."Apa Ibu memanggilku?" tanya Jenny dengan lembut sambil tersenyum kecil.Soraya menatap Jenny dari ujung kaki ke ujung kepala. Baginya tak ada y
"Kenapa? Bu Raya harus diadukan sama Pak Bima. Itu 'kan bukan kesalahanmu." Weni mengambil ponselnya dari tangan Jenny, dia hendak mengetik panggilan itu tetapi tak jadi lantaran Jenny berkata,"Nanti Bu Raya malah makin marah sama aku, Mbak. Jangan lakukan itu. Aku barusan habis digaji dan aku nggak mau cari masalah." Jenny menggeleng cepat."Digaji?" Kening Weni mengernyit. "Kamu baru kerja sudah digaji? Benarkah? Berapa itu, Jen?" Mata Weni berbinar, dia tampak bahagia mendengarnya."Aku nggak boleh memberitahu siapa pun tentang gajiku, Mbak. Bu Raya yang melarang.""Kenapa memangnya? Eemm ... ada 4 juta? Sama denganku?"'4 juta? Jadi Mbak Weni digaji segitu? Besar juga, ya? Ah ... tapi 'kan dia kerjanya capek. Wajar juga kalau besar.'"Hei! Ditanyain malah ngelamun kamu!" seru Weni sambil menepuk paha Jenny hingga membuat gadis itu terhenyak. Dia pun langsung tersenyum manis."
"Jenny, apa pipimu itu ...." Ucapan Bima menggantung, kala Jenny sudah turun duluan dari mobil angkot. Dan memang sudah sampai. "Biar aku yang bayar, ini, Pak." Bima menyerobot tangan Jenny yang hendak membayar ongkos mobil.Setelah itu Jenny pun langsung berlari masuk ke dalam saat gerbangnya dibukakan oleh Muklis. Dia takut jika nantinya Raya akan cemburu saat mengetahui Bima pulang dengannya."Bapak kok naik angkot sama Jenny?" tanya Muklis ketika Bima masuk ke dalam gerbang."Aku nggak sengaja ketemu dengannya. Oh ya, tolong ambil mobilku di pertigaan sana, Klis.""Kuncinya, Pak?" Muklis menadahkan tangannya ke arah Bima."Ada di mobil."Bima pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, terlihat ada Weni yang sedang duduk di sofa sambil mengajak Kaila bercanda."Duh, anak Papa yang paling cantik. Wangi banget nih, kayaknya sudah mandi, ya?" Bima menghirup aroma segar bayi, jelas memang Kaila baru selesai mandi. Segera dia pun mendekatinya lalu mengambil alih bayi cantik itu dari
"Iya, Mbak." Jenny mengangguk patuh, dia pun mengambil piring dan segelas air putih di atas meja. Perlahan Jenny menurunkan tubuhnya, mungkin sedikit lagi bokongnya yang sintal itu mendarat ke lantai. Tetapi secara tiba-tiba ada sebuah lengan kekar yang menahannya.Jenny mendongakkan wajahnya, seketika matanya membulat kala tangan itu ternyata milik Bima. Pria tampan itu lantas mengangkat bokongnya hingga dia berdiri kembali."Sejak kapan Bibi menjadi majikan di sini?!" seru Bima dengan suara lantang. Bi Ijah yang tengah menuangkan nasi ke atas piringnya itu langsung menoleh, matanya seketika membulat."Apa maksud Bapak?" tanya Bi Ijah dengan kening yang mengerenyit. Dia menatap tangan Bima yang berada di pinggang Jenny. Cepat-cepat Jenny menjauhkan tubuhnya dari Bima, tetapi pria itu mencekal tangannya."Maksud Bapak, maksud Bapak. Memangnya aku nggak tahu, tadi Bibi meminta Jenny makan di bawah? Aku melihatnya!" Kedatangan Bima ke dapur ingin meminta Bi Ijah untuk membuatkan kopi, t
Bima mengerjap-ngerjapkan matanya secara perlahan saat merasakan miliknya terasa basah dan seperti sedang disedot. Seketika matanya membulat kala ternyata itu adalah ulah dari istrinya sendiri.Wanita itu mengenakan jubah mandi dengan rambut yang basah, mulutnya itu sibuk bermain pada inti tubuh Bima. Celana pria itu diturunkan sebatas lutut."Ray ... ah ... jangan begini ...." Bima mendessah kala menikmati sentuhan itu, tetapi dengan cepat dia pun duduk dan menarik kepala Soraya hingga wanita itu menghentikan aktivitasnya."Mas bukannya suka aku gituin? Kok malah dilepas?" tanyanya dengan bibir yang mengerucut."Suka. Tapi aku nggak mau nantinya dia keluar di mulutmu." Bima langsung menarik celana kolornya ke atas."Kok malah dibenerin celananya? Katanya kita mau bercinta, Mas?" tanyanya dengan kening yang mengerenyit heran. Tangannya perlahan hendak melepaskan jubah mandi di tu
"Kalau memang aku beneran suka kenapa, hah? Aku juga bakal nikahin dia kok!" Bima menjawab, tapi hanya dari dalam hati."Mas!" panggil Soraya lagi, sebab apa yang dia katakan tak langsung dijawab. Soraya juga merasa sikap Bima dingin dan mudah tersinggung. "Kok nggak jawab? Jadi bener Mas suka?" Soraya mendengkus kesal."Memangnya Bi Ijah bilang apa saja padamu?" Bima berbalik tanya, perlahan dia pun mulai menyantap sarapannya."Dia cuma bilang kalau Mas marahin dia, padahal itu hanya salah paham. Dan aku minta ... tolong jangan pecat Bibi, Mas.""Memangnya kamu yang gaji dia selama ini?" Bima melirikkan matanya ke arah Soraya dengan tajam."Ya bukan, sih. Tapi dia 'kan jadi pembantu dari awal kita menikah. Kasihan kalau dipecat, Mas. Apa lagi cuma gara-gara Jenny."Bima tak menanggapi, dia meneruskan sarapannya hingga selesai. Setelah itu, dia pun bangun dari duduknya. "Panggil Bi Ijah suruh datang ke ruang kerjaku," titahnya pa