“Will you marry me?”
Ajakan pernikahan dari Alvian mampu membuat mata Chava melebar, terkejut bukan main, apalagi mengingat status hubungan Alvian dan Chava yang bukan sepasang kekasih.Namun di malam ini, bertepatan dengan tahun yang akan berganti, dengan pemandangan City light di depan sana, Alvian mengajak Chava untuk hidup bersama sebagai pasangan suami-istri.“Tunggu deh, Bang! Kamu pasti bercanda kan?! Masa seorang Aim tiba – tiba aja lamar aku?” Chava tertawa canggung. ”Abang, hubungan kita kan cuman adek – kakak an, kan abang sendiri yang bilang itu dari lama. Waktu aku bilang, ‘aku suka Abang’ juga, Abang tetap teguh sama pendirian Abang, bahwa Abang hanya sayang sama aku cuman sebatas adik.”Chava lagi – lagi tertawa hingga tidak memperhatikan pria yang ada di sampingnya kini.Memang akhir - akhir ini sifat Alvian mulai berubah menjadi lebih baik kepada Chava, Chava pikir malam ini Alvian akan mengajaknya berpacaran, sesuai dengan harapan Chava, karena tadi pagi Alvian mengajaknya untuk merayakan tahun baruan berdua, akan tetapi ini sangat jauh dari harapan Chava.“Aku serius. Aku ajak Kamu nikah, Ca.” ujar Alvian dengan wajah yang menunjukan keseriusan dan nada bicara yang tegas.Seketika tawa Chava berhenti, Chava membalikan badannya untuk berhadapan dengan Alvian.Chava mengenal Alvian, biasanya jika Alvian bercanda, beberapa menit saja Alvian juga akan ikut tertawa, apalagi Alvian selalu menjahili Chava.Tapi kali ini dari nada bicara Alvian yang tegas, mampu membuat Chava percaya bahwa Alvian benar – benar sedang berbicara serius.“W-hat? Tapi kenapa, Bang? Kamu beneran enggak bercanda kan?” tanya Chava memastikan lagi kepada Alvian agar Chava bisa merespon dengan benar perkataan Alvian.Chava hanya tidak mau pria yang ada di hadapannya kini, menjahili Chava seperti biasanya, apalagi yang Alvian katakan mengenai pernikahan.“Enggak.” Jawab Alvian dengan suara yang lantang serta singkat, seperti biasanya.Memang Alvian tidak suka banyak bicara, tetapi bukan berarti dia termasuk cowok yang dijuluki cowok sedingin es.Angin mulai berhembus kencang, menerbangkan rambut Chava yang ia biarkan tergerai indah.Meski Alvian menjawab dengan tegas dan jelas, disertai wajahnya yang menunjukan keseriusan, masih ada keraguan di hati Chava, itu di karenakan Alvian mengajaknya menikah namun mata Alvian masih sibuk melihat pemandangan City Light di depan sana.“Mana ada orang yang mengajak menikah tapi malah ngomong sama pemandangan, bukan ngomong secara berhadapan? Ajak anak orang menikah itu, harus romantis, kalau seperti ini sih, kayak bercanda. Kamu kalau mau bercanda, gak usah bercanda soal pernikahan deh, Bang.” Ucap Chava secara gamblang. Bukan Chava namanya jika tidak bicara ceplas – ceplos.Mendengar ucapan Chava, Alvian menganti posisinya dengan menghadap ke arah Chava. Kedua tangan Alvian meraih tangan Chava lalu mengenggamnya.Kali ini Chava dan Alvian saling berhadapan. Sepasang mata Alvian kini menatap mata hitam milik Chava. Pipi Chava berubah merah muda, tatapan mata Alvian seakan menembus jantung Chava hingga jantungnya berdetak kencang seperti ingin meloncat keluar.Tak hanya itu, hari ini Alvian memakai kemeja berwarna hitam yang lengannya di lipat hingga menampilkan tato – tato miliknya. Alvian yang memiliki paras tampan, semakin tampan bak dewa Yunani. Rasanya Chava ingin terjatuh ke dalam pelukan Alvian.“Chava lyra pradikta, will you be my wife?” tanya Alvian pada Chava dengan nada yang sangat lembut.Chava yakin jika ada perempuan lain disini, perempuan tersebut akan lemas tidak berdaya mendengar suara Alvian yang lembut, seperti Chava sekarang, jiwa Chava seakan terbang ikut bersama angin yang berhembus.“Kenapa kamu mau aku jadi istri kamu, Bang?” meski kakinya selemah jelly, Chava masih sadar untuk menanyakan alasan Alvian melamarnya.Alvian tidak berhenti memutuskan kontak matanya pada Chava, ia tetap menatap Chava dengan sendu tidak terkoceh oleh pertanyaan Chava.Alvian melepaskan satu tangannya pada tangan Chava, kemudian ia membawa dan meletakannya pada pipi Chava. Jari jemarinya mengelus pipi Chava yang kini memerah. Alvian menghirup udara dalam – dalam dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum menjawab pertanyaan dari Chava.“Karena aku pengen kamu ada di masa lalu, masa sekarang dan di masa depan aku. Aku ingin yang menemani aku di masa tua aku itu adalah kamu. Aku ingin di setiap aku membuka mata, yang aku lihat pertama kali itu kamu. Aku pengen kamu selalu terlibat dan ada dalam hidup aku.""Aku pengen yang dipanggil ibu oleh anak – anak aku nanti adalah kamu. Hanya kamu yang pantas menjadi istri aku dan pantas menjadi ibu untuk anak – anak aku kelak. Aku juga akan berusaha menjadi suami yang pantas untuk kamu dan kamu gak usah khawatir, aku juga akan menjadi ayah yang baik untuk anak – anak kita kelak.""Aku janji, hanya akan ada satu Wanita di hidup aku sampai aku mati, dan Wanita itu adalah kamu, Ca. So please, be my wife … ”Tetesan air mata mulai mengalir di pipi Chava, kata – kata yang baru saja Alvian katakan terdengar seperti melodi yang sangat indah di telinga Chava.Saking indahnya mampu membuat hati Chava menghangat dan membuat matanya dibanjiri oleh air mata haru. Apalagi yang mengatakan adalah orang yang paling Chava cintai yaitu Alvian mahesa.Mata Chava menatap Alvian penuh dengan rasa haru dan cinta. Chava benar – benar ingin menunjukan pada Alvian bahwa Chava sangat mencintai Alvian, Alvian harus tahu akan hal itu.“Aku mau, Aku mau jadi istri kamu. Aku mau jadi orang yang menemani kamu saat di masa tua nanti. Aku juga mau saat aku membuka mata untuk pertama kali di setiap harinya itu melihat wajah kamu. Aku siap di panggil ibu oleh anak – anak kita kelak. Aku ingin jadi satu – satunya Wanita yang ada di hidup kamu sampai aku mati.” Jawab Chava dengan suara yang bergetar.Mendengar jawaban Chava, Alvian tersenyum cerah dan matanya kini mulai di penuhi oleh air mata yang di yakini jika satu kali saja Alvian mengedipkan mata, pipinya pasti akan basah.“Makasih, makasih banyak Ca.”Chava merapatkan bibirnya, ia mengangguk sebagai tanda menjawab ucapan Alvian. Chava terlebih dahulu berhambur memeluk Alvian, ia sudah tidak tahan untuk merasakan kehangatan dari tubuh orang yang ia cintai selama ini.Kemudian isakan tangis Chava semakin meraung – raung di pelukan Alvian. Chava benar – benar tidak bisa menyembunyikan kupu – kupu yang berterbangan di perutnya. Chava bahkan berpikir jika hal ini adalah mimpi, Chava tidak ingin bangun lagi.Alvian membalas pelukan Chava, di dekapnya erat tubuh Chava, bibirnya tak henti – henti tersenyum indah dan air mata yang sedari tadi menumpuk di bola matanya, mulai berjatuhan.Suara kembang api yang mulai terdengar riuh seakan ikut merayakan kebahagiaan Chava dan Alvian.***Bersambung …Jalan hidup Chava sedang dipenuhi oleh banyak bunga sekarang. Beberapa hari kemudian setelah malam dimana Alvian melamar Chava, Alvian datang dengan membawa keluarga besarnya ke rumah untuk melamar Chava secara resmi. Meski status Chava sekarang adalah tunangannya Alvian, Chava masih belum percaya dengan semua ini, bahkan setelah malam itu, Chava terus – terusan bertanya pada Alvian perihal lamaran itu, baik berupa pesan, telepon atau ketika mereka bertemu. Alvian yang memang diberikan anugerah stok kesabaran lebih, selalu menjawab Chava dengan baik. Chava sangat bahagia, Alvian seperti impian yang indah untuk Chava. Bahkan Chava tidak pernah berpikiran bahwa Alvian akan menjadi suaminya, mengingat dari dulu Alvian selalu terang-terangan bilang bahwa dia hanya menganggap Chava sebagai adiknya. Namun takdir tidak ada yang tahu, tidak ada angin, tidak ada hujan, Alvian sekarang menjadi tunangan Chava. Sekarang Chava tidak henti-hentinya memandangi Alvian yang kini duduk di sebelahny
Chava tersenyum mendengar jawaban - jawaban Alvian yang memuaskan dan tanpa ia pikir terlebih dahulu sudah menjawab. Memang tidak salah Chava menerima Alvian sebagai calon suami. Chava tiba – tiba saja mendekatkan tubuhnya kepada Alvian. Alvian mengerutkan matanya, memundurkan badannya dari Chava. “Aku boleh cium kamu sekarang, gak sih?” Tanya Chava tanpa merasa malu. Alvian terkekeh, kemudian menempelkan telapak tangannya di dahi Chava. “Gak boleh. Belum muhrim.” Chava mendengus sebal mendengar jawaban Alvian. Orang lain ketika di lamar, akan berakhir berpelukan dan berciuman. Tapi Chava dan Alvian hanya berpelukan saja tanpa ada adegan cium – cium. Sekarang juga, Chava ingin cium Alvian tapi dilarang oleh Alvian dengan alasan belum muhrim. Bukan karena Alvian sangat taat agama, ibadah saja masih bolong - bolong, mabuk juga masih suka. Cuman Alvian sangat memperlakukan Chava dengan berbeda. “Dih padahal dulu, aku tuh sering lihat ya kamu di cium – cium sama mantan kamu, tapi man
“Ca, maaf, Fitting baju hari ini, aku enggak bisa. Tapi kamu tenang aja, aku udah hubungin pihak butiknya, untuk Resechedule.” Suara Alvian di sebrang sana mampu melunturkan senyum Chava. Chava pikir Alvian menelponnya untuk memberitahu bahwa dia akan menjemput Chava untuk Fitting baju pernikahan, namun ternyata bukan. “Loh, kenapa? Abang kita kan udah punya rencana hari ini tuh kita akan Fitting baju. Aku udah dandan dan udah siap, Bang. Masa enggak jadi sih?!” Jawab Chava meminta penjelasan pada calon suaminya. “Aku ada kerjaan, penting banget. Benar – benar aku enggak bisa buat ninggalin kerjaan ini.” Chava tertawa gusar, “Lagi – lagi kerjaan! Pekerjaan kamu tuh, emang lebih penting ya dari pernikahan kita?” Sarkas Chava dengan nada bicara yang mulai meroket ke atas, hatinya seperti tertusuk oleh jarum. “Enggak gitu, Ca. Aku-“ Tut Tut Tut Belum sempat Chava mendengarkan jawaban Alvian, Chava terlebih dahulu mematikan panggilan teleponnya, tidak mau mendengarkan alasan dari P
Alvian datang ke rumah Chava pukul enam sore, setelah berhasil melaksanakan pekerjaannya, dia segera bergegas pergi ke rumah Chava. Apalagi pesan dari Gara yang menampilkan foto Chava yang sedang menangis tadi, membuat seharian ini Alvian tidak fokus, kepalanya di penuhi oleh Chava. Disini lah Alvian sekarang, di sebelah Chava yang kini sedang tertidur di kamarnya. Alvian menatap nanar Chava, hati Alvian teriris melihat bekas air mata yang masih ada di pipi Chava, bahkan mata Chava yang indah terlihat sembab sekarang. Alvian benar – benar merasa bersalah. Kata Gara, adik Gara itu menangis cukup lama bahkan sampai mogok untuk makan, katanya Chava baru bisa berhenti menangis karena ketiduran. Alvian mengelus lembut rambut hitam milik Chava, lalu mengelus pipi yang selalu Gara kagumi ketika tersenyum itu. “Ca … ” lirih Alvian memanggil nama Chava, bertujuan untuk membangunkan Wanita nya. Alvian sudah tidak sabar untuk meluruskan kesalah pahaman ini. Yang dipanggil mulai membuka mata
Tangisan Chava sudah berhenti, namun baik Chava dan Alvian masih tidak ingin berganti posisi, mereka setia dengan posisi saling membelakangi pintu. Hening, hanya suara denting jam dinding saja yang terdengar kini. Masing – masing dari mereka sibuk dengan pemikiran – pemikiran yang kini seperti berkecamuk di benaknya. “Ca, kamu tahu kan bahwa aku adalah orang yang selalu merencanakan masa depan? Bahkan ingin menikahi kamu pun, itu sudah aku rencanakan dari dulu.” Suara Alvian memecahkan keheningan. Detik demi detik terus berjalan, namun telinga Alvian tidak mendengar tunangannya itu merespon perkataan Alvian. Alvian tersenyum palsu, dia menarik napas dalam – dalam, mengerti bahwa Chava masih marah kepada dirinya. “Pekerjaan ku tadi, ada hubungannya dengan rencana yang udah aku buat. Pak Hartono — calon investor perusahaan aku. Tiba – tiba aja dia ubah jadwal pertemuan aku dan dia, yang seharusnya dua hari lagi, menjadi sekarang.” Mulut Alvian tidak henti – hentinya mengeluarkan suar
“Saya terima nikahnya Chava Lyra Pradikta Binti Wirawan Pradikta, dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai!” “Saksi Sah?” “SAH!” Jawaban dari para manusia – manusia yang dengan senang hati hadir di pernikahan Chava dan Alvian, menandakan bahwa kini Chava dan Alvian sudah resmi menjadi pasangan suami – istri. Alvian menghembuskan napas lega, keringat dingin sedari tadi seakan lenyap begitu saja. Alvian menengadahkan telapak tangannya, mengucapkan kalimat Syukur atas kelancaran ijabnya, lalu mengusapkan ke wajahnya yang tampan. Alvian bahkan menghapal kalimat ijab itu sudah dari satu minggu yang lalu, wajar saja jika Alvian berhasil mengucapkan dalam satu tarikan napas. “Alhamdulillah Aim, sekarang kamu udah jadi adik ipar aku, baik – baik kamu sama aku!” Teriak Garalen di tengah – tengah para tamu. Alvian hanya menanggapinya dengan senyuman. Alvian melirik pembawa acara, bahkan dia mengigit bibirnya, dia tidak sabar menunggu acara selanjutnya, yaitu dimana Alvian akan menyambut C
“Damn! Kenapa isi koper aku, bajunya kurang bahan semua?!” Mata Chava terbuka lebar, mulutnya terbuka sedikit. Chava sungguh terkejut melihat isi koper miliknya, tiba – tiba saja berubah. Padahal Chava masih sangat jelas memasukan pakaian – pakaian yang aman ke koper miliknya. Chava tidak ingin menyerah, dia terus menerus memeriksa baju – baju yang ada disana, namun hasilnya nihil, tetap sama seperti semula. Matanya kini tertarik pada selembar kertas yang kini terselip di salah satu baju. Dia mengambil kertas tersebut, membuka secara perlahan. “Kejutan! Selamat menikmati malam pertama! Semoga cepat – cepat kasih aku keponakan yang lucu – lucu. Aunty Binar dan Joya, selalu menanti.” Chava tersenyum miris melihat tulisan dari kertas tersebut. Ternyata semua ini ulah sahabat – sahabatnya. Chava menyugar rambutnya, merasa frustasi memikirkan baju apakah yang akan dia pakai. “Argh! Awas aja ya kak Binar dan Joya, aku akan balas kalian!” Ancam Chava pada kedua sahabatnya itu. Tok Tok
Mata Chava berbinar – binar, mulutnya bahkan terbuka sedikit, dia tidak henti – hentinya memandang takjub pemandangan yang dia lihat dari balkon Vila yang Alvian sewa .Air laut yang berwarna biru seakan menggoda Chava untuk berenang kesana, apalagi di tambah dengan langit yang cerah disertai burung – burung yang beterbangan kesana kemari.“Abang, makasih banyak udah bawa aku honeymoon disini!” jerit Chava pada Alvian yang baru saja selesai meletakan koper.“Enggak usah heboh, kamu kan sering ke Bali.”“Ih beda tahu! Kalau ke Bali nya sama kamu, jadi lebih indah.” Ujar Chava dengan mengedipkan sebelah matanya pada Alvian.“Dasar!”Tubuh Chava bergetar karena mentertawakan Alvian. Namun yang Chava ucapkan benar – benar kenyataan, bukan hanya godaan untuk Alvian. Tempat ini benar – benar lebih indah ketika datang kesini bersama Alvian.“Sini deh abang?” Chava menjulurkan tangannya pada Alvian, lalu di balas oleh Alvian dan kemudian mengenggam tangannya.Chava membawa Alvian keluar dari