Share

Bab 7. Pria pilihan orang tua

Sorot mata Liana menunjukkan keterkejutan yang amat sangat, ada kekecewaan, kebingungan serta kekesalan juga di sana. Terkejut karena waktu yang disebutkan hanya satu minggu. Bingung, kecewa dan kesal karena orang tuanya masih saja memintanya untuk menikah, padahal dia sudah membawa seorang pacar ke hadapan mereka.

Sementara itu, Pavel justru mengangguk menyetujui ucapan Papahnya Liana. “Baik, Om, saya setuju.”

Pavel sangat yakin dengan keputusannya, dia sudah menduga kalau inilah yang akan terjadi. Dia tau kalau orang tua Liana tidak akan menyerah untuk meminta wanita itu menikah hanya karena Liana memperkenalkan seorang pacar kepada mereka. Itulah kenapa saat Liana mengajaknya untuk menjadi pacar pura-pura, dia sempat merasa ragu, apalagi yang dijadikan pacar pura-pura oleh wanita itu adalah dirinya.

“Tunggu dulu, Pavel! Ini kenapa kamu malah iya- iya aja sih?” Liana semakin dibuat kesal karena persetujuan Pavel atas keinginan Papahnya. Dia meminta pria itu untuk berpura-pura menjadi pacarnya agar tidak lagi diminta menikah, bukan untuk menyetujui menikah dengannya.

“Bukan iya iya saja, Liana. Aku setuju karena memang aku sudah berjanji untuk menikah denganmu,” jawab Pavel, singkat, padat dan seharusnya sudah cukup jelas untuk dimengerti oleh si wanita. Walau dia sudah tau kalau Liana belum ingin menikah dan ingin membatalkan pernikahan yang diatur orang tuanya, tapi dia tetap tidak bisa mengingkari janji. Baginya apa yang telah dijanjikan sebisa mungkin harus ditepati.

Sama seperti apa yang sudah Pavel lakukan untuk menepati kesepakatannya dengan Liana. Dia sudah datang sebagai pacar pura-pura Liana, sudah mengarang cerita dengan semaksimal mungkin demi untuk meyakinkan orang tua si wanita kalau mereka berpacaran. Namun, dia tidak pernah menjanjikan untuk membuat orang tua Liana tidak lagi meminta wanita itu menikah, karena ia tau kalau itu akan sulit untuk dilakukan.

“Janji untuk menikahiku pada siapa? Kapan kamu berjanji, Pavel? Kenapa sebelumnya kamu tidak mengatakannya? Bukankah kita juga sudah punya kesepakatan, Pavel, apa kamu sudah lupa? Kamu sendiri yang telah setuju untuk membantuku, kan!” Kekesalan membuat Liana mencecar Pavel dengan banyak pertanyaan.

“Dua bulan yang lalu Pavel sudah berjanji kepada kami untuk menikah denganmu, Liana! Dan kenapa kamu sangat marah, bukankah dia pacarmu? Wajar saja kalau kami menginginkan kalian untuk menikah secepatnya, dari pada terus berpacaran, kan! Lalu kesepakatan apa yang kalian miliki itu?” sela Max, dengan menatap tajam putrinya.

Liana gelagapan, baru menyadari kalau cecaran pertanyaan darinya membuat Mamah, Papah dan sang Kakek memandang bingung padanya. Dan kini, dia pun ikut bingung harus menjawab apa. “Bodoh kamu, Liana! Kenapa kamu tidak bisa mengendalikan mulutmu sendiri saat kesal!” Dia merutuki dirinya sendiri di dalam hati, sembari mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk dikatakan.

“Ya kesepakatan, Pah, pokoknya adalah kesepakatan biasa di antara pasangan,” Setelah berpikir panjang dan tidak juga menemukan ide, Liana memilih untuk menjawab sekenanya.

“Kesepakatan biasa di antara pasangan? Apa itu sesuatu yang sangat rahasia hingga kamu tidak ingin Papah tau?”

“Bukan seperti itu, Om. Ini hanya kesepakatan agar kami sama- sama saling mengenal dengan lebih dalam dulu, karena Liana mengatakan kalau dia belum ingin menikah dalam waktu dekat ini,” sela Pavel, mencoba membantu Liana untuk menjelaskan. Walau lagi-lagi penjelasan yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan semata.

“Ya ya, itu. Maksudnya.” Liana menghembuskan nafas lega, bersyukur karena Pavel mau untuk membantunya mencari jawaban yang tepat. Apalagi Papahnya terlihat langsung percaya dengan penjelasan dari Pavel.

“Kalau begitu, kesepakatan kalian bukanlah sebuah masalah.” Max tersenyum simpul dan menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan santai.

“Bukanlah sebuah masalah bagaimana, Pah? Kami baru berpacaran selama satu minggu dan Papah sudah meminta kami untuk menikah, apakah itu bukan masalah?” protes Liana.

“Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan itu?” Max menatap sang putri dengan seksama.

“Ya salah sih tidak, Pah. Kurang tepat saja. Kami masih perlu waktu untuk lebih mengenal satu sama lain,” jawab Liana, berusaha untuk membuat Papahnya tidak meminta dia dan Pavel untuk menikah secepatnya.

“Kurang tepatnya dimana? Coba kamu jelaskan pada Papah.”

“Tadi Liana sudah katakan, Papah. Kurang tepatnya karena kami masih perlu waktu untuk bisa saling mengenal. Kami ingin tau dulu, apa kami ini benar-benar cocok atau tidak.”

“Ya itu juga bukan masalah, kan? Kalian tetap bisa saling mengenal dengan lebih baik ketika sudah menikah.” Max berucap santai. Dia tidak mengerti kenapa putrinya harus mempermasalahkan hal yang bukanlah sebuah masalah.

“Tidak bisa begitu dong, Pah. Bagaimana kalau setelah menikah nanti kami ternyata tidak cocok?” Lagipula kenapa sih Papah dan Mamah tuh ingin sekali aku menikah? Kalau soal aku yang tidak pernah mengenalkan pacarku, sekarang ‘kan aku sudah mengenalkannya. Jadi kalian tidak perlu merasa khawatir dan memintaku untuk menikah secepatnya begini.”

“Menikahkanmu adalah harapan dan prioritas utama kami untuk saat ini, Liana. Dan kami khawatir bukan sekedar karena kamu tidak pernah membawa ataupun mengenalkan pacarmu pada kami,” tutur Max dengan sorot mata yang berubah sendu.

Max dan sang istri memang khawatir dengan kehidupan percintaan sang putri sejak putrinya itu menginjak umur 29 tahun, di tahun ini. Namun, kekhawatiran terbesar mereka bukan karena Liana yang tidak pernah terlihat berpacaran, kekhawatiran terbesar mereka lebih daripada itu.

Max dan sang istri sangat menyadari kalau mereka sudah cukup tua dan mereka tidak akan hidup selamanya di dunia ini, jadi sebelum tiada mereka ingin Liana memiliki seseorang yang benar mampu dan bisa dipercaya untuk menjadi pendamping hidupnya. Seseorang yang mampu umenjadi tempat bersandar, berbagi keluh kesah, membimbing, membahagiakan dan menjaga putri semata wayang mereka.

Bagi mereka, Liana adalah sosok anak yang mandiri dan pemberani, mudah menyesuaikan diri ketika berada di dunia luar. Namun, putri mereka itu juga memiliki sifat yang membuat mereka memiliki kekhawatiran besar tentang pendamping hidupnya kelak. Liana tidak pernah mau untuk menaruh curiga pada orang lain ataupun berpikiran buruk tentang orang-orang yang dikenalnya, Liana selalu berusaha untuk berpikiran positif. Hingga putri mereka itu menjadi mudah dibodohi dan dibohongi oleh orang- orang terdekatnya.

Mereka takut kalau sang putri akan salah memilih pasangan karena sifatnya yang selalu berusaha berpikir positif kepada orang. Maka dari itu, sejak awal tahun ini mereka telah berniat untuk memilihkan pasangan yang menurut mereka paling tepat untuk Liana. Mereka terlalu menyayanginya hingga tidak rela jika Liana salah dalam memilih pasangan.

“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Sayang. Lagipula Pavel adalah pacarmu, jadi tidak ada yang salah jika Papahmu memintanya untuk menikahimu. Seperti yang dikatakan Papahmu, kalian bisa lebih mengenal lagi setelah menikah nanti.” Diana ikut mengutarakan pendapatnya dan menatap putrinya dengan lembut.

“Jika nanti kalian menemukan ketidak cocokan, kalian bisa membicarakannya baik-baik, saling menyesuaikan dan saling mengerti, karena di dunia ini tidak ada pasangan yang begitu sempurna. Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mau untuk saling melengkapi dan menerima,” lanjutnya, memberi nasihat.

“Apa menurut kalian menikah adalah yang terbaik untukku?” tanya Liana, dengan nada yang terdengar kecewa. Dia sudah mencoba memahami keinginan orang tuanya, tapi tidak bisa. Apalagi untuk melakukan keinginan itu, rasanya masih terlalu banyak hal yang perlu dipertimbangkan olehnya.

Max, Diana dan Alexander, memilih untuk tidak menjawab. Mereka ingin membiarkan Liana untuk mengeluarkan semua keluhannya, mereka sadar kalau saat ini Liana sedang merasa dikecewakan.

“Sedari awal Papah dan Mamah ingin aku menikah, aku sudah mengatakan kalau aku belum siap untuk menikah. Aku masih ingin menikmati duniaku sendiri, aku masih butuh waktu untuk menemukan seseorang yang memang aku rasa tepat untuk ku habiskan sisa hidupku bersamanya. Aku bukan tidak mau menikah, aku mau menikah tapi nanti, jika waktu dan orang yang tepat itu sudah ku temukan,” ucap Liana, dengan penuh emosional.

Pavel mengerutkan kening dan segera berbisik lirih pada Liana. “Sadarlah dengan apa yang kamu ucapkan gadis bodoh! Aku ada disini sebagai pacarmu, bagaimana bisa kamu berkata seperti itu di saat kamu sudah membawa pacarmu di sini. Walau hanya sekedar pacar pura-pura, tolong beraktinglah dengan baik, Nona Liana! Jangan membuatku menjadi orang yang paling dirugikan di sini.”

Liana terdiam, lagi-lagi dia mungkin akan terjebak dengan ucapannya sendiri. Walau yang diucapkan adalah kebenaran, tapi dia sendiri juga yang merencanakan untuk membawa Pavel sebagai pacar.

“Apa sekarang kamu belum menemukan orang yang tepat itu, Nak? Apa kamu merasa Pavel bukanlah orang yang tepat?” Diana mengulurkan tangan untuk meraih tangan putrinya, perasaannya bercampur aduk. Dia khawatir, bingung dan menjadi sedikit ragu. Ragu apakah keputusannya dan sang suami adalah yang terbaik untuk anaknya atau tidak.

“Bukan, bukan seperti itu maksud Liana, Mah. Liana mencintai Pavel, hanya saja Liana belum yakin jika harus menikah dengannya.” Liana mencoba memberi alasan yang sekiranya bisa diterima dan masuk akal, karena tidak mungkin jika dia berkata tidak mencintai Pavel, sementara mereka telah berpacaran sekarang. Walau rasanya ia ingin muntah karena harus mengatakan hal seperti itu.

“Jadi kamu belum merasa yakin dengan Pavel, kenapa?” tanya Alexander.

“Hanya belum yakin saja, Kek. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, kalau kami baru berpacaran sebentar, jadi belum benar-benar saling mengenal dengan baik,” jelas Liana.

“Yang dikatakan Liana itu benar, Kek,” timpal Pavel, memberikan dukungan untuk Liana agar tidak terus menerus didesak oleh keluarganya.

“Tidak perlu bingung dan ragu, karena menikah bukanlah akhir dari segalanya. Justru, dengan memilih pasangan yang tepat, kalian bisa saling mendukung dan mewujudkan impian bersama. Dan kalian akan bisa mengenali bagaimana pasangan kalian sesungguhnya ketika kalian sudah menikah,” ujar Max, yang sedari tadi masih terlihat santai saja dan tidak menunjukan reaksi apapun dengan ucapan-ucapan putrinya.

“Dan Liana, selain Pavel adalah pacarmu, Pavel juga adalah pria yang Mamah dan Papah pilihkan untukmu. Papah harap kamu mau untuk menikah dengan Pavel, karena Papah hanya bisa mempercayakan kamu padanya,” imbuh Max, tidak ingin lagi dibantah.

Liana bagai disambar oleh keterkejutan. “Pavel adalah pria itu? Pria pilihan kalian?”

“Iya, Liana, dia adalah pria yang kami inginkan untuk menikah denganmu. Tadi ‘kan sudah Papah katakan kalau dia adalah anak dari teman Papah dan juga cucu dari sahabat Kakekmu. Dari situ seharusnya kamu sudah curiga kalau dia adalah pria yang akan kami nikahkan denganmu,” tutur Papahnya.

“Apa kamu terkejut, Sayang?” tanya sang Mamah, dengan mengusap lembut telapak tangan Liana yang masih digenggamnya. “Sebenarnya kami juga sempat terkejut saat melihat Pavel yang datang sebagai pacarmu, tapi tentu saja kami juga merasa senang dan lega, karena itu artinya kalian bisa segera menikah seperti keinginan kami.”

“Benar itu! Ini akan menjadi lebih baik karena kalian sudah saling mencintai dan Kakek jamin, Pavel adalah pria yang tepat untukmu. Jadi tidak apa-apa ‘kan kalau kalian menikah?” timpal Alexander, mencoba meyakinkan cucunya.

Sementara Papah, Mamah dan sang Kakek terus menjelaskan tentang Pavel yang mereka pikir cocok untuk Liana, sorot mata Liana justru semakin melebar dan kosong, seolah mencerminkan kebingungan dan keterkejutan yang semakin mendalam. Dia tidak tau harus bagaimana lagi untuk menghindar, karena pria yang dijadikannya sebagai pacar pura-pura ternyata adalah pria pilihan orang tuanya.

“Tapi bukankah pria pilihan Papah adalah seorang pemilik hotel? Papah pernah mengatakan itu padaku, kan?” tanya Liana, yang baru teringat bahwa Papahnya pernah mengatakan kalau pria yang dipilihnya adalah seorang CEO pemilik sebuah hotel besar dan ternama di kota ini.

“Ya memang iya, Cucuku. Pavel ini adalah pemilik Hotel Romanov dan sebentar lagi dia juga akan memiliki hotel keduanya, yaitu hotel Absolute. Dia ini masih muda, tapi sangat pintar dalam berbisnis dan pekerja keras,” sela Alexander, menjawab pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh putranya.

“Nah benar itu, Pah. Bahkan hotel pertama Pavel sudah begitu terkenal hanya dalam waktu satu tahun setengah setelah pembangunannya selesai,” imbuh Max, tampak begitu bangga dengan calon suami putrinya itu.

“Kakek dan Om terlalu berlebihan, semua yang aku capai ini juga berkat Kakek, Om dan Tante juga. Jika tidak ada kalian, aku tidak akan bisa membangun dan memiliki hotel Romanov,” ucap Pavel, tidak enak hati karena semua yang dia capai sekarang adalah berkat bantuan keluarga Liana. Tanpa mereka dia mungkin tidak akan sampai pada dirinya yang sekarang.

“Tidak, tidak. Semua itu juga berkat kegigihan, kepintaran dan kerja kerasmu sendiri. Kami hanya sedikit membantu saja,” bantah Max, dengan mengapresiasi Pavel.

Liana berpikir keras. Dia kemudian berbisik pelan kepada Pavel, dengan suara yang terdengar menahan amarah. “Kemarin, bukankah kamu mengatakan padaku kalau kamu hanyalah seorang customer service di sebuah hotel, Pavel? Kenapa sekarang jadi berbeda, apa kamu membohongiku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status