Ponsel Aaron berdering, tetapi pria itu tak kunjung mengangkatnya. "Angkat saja! Berisik!" ketus Julio. Masih dalam keadaan bertekuk lutut, Aaron menerima panggilan yang ternyata dari Damian yang memberi kabar bahwasanya investor baru ingin bertemu langsung dengan Aaron, karena jikalau tidak maka perusahaan itu tidak akan berinvestasi di SAP Company. "Ada hal yang lebih penting dari investor itu. Katakan saja, tidak masalah jika perusahaannya tidak berinvestasi di perusahaan!" Aaron menyaksikan Julio pergi. Sang ayah mertuanya itu masuk dan menutup pintu cukup kencang. Aaron memutus sambungan telepon, lalu bergegaslah berdiri dan mengetuk pintu. "Ayah?! Kita belum selesai bicara, Yah! Yah?"Nihil, Julio tak kunjung ke luar. Malah, terdengar pintu itu di kunci dari dalam. Aaron hanya pasrah dan duduk di teras. Ia menghubungi John. "Aku di teras!" ucapnya, lalu mematikan lagi teleponnya. Tidak berselang lama John ke luar. Pemuda itu turut duduk di teras tepat di samping Aaron. B
Hari berganti pagi. Aaron masih bermalas-malasan di atas ranjang. Maklum, semalam ia tidak bisa tidur menjadikan kepalanya terasa berat. Matanya terpejam sekitar jam empat pagi. Ting tung!Bunyi bel terdengar nyaring di telinga Aaron tepat jam enam pagi itu. "Ck! Rajin sekali mengantar sarapan sepagi ini!" keluh Aaron, walaupun akhirnya ia membuka pintu juga. "Loh, Sayang?!" Aaron merasa kaget sekaligus senang melihat siapa yang datang. Ya, ternyata Bella yang datang dan langsung menghambur memeluk Aaron. Aaron membalas pelukan Bella. "Kenapa menangis, hem?" tanya Aaron sembari menarik kereta bayi masuk dimana di dalamnya ada Alessandro. "Kenapa melakukan itu?""Melakukan apa maksudnya?"Bella melerai pelukan. "Semalam, aku melihat berita di televisi."Aaron tersenyum. "Lalu, itu yang kau tangisi?"Puk! Bella memukul dada Aaron."Tentu saja! Kenapa memilih datang ke sini? Kenapa kau melepas kesempatan itu?"Aaron membingkai wajah Bella. "Biarkan kesempatan yang itu hilang. Ya
Setelah menikmati sarapan yang ternyata lebih cocok disebut makan siang, Aaron menemui orang-orang yang mencarinya. Betapa terkejutnya ia ternyata orang-orang itu adalah para wartawan. Sang resepsionis mau tidak mau tidak menyebutkan siapa mereka saat menelepon Aaron tadi, karena pasalnya mereka mengancam akan merusak fasilitas di sana. Aaron yang sudah terlanjur berada di loby terpaksa harus menerima ragam pertanyaan dari para wartawan. "Tuan Aaron? Selama SAP Company berdiri, hari kemarin adalah hari terburuk dalam sejarah. Anda sama saja dengan menghancurkan perusahaan yang dengan susah payah sudah Tuan Addison bangun. Apa Anda menyesal?"Aaron tersenyum samar bahkan menatap sinis wartawan itu. "Segala keputusan yang aku ambil tidak akan membuahkan penyesalan dalam hidupku! Karena aku yakin, SAP akan tetap berdiri walau tanpa ikut campur investor itu!""Tapi, dengan begitu Anda sama saja tidak menghargai para dewan yang sudah bekerja keras? Padahal, mereka sangat menunggu momen
Aaron dan Bella memilih pergi ke taman bermain. Di sana keduanya tengah mengawasi Alessandro yang sedang asyik dengan dunianya. "Sayang? Terima kasih atas semua pernyataan tadi. Aku bahagia sekali mendengarnya," kata Aaron. Bella tersenyum, lalu menunjuk pipinya. Aaron yang mengerti dengan isyarat itu langsung mencium pipi Bella. Tak hanya itu, Aaron memberinya bonus dengan mengecup bibir ranum Bella. Bella terkekeh-kekeh. "Terima kasih. Eh, eh, aku lupa kalau ini tempat umum. Aduuuuh, malunya aku! Orang-orang pada liatin kita, tuh!"Aaron mengedarkan pandangan. "Kan, kita artis, Yang. Baru saja masuk televisi."Bella tersenyum kecut. "Jadi berita utama, kah?""Sepertinya begitu. Tapi, sebentar aku cek dulu." Aaron mengeluarkan ponsel dari saku, lalu membuka salah satu laman internet. "Lihat!" Aaron menghadapkan ponselnya kepada Bella. Bella membulatkan matanya. "What? Hot news?!"Aaron tersenyum, lalu memasukan ponselnya kembali ke dalam saku. "Begini ternyata rasanya menjadi
"Buka dan sobek saja surat itu!" titah Julio. Pria usia lanjut itu duduk santai sembari menyandarkan punggungnya. Bella dan Aaron saling memandang, lalu memandang Julio. "Maksudnya?" tanya Bella sembari mengerutkan dahi. Bella tersenyum lebar saat menyadari apa yang dikatakan Julio. Ia menyambar amplop itu, lalu mengeluarkan isinya. Dengan semangat wanita itu menyobek kertas itu menjadi lembaran kecil-kecil. Bella terharu sampai menangis, bahkan menghambur memeluk Julio. "Terima kasih, Yah, terima kasih. Maaf, sudah bikin Ayah kecewa dan marah."Julio membalas pelukan putrinya itu. "Tidak usah berterima kasih dan sekarang Ayah yang seharusnya minta maaf. Maaf, karena Ayah terlalu egois tidak memikirkan perasaanmu, perasaan kalian." Julio menatap Aaron dengan membuka sebelah tangannya lebar-lebar. Aaron yang mengerti langsung menghamhur ke dalam pelukan Julio. Melihat itu membuat Belinda menangis bahagia. Pun dengan John. Pemuda itu memeluk Belinda erat. "Sudah, sudah! Tidak usa
Ponsel Mitha berdering. Ia meminta izin kepada semua untuk menerima panggilan itu. Rupanya dari Robert, yang melakukan panggilan vidio. Mitha menjauhkan ponselnya agar Robert bisa melihat semuanya. "Halo, Pa? Apa kabar?" sapa Bella sembari melambaikan tangan. "Kabar baik, Nak. Kamu apa kabar?""Sangat baik, Pa." Bella menjawabnya diiringi seulas senyum. Semua menyapa Robert, tetapi tidak dengan Aaron. Ia hanya tersenyum itupun samar. Bella yang memerhatikan sangat mengerti dengan reaksi Aaron. "Bukankah dulu yang kasih alamat di Bali itu Papa Robert, ya? Tapi, kenapa sikapnya seperti itu kepada Papanya?" Batin Bella. Perhatian Bella kembali kepada Robert. Mengenai sikap Aaron, dirinya akan tanyakan nanti. Setelah saling menyapa, Robert bicara, "Sayang sekali aku tidak ada di sana. Mitha mengajakku tadi, tapi maaf ... aku sedang ada pekerjaan.""Semoga ada kesempatan lagi untuk kita bertemu, Tuan," ucap Julio. "Ah, jangan panggil aku Tuan, bukankah kita besan?" tutur Robert. "T
Sementara di Swiss, ada Emilia yang kelabakan mencari paspor miliknya. "Aduh, di mana, sih?" Emilia sudah merasa kesal karena sedari tadi mencari di kamar tak kunjung menemukan. Wanita yang senang menjomblo itu merogoh ponselnya di dalam tas. Ia menghubungi Robert. "Halo, Pa? Apa Papa liat paspor aku?""Ada di ruang kerja Papa. Kamu cari saja," jawab Robert. "Baiklah. Kalau begitu aku matikan teleponnya, ya?"Emilia kembali memasukan ponselnya dalam tas. Ia bergegas pergi ke ruang kerja Robert. Emilia membutuhkan paspor itu secepatnya karena siang itu ia dan teman-temannya akan pergi berlibur ke Bali. Emilia mendorong daun pintu ruang kerja sang ayah. Matanya menyisir setiap sudut ruangan itu. Maklum saja, itu adalah kali pertama dirinya masuk ke sana. Robert selalu melarangnya masuk dengan beribu alasan yang tak masuk akal menurutnya.Emilia mulai melakukan pencarian. Ia menyingkap satu per satu tumpukan map yang ada di meja kerja Robert. Nihil. Emilia tidak menemukannya. Mata
Robert menyesali karena ia tidak bisa membuktikan bahwa Emilia'lah yang masuk, karena tidak ada CCTV di sana. Selama ini ia memang tidak memerlukan benda itu karena memang tidak akan ada yang berani masuk. Ia merutuki kelalaiannya. "Sial kenapa bisa aku lupa membawa kunci itu! Dan kenapa pula aku menyuruh Emilia mencari di sini."Mengingat Emilia, Robert lupa membawa paspor milik sang putri di brankas. Lekas ia mengambil dan segera meninggalkan ruang kerja dan memilih pergi ke kamar. Di kamar, Robert duduk di tepi ranjang sembari membuka dasinya. "Ah, tidak, tidak, aku dan Mitha jangan sampai kecolongan!"Robert menghubungi Mitha. "Halo? Ada kabar tak mengenakan," ungkap Robert saat Mitha menerima panggilan. "Apa maksudnya?"Robert menceritakan duduk perkaranya. "Dari kapan kamu ceroboh? Coba cek CCTV!""Itu dia, Mitha. Aku tidak memasang CCTV di ruang kerjaku.""Ya ampun! Ini era sudah canggih kenapa masih ketinggalan zaman?""Ck! Karena aku pikir itu tidak penting, dulu!""Cob