Seorang wanita dewasa muda berjalan mantap saat keluar dari taksi dan memasuki area perkantoran di pusat kota. Namanya Siska Rantama, pegawai yang sudah lama bekerja dengan tim administrasi perusahaan sepatu.
Siska ditempatkan bersama Kavita dengan tugas mencatat order masuk dan stok berbagai jenis model sepatu yang diproduksi.Siska bekerja untuk membantu finansial suaminya yang kala itu belum sesukses sekarang.Namun, setelah kesuksesan itu berhasil diraih bersama-sama, ujian paling besar datang menghampiri.Siska masih ingat betul bagaimana dia harus bangkit dari patah hati yang menggerogoti jiwanya sampai nyaris habis. Keinginan untuk menghancurkan hidupnya seketika buyar saat bayangan ketiga anaknya muncul dan seolah ikut merasakan patah hati yang dia rasakan.Sejak itu Siska bangkit dan tidak ingin meratapi rumah tangganya yang gagal. Dia berambisi untuk bisa melanjutkan hidup dan bersumpah akan membuat Roni dan istri keduanya menyesal telah menghancurkan dirinya.Kini satu bulan telah berlalu dan rasa sakit itu masih menganga lebar sampai sekarang, membuat Siska melampiaskannya dengan bekerja tanpa kenal lelah, lembur sampai malam hingga hari libur dia lakoni tanpa mengeluh sedikitpun.Hasil yang diterima Siska sepadan dengan usaha keras yang selama ini dia pikul. Pundi-pundi uang mengalir lancar ke rekeningnya, hingga dia rutin menyisihkan sebagian untuk ditransfer ke rekening khusus anak-anaknya.Siska baru saja melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ketika suara seorang pria memanggilnya.“Ada apa?” tanya Siska heran sambil mendatangi Roni yang menjadi pelaku utama di balik sakit hatinya.“Setiap hari kamu pulang malam,” jawab Roni. “Anak-anak memang sudah besar, tapi ....”“Mereka memang sudah besar,” timpal Siska dingin.“Setidaknya kamu harus bisa membagi waktu,” kata Roni sambil berbalik meninggalkan Siska. “Kamu masih istri aku yang sah, jadi tetap lakukan kewajiban kamu.”Siska tidak menjawab saling marahnya. Begitu Roni berlalu, Siska segera pergi ke kamar anak-anaknya.Saga, putra sulungnya, tersenyum ke arahnya saat Siska datang.“Ibu lembur lagi ya,” ujar Saga yang berusia dua belas tahun.“Maaf kalau kamu dan adik-adik jadi menunggu terlalu lama,” ucap Siska merasa bersalah. “Jangan marah sama ibu ya ...”“Aku nggak marah, jangan sering-sering lembur nanti ibu capek!” jawab Saga dengan wajah serius. “Ayo kita makan, Bu?”Siska mengangguk dan mengajak dua buah hatinya yang lain untuk makan sama-sama.“Jadi kamu memang sedang banyak lemburan?” tanya Roni sambil mendongakkan kepalanya saat siska muncul di dapur bersama anak-anak mereka.“Ya,” angguk Siska sambil menyiapkan piring untuk anak-anaknya. “Lebih tepatnya sejak ada kejadian itu.”“Kejadian apa, Bu?” tanya Cilla, anak kedua Siska yang memiliki rasa ingin tahu tinggi.Roni seketika terperanjat.“Oh, bukan kejadian apa-apa ... Nggak penting kok, Cill. Ibu saja sampai lupa kejadian yang mana!”Cilla tidak bertanya apa-apa lagi dan melahap nasi goreng kesukaannya.“Ayah kok nggak makan?” tanya Saga ketika melihat piring Roni yang masih kosong.“Ayah ....”“Ayah kamu sudah kenyang, tadi makan di jalan—kebetulan ibu lihat.” Siska menyeka, membuat Roni tidak memiliki daya untuk membantah.“Padahal di rumah ada banyak makanan, kok Ayah malah makan di luar?” Cilla berkomentar.Roni pura-pura terbatuk. “Iya, tadi sama ... teman kerja ayah.”Dasar pembohong kamu, Mas! Siska membatin.***Siska mencuci tangannya di wastafel setelah keluar dari toilet, tidak lupa dia merapikan rambut panjangnya yang diikat ekor kuda. Kemeja warna biru lembut membalut tubuh Siska yang berlekuk indah. Ditambah rok sepan hitam selutut yang semakin menyempurnakan kedua kakinya yang jenjang.“Aku wanita kuat,” gumam Siska dengan senyum yang terbit di bibir merah alaminya, setelah itu dia langsung meninggalkan toilet.Baru lima menit duduk, Siska mendengar namanya dipanggil dari dalam kantor.“Sis, ada panggilan dari ruangan Pak Ezra.” Kavita menyongsongnya ketika Siska muncul di depannya. “Cepat ke sana sekarang.”Siska menganggukkan kepala dan menaiki tangga khusus karyawan kantor, karena lift di sana hanya khusus untuk pemilik perusahaan dan keluarganya.“Permisi Pak, Anda memanggil saya?” tanya Siska saat tiba di ruangan Ezra yang saat itu sedang ada tamu yang duduk membelakanginya.“Ya, ada hal penting yang mau saya sampaikan sama kamu.” Ezra mengangguk. “Saya baru saja mengajak sepupu saya untuk bergabung di perusahaan ini, masalahnya dia belum paham apa-apa tentang sepatu.”“Lalu tugas saya apa, Pak?” tanya Siska tanpa berbelit-belit.“Kenalkan dulu, ini sepupu saya.” Ezra mengisyaratkan kepada pria yang duduk di depannya untuk berdiri. “Dia akan belajar di sini mulai minggu depan.”Pria itu berdiri dan menoleh ke arah Siska yang seketika tercengang melihatnya.“Pasha?” serunya kaget.“Siska?”Ezra mengernyitkan keningnya ketika menyadari bahwa kedua orang di depannya ini sudah tahu nama masing-masing.Siska terperanjat ketika melihat pria dewasa yang ada di depannya ini adalah Pasha, teman sekolahnya yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya.“Kalian berdua sudah saling kenal?” komentar Ezra, masih sambil mengernyit.“Siska ini teman sekolahku dulu,” jelas Pasha sambil menoleh memandang Ezra. “Sudah lama kami hilang kontak.”“Kebetulan sekali kalau begitu,” ujar Ezra. “Kamu belajar dulu sama dia mulai minggu depan.”“Minggu depan itu terlalu lama,” sahut Pasha antusias. “Sekarang juga aku siap. Ayo, Sis?”“Kamu ini mau kerja apa modus mau reuni sama Siska?” tukas Ezra datar. “Kamu harus belajar produk dulu.”“Iya gampang, yuk Sis?” ajak Pasha sambil berjalan ke arah lift yang ada di sudut ruangan.“Saya lewat tangga saja, Pak Pasha. Saya permisi, Pak Ezra.” Siska mengangguk sopan kemudian segera meninggalkan ruangan Ezra, sementara Pasha sudah telanjur masuk ke dalam lift.“Aku harus ngapain?” tanya Pasha ketika dia dan Siska sudah berada di gudang sepatu.“Seperti perintah Pak Ezra, kamu harus belajar produk dulu. Sepatu-sepatu di sini terdiri dari banyak jenis dan model.” Siska menjelaskan. “Pak Pasha paham?”“Memangnya harus ya aku dipanggil bapak?” tanya Pasha sambil mengernyit. “Apa aku sudah setua itu di depan kamu?”“Masalahnya kita sedang di tempat kerja Pak,” bisik Siska. “Aku tidak enak sama karyawan lainnya.”Pasha terdiam maklum mendengar penjelasan Siska.Tidak lama, telepon yang ada dalam jangkauan tangan siska berdering nyaring. Dia segera meraih gagangnya dan menyapa seseorang di ujung sana sambil tersenyum tipis.“Halo, ada yang bisa saya bantu?” katanya ramah. “Oh, kamu Vit? Untuk sepatu dewasa ada sekitar seratusan yang siap kirim. Ini aku baca salinan catatan, kebetulan aku sedang ada di gudang ... Oke siap, nanti aku sampaikan ke petugas gudang.”Siska meletakkan gagang teleponnya diiringi tatapan heran Pasha.“Apa perlu tersenyum seperti tadi?” komentarnya. “Aku baru tahu kalau kamu orangnya ramah juga.”“Namanya juga sedang kerja,” sahut Siska santai.“Tapi dulu kamu judes sekali lho, ingat?”“Masa lalu tidak usah dibahas lagi,” tukas Siska sambil mengalihkan pandangannya.Bersambung—Dia melihat sebuah mobil berhenti di depan gudang dan keluarlah beberapa orang laki-laki yang bergegas turun.Pasha sengaja berdehem keras-keras, membuat Siska kembali fokus kepada tujuan awal mereka.Siska cepat-cepat menjelaskan tentang stok sepatu yang tersedia berdasarkan catatan.“Di sini sudah ada petugas, jadi kamu tinggal tanya-tanya saja tentang stok sepatu yang kamu butuhkan ... Kamu juga bisa melihat-lihat atau memilih barangnya langsung.”“Oh, sama kamu juga?” tanya Pasha.“Tidak perlu, aku kerja di bagian lain.” Siska menjelaskan. “Pak Pasha, memangnya kamu tahu ...”“Jangan panggil aku bapak, aku belum tua.”Siska tidak menanggapi Pasha dan memilih untuk meninggalkan gudang sepatu.“Sha, aku kembali ke kantor dulu ya?” ucap Siska sambil tersenyum singkat, sementara Pasha berjalan di sampingnya sambil bermain ponsel.“Sis, minggu depan ikut seminar yuk?” ajak Pasha. “seminar bisnis, di gedung hotel sana itu ....”“Aku tidak ikut,” geleng Siska. “Aku mau ambil kerjaan, tar
“Kamu benar, Sha.” Siska mengangguk seraya menarik napas dalam-dalam.Setibanya di hotel yang sudah disulap menjadi tempat seminar, Siska dan Pasha bergegas masuk dan langsung disambut beberapa rekan bisnis yang sudah lebih dulu datang.“Aku ke toilet dulu,” kata Siska sedikit gugup saat rekan Pasha bergabung dengannya.“Aku tunggu di sini,” sahut Pasha.Di dalam toilet, Siska melihat pantulan wajahnya sendiri lekat-lekat. Rambutnya yang hitam meruncing nyaris tak ada bedanya dengan dirinya beberapa bulan yang lalu. Namun, wajah itu kini semakin matang oleh rasa benci yang membuncah.Begitu keluar dari toilet, Siska terkesiap saat mendapati sosok Roni yang berdiri di depan lorong."Siska?" Roni menyadari kehadiran istrinya juga. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Siska terpaku sebentar selama beberapa detik, sebelum akhirnya dia mengangguk ke arah Roni sambil tersenyum sopan dan melenggang pergi begitu saja dari hadapannya. “Maaf, nunggu lama!” seru Siska saat bergabung lagi dengan Pas
“Ingatan tentang bagaimana sedihnya kamu saat melihatku bersama Ririn, telah menjadi mimpi buruk bagiku selama dua bulan ini.”Siska sama sekali tidak bereaksi, dia sengaja membiarkan Roni menikmati halus kulitnya di pahatan wajahnya yang nyaris tanpa cela.“Aku bisa pahami kemarahan kamu terhadap keputusanku,” sambung Roni lagi. “Tapi aku tidak akan semudah itu membiarkan kamu pergi. Apa pun akan aku lakukan untuk membuat kamu tetap berada di sisiku.”Siska sengaja tertawa kecil untuk menutupi perasaannya yang sudah tidak keruan lagi.“Terserah kamu,” katanya. “Bukankah seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia suka?”Siska menyingkirkan tangan Roni dengan gerakan pelan dan tidak terkesan buru-buru mendorongnya.“Jangan memancing kesabaran aku, Siska.” Roni tidak mengizinkan Siska memegang tangannya dan segera ditariknya dagu wanita muda itu hingga bibirnya maju lebih dekat dengan bibirnya sendiri. “Ingat, kita ini masih sah suami istri.”Dan segera dilahapnya bibir merek
“Aku baik-baik aja kok Sha, cuma ada sesuatu sedikit.” Siska menenangkannya. “Sekarang kamu di mana? Biar aku yang susul kamu.”Pasha terdengar menghela napas lega.“Aku ada di depan gedung, Sis,” katanya. “Cepat ya, jangan bikin aku khawatir.”“Oke, aku jalan ke sana sekarang.” Siska memutus sambungan teleponnya dan bergegas menyusul Pasha yang sudah menunggu.Wajah Pasha terlihat lega saat Siska muncul di depannya.“Sis, kamu ke mana saja?” serunya sambil memandang Siska. “Aku sudah mikir yang tidak-tidak kalau kamu hilang atau diculik ...”“Maaf Sha, aku tidak sempat ngabarin soalnya ...” Siska menghentikan kalimatnya dengan napas panjang.“Ya sudah, tidak apa-apa.” Pasha seolah mengerti apa yang sedang dirasakan Siska. “Aku antar kamu ke rumah sekarang, bagaimana?”“Oke,” angguk Siska seraya masuk ke mobil Pasha dan menyandarkan punggungnya yang letih ke tempat duduk.Pasha menyusul masuk dan sempat melirik Siska sebentar sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan hotel semi
Roni tidak dapat menemukan pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan kepada Ririn tentang betapa berbedanya Siska saat ini.“Dia kecewa?” tebak Ririn.“Sangat,” ucap Roni. “Biarpun dia tidak bilang, aku bisa melihat itu semua dari sorot matanya saat memandangku.”Ririn terdiam, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia masih ingat betapa kejamnya Siska saat berusaha keras menggagalkan pernikahannya dengan Roni, tetapi pada akhirnya Roni juga yang enggan memiliki satu di antara mereka berdua.Dan yang menjadi korbannya tentu saja Ririn yang tidak tahu apa-apa.“Tapi aku tahu kalau dia bohong,” ujar Roni sambil menenggak minuman kalengnya lagi. “Aku masih bisa merasakannya.”Sesungguhnya Roni tidak benar-benar yakin jika Siska masih mengharapkan hubungan mereka diperbaiki. Dia telah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesendirian selama dua bulan tanpa penjelasan, dan Roni baru saja menerima pembayaran tunai dengan kebencian Siska terhadapnya.Masih terin
“Aku pusing, kepalaku sakit sekali ...” keluh Siska. “Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman.”Kavita menggeleng, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sebagai gantinya, dia mengulurkan sekotak makanan yang tadi sudah disiapkannya kepada Siska.“Makanlah, aku pikir kamu belum sarapan. Aku paham bagaimana rasanya dikhianati,” ujar Kavita sungguh-sungguh.“Terima kasih ya?” ucap Siska sambil menerimanya. “Kamu sudah menyempatkan diri datang ke sini.”Kavita menggeleng dan duduk di samping Siska.“Sudahlah, jangan berpikiran macam-macam. Cepat makan,” suruhnya.Siska tersenyum tipis dan membuka kotak makan yang diberikan Kavita kepadanya.Di lain tempat, Pasha menghentikan mobilnya di tepi jembatan yang ada di dekat lokasi proyek. Dia menengok arlojinya dan memutuskan untuk menunggu kedatangan Roni yang sudah menyanggupi kesepakatan jam pertemuan mereka.Kira-kira tak sampai sepuluh menit menunggu, Pasha melihat sebuah mobil berhenti di dekat mobilnya.“Langsung saja ya, Ron?” kata Pasha bahkan se
“Jadi,” ucap Kavita ketika dia dan Siska duduk bersama dalam satu meja dan menikmati sarapan mereka. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Apanya?” tanya Siska sambil terus mengunyah. “Jangan pura-pura tidak tahu,” jawab Kavita sambil melirik Siska tajam. “Bagian yang paling menyedihkan dalam hidup itu adalah berpura-pura padahal hati kamu merasakan yang sebaliknya.”Siska terdiam sambil menelan makanannya. Pantas saja semalaman suntuk dia merasakan nyeri yang amat sangat di hatinya, bisa jadi itu karena dia telah berpura-pura bahwa dia tidak lagi mengharapkan Roni.“Nah kan, melamun lagi ...” komentar Kavita sambil menggeleng. “Kalau memang kamu merasa belum siap untuk mengambil keputusan terkait rumah tangga kamu, lebih baik jangan gegabah.” Kavita menyarankan.Siska menarik napas panjang.“Dia melakukan kesalahan yang tidak bisa aku maafkan,” katanya sakit hati. “Jadi ngapain aku berusaha memperbaiki? Lebih baik cari yang baru lagi.”Kavita mendengus di atas piringnya.“Mentang-mentang
Beberapa waktu sebelumnya ....Dua hari sebelum acara meeting besar selesai, seluruh pegawai dihebohkan dengan berita tidak menyenangkan tentang Roni dan Siska. Tidak ada yang tahu awal mula berita itu menyebar, yang pasti berita itu sudah menjangkiti siapapun seperti wabah penyakit.Roni menoleh ketika seseorang menyentuh bahunya sebelum kakinya memasuki dapur. Ternyata kedua orang tuanya dan juga Ririn.“Ayah baru tahu istri kamu wanita seperti itu,” kata ayah Roni dengan wajah prihatin.“Seperti itu ... apa maksudnya?” tanya Roni bingung. “Kami tahu sekarang bagaimana selama ini dia memandang kamu sebagai suaminya,” timpal ibu Roni.“Ayah dan ibu ngomongin Siska?” tanya Roni lagi sementara Ririn lebih memilih diam sebagai bentuk jaga image di hadapan mertua. “Dia memang wanita independen dari dulu kan?”“Bukan!” sergah ibu Roni. “Ternyata selama ini Siska ... sudah membuat berita viral tentang kamu! Gara-gara itu, mau taruh di mana muka kita sekeluarga?”“Apa?! Ayah dan ibu jangan