Share

4 Setelah Kesuksesan Itu

Seorang wanita dewasa muda berjalan mantap saat keluar dari taksi dan memasuki area perkantoran di pusat kota. Namanya Siska Rantama, pegawai yang sudah lama bekerja dengan tim administrasi perusahaan sepatu.

Siska ditempatkan bersama Kavita dengan tugas mencatat order masuk dan stok berbagai jenis model sepatu yang diproduksi.

Siska bekerja untuk membantu finansial suaminya yang kala itu belum sesukses sekarang.

Namun, setelah kesuksesan itu berhasil diraih bersama-sama, ujian paling besar datang menghampiri.

Siska masih ingat betul bagaimana dia harus bangkit dari patah hati yang menggerogoti jiwanya sampai nyaris habis. Keinginan untuk menghancurkan hidupnya seketika buyar saat bayangan ketiga anaknya muncul dan seolah ikut merasakan patah hati yang dia rasakan.

Sejak itu Siska bangkit dan tidak ingin meratapi rumah tangganya yang gagal. Dia berambisi untuk bisa melanjutkan hidup dan bersumpah akan membuat Roni dan istri keduanya menyesal telah menghancurkan dirinya.

Kini satu bulan telah berlalu dan rasa sakit itu masih menganga lebar sampai sekarang, membuat Siska melampiaskannya dengan bekerja tanpa kenal lelah, lembur sampai malam hingga hari libur dia lakoni tanpa mengeluh sedikitpun.

Hasil yang diterima Siska sepadan dengan usaha keras yang selama ini dia pikul. Pundi-pundi uang mengalir lancar ke rekeningnya, hingga dia rutin menyisihkan sebagian untuk ditransfer ke rekening khusus anak-anaknya.

Siska baru saja melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ketika suara seorang pria memanggilnya.

“Ada apa?” tanya Siska heran sambil mendatangi Roni yang menjadi pelaku utama di balik sakit hatinya.

“Setiap hari kamu pulang malam,” jawab Roni. “Anak-anak memang sudah besar, tapi ....”

“Mereka memang sudah besar,” timpal Siska dingin.

“Setidaknya kamu harus bisa membagi waktu,” kata Roni sambil berbalik meninggalkan Siska. “Kamu masih istri aku yang sah, jadi tetap lakukan kewajiban kamu.”

Siska tidak menjawab saling marahnya. Begitu Roni berlalu, Siska segera pergi ke kamar anak-anaknya.

Saga, putra sulungnya, tersenyum ke arahnya saat Siska datang.

“Ibu lembur lagi ya,” ujar Saga yang berusia dua belas tahun.

“Maaf kalau kamu dan adik-adik jadi menunggu terlalu lama,” ucap Siska merasa bersalah. “Jangan marah sama ibu ya ...”

“Aku nggak marah, jangan sering-sering lembur nanti ibu capek!” jawab Saga dengan wajah serius. “Ayo kita makan, Bu?”

Siska mengangguk dan mengajak dua buah hatinya yang lain untuk makan sama-sama.

“Jadi kamu memang sedang banyak lemburan?” tanya Roni sambil mendongakkan kepalanya saat siska muncul di dapur bersama anak-anak mereka.

“Ya,” angguk Siska sambil menyiapkan piring untuk anak-anaknya. “Lebih tepatnya sejak ada kejadian itu.”

“Kejadian apa, Bu?” tanya Cilla, anak kedua Siska yang memiliki rasa ingin tahu tinggi.

Roni seketika terperanjat.

“Oh, bukan kejadian apa-apa ... Nggak penting kok, Cill. Ibu saja sampai lupa kejadian yang mana!”

Cilla tidak bertanya apa-apa lagi dan melahap nasi goreng kesukaannya.

“Ayah kok nggak makan?” tanya Saga ketika melihat piring Roni yang masih kosong.

“Ayah ....”

“Ayah kamu sudah kenyang, tadi makan di jalan—kebetulan ibu lihat.” Siska menyeka, membuat Roni tidak memiliki daya untuk membantah.

“Padahal di rumah ada banyak makanan, kok Ayah malah makan di luar?” Cilla berkomentar.

Roni pura-pura terbatuk. “Iya, tadi sama ... teman kerja ayah.”

Dasar pembohong kamu, Mas! Siska membatin.

***

Siska mencuci tangannya di wastafel setelah keluar dari toilet, tidak lupa dia merapikan rambut panjangnya yang diikat ekor kuda. Kemeja warna biru lembut membalut tubuh Siska yang berlekuk indah. Ditambah rok sepan hitam selutut yang semakin menyempurnakan kedua kakinya yang jenjang.

“Aku wanita kuat,” gumam Siska dengan senyum yang terbit di bibir merah alaminya, setelah itu dia langsung meninggalkan toilet.

Baru lima menit duduk, Siska mendengar namanya dipanggil dari dalam kantor.

“Sis, ada panggilan dari ruangan Pak Ezra.” Kavita menyongsongnya ketika Siska muncul di depannya. “Cepat ke sana sekarang.”

Siska menganggukkan kepala dan menaiki tangga khusus karyawan kantor, karena lift di sana hanya khusus untuk pemilik perusahaan dan keluarganya.

“Permisi Pak, Anda memanggil saya?” tanya Siska saat tiba di ruangan Ezra yang saat itu sedang ada tamu yang duduk membelakanginya.

“Ya, ada hal penting yang mau saya sampaikan sama kamu.” Ezra mengangguk. “Saya baru saja mengajak sepupu saya untuk bergabung di perusahaan ini, masalahnya dia belum paham apa-apa tentang sepatu.”

“Lalu tugas saya apa, Pak?” tanya Siska tanpa berbelit-belit.

“Kenalkan dulu, ini sepupu saya.” Ezra mengisyaratkan kepada pria yang duduk di depannya untuk berdiri. “Dia akan belajar di sini mulai minggu depan.”

Pria itu berdiri dan menoleh ke arah Siska yang seketika tercengang melihatnya.

“Pasha?” serunya kaget.

“Siska?”

Ezra mengernyitkan keningnya ketika menyadari bahwa kedua orang di depannya ini sudah tahu nama masing-masing.

Siska terperanjat ketika melihat pria dewasa yang ada di depannya ini adalah Pasha, teman sekolahnya yang beberapa waktu lalu bertemu dengannya.

“Kalian berdua sudah saling kenal?” komentar Ezra, masih sambil mengernyit.

“Siska ini teman sekolahku dulu,” jelas Pasha sambil menoleh memandang Ezra. “Sudah lama kami hilang kontak.”

“Kebetulan sekali kalau begitu,” ujar Ezra. “Kamu belajar dulu sama dia mulai minggu depan.”

“Minggu depan itu terlalu lama,” sahut Pasha antusias. “Sekarang juga aku siap. Ayo, Sis?”

“Kamu ini mau kerja apa modus mau reuni sama Siska?” tukas Ezra datar. “Kamu harus belajar produk dulu.”

“Iya gampang, yuk Sis?” ajak Pasha sambil berjalan ke arah lift yang ada di sudut ruangan.

“Saya lewat tangga saja, Pak Pasha. Saya permisi, Pak Ezra.” Siska mengangguk sopan kemudian segera meninggalkan ruangan Ezra, sementara Pasha sudah telanjur masuk ke dalam lift.

“Aku harus ngapain?” tanya Pasha ketika dia dan Siska sudah berada di gudang sepatu.

“Seperti perintah Pak Ezra, kamu harus belajar produk dulu. Sepatu-sepatu di sini terdiri dari banyak jenis dan model.” Siska menjelaskan. “Pak Pasha paham?”

“Memangnya harus ya aku dipanggil bapak?” tanya Pasha sambil mengernyit. “Apa aku sudah setua itu di depan kamu?”

“Masalahnya kita sedang di tempat kerja Pak,” bisik Siska. “Aku tidak enak sama karyawan lainnya.”

Pasha terdiam maklum mendengar penjelasan Siska.

Tidak lama, telepon yang ada dalam jangkauan tangan siska berdering nyaring. Dia segera meraih gagangnya dan menyapa seseorang di ujung sana sambil tersenyum tipis.

“Halo, ada yang bisa saya bantu?” katanya ramah. “Oh, kamu Vit? Untuk sepatu dewasa ada sekitar seratusan yang siap kirim. Ini aku baca salinan catatan, kebetulan aku sedang ada di gudang ... Oke siap, nanti aku sampaikan ke petugas gudang.”

Siska meletakkan gagang teleponnya diiringi tatapan heran Pasha.

“Apa perlu tersenyum seperti tadi?” komentarnya. “Aku baru tahu kalau kamu orangnya ramah juga.”

“Namanya juga sedang kerja,” sahut Siska santai.

“Tapi dulu kamu judes sekali lho, ingat?”

“Masa lalu tidak usah dibahas lagi,” tukas Siska sambil mengalihkan pandangannya.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status