“Ingatan tentang bagaimana sedihnya kamu saat melihatku bersama Ririn, telah menjadi mimpi buruk bagiku selama dua bulan ini.”
Siska sama sekali tidak bereaksi, dia sengaja membiarkan Roni menikmati halus kulitnya di pahatan wajahnya yang nyaris tanpa cela.“Aku bisa pahami kemarahan kamu terhadap keputusanku,” sambung Roni lagi. “Tapi aku tidak akan semudah itu membiarkan kamu pergi. Apa pun akan aku lakukan untuk membuat kamu tetap berada di sisiku.”Siska sengaja tertawa kecil untuk menutupi perasaannya yang sudah tidak keruan lagi.“Terserah kamu,” katanya. “Bukankah seorang suami bebas untuk melakukan apa saja yang dia suka?”Siska menyingkirkan tangan Roni dengan gerakan pelan dan tidak terkesan buru-buru mendorongnya.“Jangan memancing kesabaran aku, Siska.” Roni tidak mengizinkan Siska memegang tangannya dan segera ditariknya dagu wanita muda itu hingga bibirnya maju lebih dekat dengan bibirnya sendiri. “Ingat, kita ini masih sah suami istri.”Dan segera dilahapnya bibir merekah Siska dengan sekali serang, sebuah pancingan yang Roni harapkan mampu untuk membuat pertahanan angkuh istrinya runtuh dalam sekejap.Namun, Siska tak gentar semudah itu. Dia tidak membalas kecupan yang Roni berikan, tapi dia menerimanya dengan sangat dingin dan sengaja membiarkannya tanpa hasrat sedikitpun.Sakit hati yang diukir Roni telah membekas terlalu dalam di hati Siska, hingga kini tak ada sisa ruang lagi bagi dirinya untuk memupuk kembali benih cinta yang dulu mereka tanam bersama.“Kenapa ...?” Roni mengakhiri kecupannya, sadar jika Siska sama sekali tidak merespons tindakannya. “Kamu sudah tidak menginginkan hubungan kita diperbaiki?”“Menurut kamu?” tanya Siska balik. “Dua bulan berlalu dan kamu ke mana saja?”Siska yang awalnya tenang kini berubah menjadi emosional sesaat. Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Roni, dia berbalik dan menarik pegangan pintu dengan serampangan. Jantungnya sudah tidak mampu dia kendalikan lagi lebih dari ini.Roni mampu melihat sedikit celah yang bisa digunakannya untuk mengendalikan Siska lagi. Dibantingnya pintu mobil dengan keras dan dikuncinya, kemudian diputarnya bahu Siska hingga menghadap kepadanya.“Kenapa buru-buru?” tanya Roni seraya mencondongkan tubuhnya. “Aku ingin tahu berapa lama lagi kamu bisa menghadapi aku.”“Bukankah dari tadi aku sudah menghadapi kamu, Mas?” komentar Siska tenang. “Sampai sekarangpun aku masih menghadapi kamu, jadi apa masalahnya?”Roni menyipitkan matanya tidak percaya saat melihat keangkuhan Siska yang semakin menjadi-jadi.“Masalah ciuman tadi, aku malas membalasnya karena ...” Siska sengaja menahan kalimatnya sebentar, membuat Roni menunggu dengan geram. “Menurut aku itu hal yang biasa aku dapatkan.”“Apa kamu bilang?” tanya Roni tajam dengan cengkeraman yang begitu kuat di kedua bahu Siska. “Hal biasa yang kamu dapatkan? Apa itu artinya kamu sudah berciuman dengan begitu banyak laki-laki?”Siska menarik napas.“Apa pentingnya hal itu buat kamu?” kata Siska letih. “Memangnya kamu masih peduli?”Roni sulit mempercayai jika Siska akan semudah itu berinteraksi dengan laki-laki selain dirinya. Karena selama ini dia mengenal Siska sebagai istri yang sangat menjaga batas aman dengan lawan jenisnya.“Kamu itu masih istri aku, Siska.” Roni menegaskan. “Itu artinya aku berhak atas kamu, tidak akan aku biarkan kamu memberikan satupun bagian tubuh kamu untuk dinikmati laki-laki lain. Paham kamu?”Siska sama sekali tidak menganggap serius ucapan Roni barusan.“Lucu sekali,” komentarnya. “Untuk apa kamu merasa memiliki aku kalau kamu tidak bisa mempertahankan aku sebagai satu-satunya istri kamu?”Roni tak berkutik selama beberapa saat lamanya.“Kamu tidak perlu mengungkitnya, aku masih ingat keputusan aku saat itu.” Roni tidak mengelak. “Tapi sekali lagi aku tegaskan sama kamu kalau kamu masih istri aku dan selamanya akan tetap begitu.”Siska menggeleng prihatin.“Jadi itu sebabnya kamu merasa aku harus membalas ciuman tadi?” komentarnya. “Oke, aku akan memberikan ciuman paling eksklusif untuk kamu.”Siska mencondongkan tubuhnya juga dan mengulurkan kedua lengannya ke leher Roni. Dia memiringkan wajahnya dan dengan malas menyatukan bibirnya sendiri ke bibir suaminya dan mengecupnya pelan tanpa hasrat.“... dengan gratis,” ucap Siska setelah mengakhiri perbuatannya yang bagi Roni sungguh tak terduga. Segera ditariknya wanita itu dalam dekapannya seakan tidak ingin melepasnya lagi untuk yang kedua kalinya.Siska membiarkan Roni mendekapnya tanpa berniat berontak untuk melepaskan diri. Sama seperti ciuman tadi, dia tidak ingin menunjukkan kepada suaminya itu jika dia masih lemah dengan status hubungan mereka.Dengan tidak bereaksi apa-apa terhadap pelukannya ini, Siska ingin membuat Roni tahu bahwa dirinya sudah tidak berarti apa-apa lagi untuknya.“Aku akan melakukan apa saja untuk membuat kamu tetap berada di sisiku,” ucap Roni di telinga Siska.“Tadi kamu sudah mengatakannya,” sahut Siska datar. “Kamu tidak tahu saja kalau aku sengaja datang ke seminar ini untuk kepentingan anak-anakku.”“Kamu harus tetap di sisiku, tidak bisa tidak.” Roni masih mempertahankan Siska dalam pelukannya.“Silakan kamu berkhayal setinggi langit,” kata Siska. “Kalau memang mendekap aku bisa membuat kamu merasa mendapat kekuatan, silakan saja. Aku kasihan melihat kamu begitu sulit melepaskan aku. Apa istri kamu tidak berusaha membuat kamu setuju untuk menggantikan aku?”Roni merasa ingin melarikan Siska ke rumah mereka dan memberinya pelajaran atas kekurangajaran ucapannya ini.“Puas-puaskan saja kamu mendekap aku,” ujar Siska ringan, “Karena belum tentu besok kita akan bertemu lagi. Mungkin Pasha juga sedang menunggu aku.”Roni langsung melepas Siska dan mendorongnya dengan keras sampai punggung Siska terantuk pintu.“Sejak kapan ada Pasha di antara kita?” katanya tajam.Siska tertawa kecil.“Sejak beberapa waktu yang lalu,” sahutnya ringan. “Entahlah ... biarpun aku tidak bisa mencintainya, tapi Pasha selalu saja berada di samping aku setiap kali keadaan aku susah. Laki-laki seperti dia tidak bisa aku sepelekan begitu saja, bukankah begitu?”Roni tidak menjawab. Sebagai gantinya, dia membuka kunci dan memandang Siska dengan sorot mata tajam bagai pisau yang siap memotong leher musuhnya.“Keluar sekarang,” perintahnya.Siska dengan tenang merapikan rambut panjangnya dan mendorong dirinya keluar dari mobil Roni. Dia menoleh dan melayangkan senyuman manisnya ke arah Roni sebelum pergi.“Terima kasih atas pertemuan istimewa kita malam ini, Mas. Harus aku akui kalau pelukan kamu masih sama eratnya seperti dulu. Tapi maaf, kamu bukan lagi tujuanku,” ucap Siska seraya memutar wajahnya dan berlalu pergi dari mobil Roni yang terparkir.Roni meninju dasbor dengan keras. Sepatu hak tinggi yang dikenakan Siska beradu keras dengan lantai di area parkir dan terdengar seperti bunyi genderang perang yang membuka pertarungan ego mereka berdua.Di luar, Siska cepat-cepat menghubungi Pasha karena khawatir kalau pria itu sedang mencarinya.“Halo, Pasha?” sapa Siska.“Sis, kamu ke mana saja?” seru Pasha dengan nada khawatir. “Aku mencari kamu ke mana-mana, aku pikir terjadi sesuatu sama kamu!”Bersambung—“Aku baik-baik aja kok Sha, cuma ada sesuatu sedikit.” Siska menenangkannya. “Sekarang kamu di mana? Biar aku yang susul kamu.”Pasha terdengar menghela napas lega.“Aku ada di depan gedung, Sis,” katanya. “Cepat ya, jangan bikin aku khawatir.”“Oke, aku jalan ke sana sekarang.” Siska memutus sambungan teleponnya dan bergegas menyusul Pasha yang sudah menunggu.Wajah Pasha terlihat lega saat Siska muncul di depannya.“Sis, kamu ke mana saja?” serunya sambil memandang Siska. “Aku sudah mikir yang tidak-tidak kalau kamu hilang atau diculik ...”“Maaf Sha, aku tidak sempat ngabarin soalnya ...” Siska menghentikan kalimatnya dengan napas panjang.“Ya sudah, tidak apa-apa.” Pasha seolah mengerti apa yang sedang dirasakan Siska. “Aku antar kamu ke rumah sekarang, bagaimana?”“Oke,” angguk Siska seraya masuk ke mobil Pasha dan menyandarkan punggungnya yang letih ke tempat duduk.Pasha menyusul masuk dan sempat melirik Siska sebentar sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan hotel semi
Roni tidak dapat menemukan pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan kepada Ririn tentang betapa berbedanya Siska saat ini.“Dia kecewa?” tebak Ririn.“Sangat,” ucap Roni. “Biarpun dia tidak bilang, aku bisa melihat itu semua dari sorot matanya saat memandangku.”Ririn terdiam, tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Dia masih ingat betapa kejamnya Siska saat berusaha keras menggagalkan pernikahannya dengan Roni, tetapi pada akhirnya Roni juga yang enggan memiliki satu di antara mereka berdua.Dan yang menjadi korbannya tentu saja Ririn yang tidak tahu apa-apa.“Tapi aku tahu kalau dia bohong,” ujar Roni sambil menenggak minuman kalengnya lagi. “Aku masih bisa merasakannya.”Sesungguhnya Roni tidak benar-benar yakin jika Siska masih mengharapkan hubungan mereka diperbaiki. Dia telah membiarkan dirinya tenggelam dalam kesendirian selama dua bulan tanpa penjelasan, dan Roni baru saja menerima pembayaran tunai dengan kebencian Siska terhadapnya.Masih terin
“Aku pusing, kepalaku sakit sekali ...” keluh Siska. “Maaf kalau kamu jadi tidak nyaman.”Kavita menggeleng, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sebagai gantinya, dia mengulurkan sekotak makanan yang tadi sudah disiapkannya kepada Siska.“Makanlah, aku pikir kamu belum sarapan. Aku paham bagaimana rasanya dikhianati,” ujar Kavita sungguh-sungguh.“Terima kasih ya?” ucap Siska sambil menerimanya. “Kamu sudah menyempatkan diri datang ke sini.”Kavita menggeleng dan duduk di samping Siska.“Sudahlah, jangan berpikiran macam-macam. Cepat makan,” suruhnya.Siska tersenyum tipis dan membuka kotak makan yang diberikan Kavita kepadanya.Di lain tempat, Pasha menghentikan mobilnya di tepi jembatan yang ada di dekat lokasi proyek. Dia menengok arlojinya dan memutuskan untuk menunggu kedatangan Roni yang sudah menyanggupi kesepakatan jam pertemuan mereka.Kira-kira tak sampai sepuluh menit menunggu, Pasha melihat sebuah mobil berhenti di dekat mobilnya.“Langsung saja ya, Ron?” kata Pasha bahkan se
“Jadi,” ucap Kavita ketika dia dan Siska duduk bersama dalam satu meja dan menikmati sarapan mereka. “Kamu sudah merasa lebih baik?”“Apanya?” tanya Siska sambil terus mengunyah. “Jangan pura-pura tidak tahu,” jawab Kavita sambil melirik Siska tajam. “Bagian yang paling menyedihkan dalam hidup itu adalah berpura-pura padahal hati kamu merasakan yang sebaliknya.”Siska terdiam sambil menelan makanannya. Pantas saja semalaman suntuk dia merasakan nyeri yang amat sangat di hatinya, bisa jadi itu karena dia telah berpura-pura bahwa dia tidak lagi mengharapkan Roni.“Nah kan, melamun lagi ...” komentar Kavita sambil menggeleng. “Kalau memang kamu merasa belum siap untuk mengambil keputusan terkait rumah tangga kamu, lebih baik jangan gegabah.” Kavita menyarankan.Siska menarik napas panjang.“Dia melakukan kesalahan yang tidak bisa aku maafkan,” katanya sakit hati. “Jadi ngapain aku berusaha memperbaiki? Lebih baik cari yang baru lagi.”Kavita mendengus di atas piringnya.“Mentang-mentang
Beberapa waktu sebelumnya ....Dua hari sebelum acara meeting besar selesai, seluruh pegawai dihebohkan dengan berita tidak menyenangkan tentang Roni dan Siska. Tidak ada yang tahu awal mula berita itu menyebar, yang pasti berita itu sudah menjangkiti siapapun seperti wabah penyakit.Roni menoleh ketika seseorang menyentuh bahunya sebelum kakinya memasuki dapur. Ternyata kedua orang tuanya dan juga Ririn.“Ayah baru tahu istri kamu wanita seperti itu,” kata ayah Roni dengan wajah prihatin.“Seperti itu ... apa maksudnya?” tanya Roni bingung. “Kami tahu sekarang bagaimana selama ini dia memandang kamu sebagai suaminya,” timpal ibu Roni.“Ayah dan ibu ngomongin Siska?” tanya Roni lagi sementara Ririn lebih memilih diam sebagai bentuk jaga image di hadapan mertua. “Dia memang wanita independen dari dulu kan?”“Bukan!” sergah ibu Roni. “Ternyata selama ini Siska ... sudah membuat berita viral tentang kamu! Gara-gara itu, mau taruh di mana muka kita sekeluarga?”“Apa?! Ayah dan ibu jangan
“Apa yang terjadi sih sebenarnya, Sis?” tanya Kavita setengah mendesak. “Kelihatannya kamu bingung sekali.”Siska menyeka kedua matanya sebelum akhirnya menceritakan apa yang didengarnya di atap gedung perkantoran Roni tadi.“Apa, jadi mereka bikin berita viral?” seru Kavita terkejut. “Tidak nyangka.”“Sudahlah Vit, tidak apa-apa. Aku harap kamu sama Roni tetap jaga hubungan baik kalau suatu saat bertemu di jalan,” ujar Siska dengan senyum yang dipaksakan. “Mereka berdua cuma bermasalah sama aku, jadi kamu tidak perlu memihak.”Kavita mengulurkan tangan dan menepuk bahu Siska.“Kamu masih punya aku Sis,” katanya sambil tersenyum. “Aku mana bisa tidak memihak, nasib kita sama. Diduakan suami cuma karena dia merasa mampu secara finansial, sedangkan dia tidak mikir bagaimana perasaan istri mereka yang selama ini menemani langkahnya dari nol sampai bisa sukses seperti sekarang.”“Iya Vit, kamu juga tidak kalah menderita daripada aku.” Siska menimpali. “Tidak perlu sedih-sedih, semua posti
Wajah Roni langsung merah padam dan meminta sekretaris untuk mengantarkan tamunya ke ruangan rapat.“Anda jangan sok polos seperti anak sekolah,” sela Saga dengan berani. “Apa maksud foto di postingan grup media sosial? Anda itu bukan ibu aku! Ngapain Ayah bawa dia ke kantor?”Roni tertegun sebentar, tapi dia tetap berusaha tenang saat menghadapi kemarahan salah satu anak kandungnya ini.Selama Roni diam, Saga masih menatap tajam dengan sudut matanya. Satu tangannya tetap terjulur di atas bahu Saga yang tinggi dan lebar.“Kamu tidak perlu berlebihan,” kata Roni meminta Saga untuk masuk ke ruangan. “Itu cuma postingan random saja, tidak lebih.”“Postingan random dengan mengungkapkan fakta kalau Ayah ternyata mengkhianati Ibu?” Saga menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bodoh Yah, nggak mungkin nggak terjadi apa-apa sama kalian berdua ...”“Saga, sopan sedikit.” Roni menegur. “Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya ibu kamu sendiri.”Saga yang sedang dikuasai amarahnya langsung melayan
“Enggak, jangan sampai kami terganggu gara-gara perbuatan ayah!” komentarnya. “Aku nggak menyangka ayah bertindak terlalu jauh ...”“Makanya kamu tidak perlu memikirkan masalah orang lain lagi,” ucap Siska sambil memperhatikan buku yang sedang dibaca Saga. “Kamu belajar saja yang rajin, ya?”“Iya,” jawab Saga. “Aku harus lulus dengan nilai yang maksimal.”Siska mengambil buku pelajaran Saga dan mengajaknya tanya jawab agar materi yang dipelajarinya bisa meresap dalam kepalanya. Alih-alih berkonsentrasi menjawab pertanyaan yang diberikan, Saga malah memikirkan wajah Ririn yang menyebalkan itu.Malam itu untuk kesekian kalinya Siska tidur di kamarnya yang lama. Dia tergolek lemas setelah selesai membersihkan seluruh ruangan yang kotor karena lama tidak ditinggali. Siska memejamkan mata dan berharap agar dirinya lekas terlelap sampai esok pagi, tapi bayangan Roni langsung hadir dan mengganggunya. Terbayang kembali di ingatannya saat mereka tinggal bersama, bagaimana Roni mencurahkan per