Share

5|Keluarga Suamiku

Dia tahu alamat lengkapku, jadi dia tidak perlu membuntuti aku pulang. Apa jangan-jangan dia mau memastikan aku berkata jujur atau berbohong? Tetapi petugas lapas saja tidak usil ingin tahu apa aku memberi data pribadi dengan jujur atau tidak. Jangan-jangan … dia tinggal di komplek ini juga.

Oh, Tuhan. Aku sudah berhasil lepas darinya bertahun-tahun yang lalu. Mengapa dia datang lagi dan mengganggu hidupku? Jantungku berdebar dengan cepat dan tubuhku gemetar hanya memikirkan apa yang pernah terjadi pada masa laluku. Tidak. Aku tidak boleh membiarkan dia menang. Dia tidak punya pengaruh apa pun lagi dalam hidupku.

“Bu.” Aku melompat terkejut saat pundakku disentuh. “Ah, maafkan saya. Tetapi ada mobil yang berhenti di depan rumah Ibu. Anda tinggal bersama Pak Jeffrey dan Ibu Adina, benar?” tanya seorang pria yang berpakaian satpam. Aku mengangguk pelan. “Sepertinya itu tamu.”

“Biarkan saja. Dia datang tanpa memberi tahu. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku tidak bergerak sedikit pun dari tempat persembunyianku.

“Kalau Ibu merasa terganggu, saya bisa mengusirnya,” katanya menawarkan diri. Mengusir? Apa itu artinya dia tidak tinggal di sini? Syukurlah.

Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak perlu, terima kasih.” Apa dia tidak melihat seragam yang dikenakan pria itu? Dia tidak akan bisa berhadapan dengan seorang polisi tanpa menimbulkan masalah. Lagi pula, dia hanya orang biasa yang dibayar untuk menjaga keamanan. Bukan seorang perwira yang bisa disejajarkan dengan pihak yang berwajib.

Begitu petugas tadi melaporkan bahwa mobil itu sudah pergi, aku bergegas menuju rumah. Aku membuka kunci gembok, tetapi tidak ada satu anak kunci pun yang cocok pada gembok tersebut. Aneh. Aku menggunakan anak kunci yang aku bawa, mengapa tidak ada yang cocok?

Bunyi pintu rumah dibuka menarik perhatianku. “Oh! Kamu sudah kembali,” seru seorang wanita dari arah ambang pintu.

Aku mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan Ibu yang menghirup minuman dalam cangkir yang dipegangnya. Lauren menyusul dengan sepiring panekuk yang sengaja aku simpan di lemari. Aku memerhatikan gembok yang berusaha aku buka. Pantas saja. Pasti mereka yang menggantinya.

“Sebaiknya kamu pergi. Ini bukan rumahmu dan kamu tidak diinginkan di sini.” Lauren duduk dengan santai di salah satu kursi rotan di teras. Ibu sudah terlebih dahulu duduk di kursi lainnya. “Beri tahu di mana alamatmu, barangmu akan aku kirim.” Dia memakan kue itu dengan santai.

Apa susahnya masuk ke pekarangan dengan dua kaki yang sehat? Aku memanjat pagar yang dekat dengan taman, lalu mendarat dengan aman di atas rumput yang terasa lembut di alas kakiku. Ibu dan Lauren menatap aku tidak percaya. Mereka serentak merapatkan bibir mereka.

Ibu meletakkan cangkir di atas meja, lalu berdiri menghalangi pintu. “Pergi, selagi aku masih bersikap baik kepadamu,” kata Ibu dengan nada mengancam. “Jangan pikir Jeff masih menginginkan kamu dengan membawa kamu ke rumah ini. Dia tidak akan mengubah rencananya untuk menceraikan kamu.” Seandainya saja dia tahu apa yang diminta putranya dariku pada malam sebelumnya.

Lauren berdiri dan mendekati ibunya. “Mengapa kamu mendekati kami dengan wajah marah, Jenar? Kamu tahu bahwa kamu tidak akan bisa merengek dan berteriak tidak bersalah dengan begitu banyak saksi, ‘kan?” Dia melirik ke arah belakangku.

Aku menoleh dan melihat ada beberapa wanita yang berdiri di depan rumah. Mereka berbisik sambil menatap penasaran ke arah kami. Aku kembali melihat ke arah Ibu dan Lauren. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang aku. Mereka menyebut aku pembunuh berdarah dingin, tetapi masih berani mengonfrontasi aku.

Namun aku tahu bahwa mereka bukanlah lawan atau musuhku. Mereka hanya buta sehingga mudah dipengaruhi oleh Dina. Jadi, aku berlutut dan menatap mereka dengan mata memelas. “Aku sangat mencintai suami dan anak-anakku. Tolong, beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki diri. Aku akan lakukan apa saja yang kalian minta. Tetapi jangan usir aku dari rumah ini.”

“A-apa yang kamu lakukan? Cepat berdiri.” Ibu memegang kedua lenganku, menolong aku untuk berdiri. Dia tidak cukup kuat untuk melawan aku yang menolak berhenti berlutut.

“Jangan tertipu, Bu. Dia pasti hanya berpura-pura supaya kita kasihan kepadanya,” kata Lauren sambil mendengus kesal. “Bangun! Aku tidak akan terpengaruh dengan dramamu. Penjahat seperti kamu tidak punya tempat di rumah ini.” Lauren memegang lenganku dengan erat dan menarik dengan paksa agar aku berdiri.

“Apa yang kalian lakukan di sini??” Terdengar suara seorang pria dari belakangku. Ibu dan Lauren menarik napas terkejut. Adik iparku segera berlari mendekati pagar. Aku mendengar bunyi gembok dibuka, lalu langkah Ayah memasuki pekarangan. “Ini rumah Jeff, seharusnya kalian tidak bertindak di luar sepengetahuannya. Ayo, kita pergi dari sini. Jangan ganggu istrinya lagi.”

“Tetapi, Yah,” kata Ibu, mencoba untuk membela diri.

“Berdiri, Jenar. Jangan rendahkan dirimu seperti ini.” Aku merasakan Ayah memegang kedua lenganku. Aku menurut dengan membiarkan dia membantu aku berdiri. Ibu dan Lauren merapatkan mulut mereka melihatnya. “Ini yang terakhir. Aku tidak mau melihat kalian menyakiti Jenar lagi. Kita pulang sekarang atau aku akan melaporkan hal ini kepada Jeff.”

Ayah memang yang terbaik. Dia lebih bijak daripada istri dan anak perempuannya. Ibu dan Lauren tidak bisa berkata apa-apa ketika Ayah mengajak mereka pulang. Orang-orang sudah bubar, jadi aku bisa berdiri dengan tenang di teras melihat kepergian mereka. Aku sudah punya rencana sendiri untuk memenangkan hati mereka lagi. Tetapi tidak sekarang.

Aku membawa cangkir dan piring yang mereka gunakan ke wastafel. Lalu membuka paksa gembok dan menggantinya dengan gembok yang sebenarnya. Jeff tidak boleh sampai tahu ibu dan adiknya datang dan berulah. Dia sudah cukup menghadapi Dina saja.

“Kami pulang.” Jeff dan perempuan itu pulang lebih cepat dari biasanya. Aku berharap akan ada Jax dan Remy yang berlari masuk ke rumah di belakang mereka, tetapi nihil. Sepertinya mereka masih tinggal di rumah Ibu. Apa itu artinya mereka akan ada di sana selama akhir pekan?

Tidak seperti malam sebelumnya, Jeff memakan apa yang sudah aku masak. Aku duduk bersamanya, tetapi hanya sebentar. Karena Dina segera keluar dari kamar dan duduk di sisinya. Walaupun wajahnya cemberut, dia tidak berani mengatakan apa pun. Dia ikut makan bersama kami.

“Penjara sudah membuat tanganmu tidak seahli sebelumnya. Masakanmu rasanya seperti kotoran.” Dina sengaja bicara dengan suara pelan agar Jeff tidak mendengar.

Aku mengangkat piring yang dia gunakan tadi. “Kamu lahap juga memakan kotoran,” godaku, lalu membilas piring itu dan menyabuninya.

Pintu kamar mandi terbuka, Dina tidak membalas ucapanku. Dia berjalan mendekati Jeff dan mengajaknya menontonnya bersama. Dia sengaja bicara begitu manja dengan keras agar aku bisa mendengar. Aku hanya tersenyum tidak peduli.

Setelah merapikan meja dan mencuci piring kotor, aku menuju kamar. Jeff dan Dina masih ada di ruang tengah. Wanita itu sepertinya tahu meninggalkan suamiku berdua saja denganku adalah hal yang berbahaya. Memangnya mau sampai kapan dia mengikuti Jeff ke mana pun dia melangkah?

Keadaan rumah sudah sepi beberapa menit lewat dari tengah malam. Aku sudah mengenakan pakaian serba hitam dan sepatu ketsku. Sama seperti pada malam sebelumnya, aku berjalan dengan mulus keluar dari kamar sampai keluar pagar.

Bian dan Talia sudah menunggu di tempat sebelumnya. Kami tidak perlu berdiskusi terlalu lama, karena target yang satu ini tinggal di rumah biasa. Dia juga hanya orang biasa. Jadi, aku dan Bian tidak perlu khawatir dengan kamera CCTV atau satpam, karena mereka tidak punya keduanya.

“Tetaplah berhati-hati,” kata Talia, mengingatkan. Aku dan Bian mengangguk sebelum membuka pintu mobil.

Kami masuk ke rumah setelah Bian berhasil membuka kuncinya. Dia memeriksa semua ruangan di balik pintu, lalu menggeleng pelan. Kami menuju lantai atas, dan Bian kembali memeriksa ruangan di balik setiap pintu. Dia meletakkan telunjuk di depan bibirnya. Itu pasti kamar anak-anak. Lalu dia mengajak aku masuk pada kamar berikutnya.

Wanita yang malang, dia tidak sadar bahwa suaminya tidak dinas keluar kota, melainkan tidur dengan selingkuhannya di rumah keduanya. Harga yang pantas untuk dia bayar setelah berbuat jahat kepadaku. Aku membungkam mulutnya dengan lakban hitam, lalu dengan cepat mengikat kedua tangannya, sedangkan Bian mengikat kakinya.

Dia terbangun, sedikit bingung dengan keadaan sekelilingnya, lalu memberontak melepaskan diri saat menyadari tubuhnya terikat. Dia menatap aku dan Bian yang berdiri di hadapannya secara bergantian. Dia pasti tidak tahu siapa kami berdua. Empat tahun enam bulan adalah waktu yang cukup untuk melupakan orang yang sudah menjadi korbannya.

“Apa kabar, Ibu Supervisor?” sapaku dengan ramah. Dia tertegun sejenak sebelum matanya membulat lebar. Lakban masih tertempel di mulutnya, jadi dia hanya bisa menggumam tidak jelas. “Enak sekali bisa tidur pulas, hidup damai dengan suami dan dua anak, ya. Berbeda denganku yang harus hidup di penjara karena ucapan bohongmu.”

Aku menundukkan tubuh agar wajah kami bisa sejajar. Matanya membulat, penuh ketakutan. “Katakan, siapa yang menyuruh Ibu berbohong di kursi saksi?” Matanya menatap aku dan Bian dengan liar, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ayolah, Bu. Kita sama-sama tahu Ibu sudah berbohong. Pertanyaannya, siapa yang sudah menyuruh Ibu melakukan itu?”

Aku mundur agar Bian bisa maju. Dia menunjukkan foto kedua anak perempuan itu. “Mereka akan mati malam ini juga, jika kamu tidak mau bicara.”

Semudah itu, dia akhirnya mau bicara. “A-aku tidak bisa mengatakan apa pun kepadamu. Tolong, jangan sakiti anak-anakku. Mereka tidak ada hubungannya dengan ini.” Bian meresponsinya dengan mengeluarkan pisau lipatnya. “Tidak, tidak! Jangan sakiti anak-anakku!”

“Aku tidak peduli dengan hal lain selain siapa yang sudah menyuruh kamu bersaksi palsu. Sederhana. Kamu tinggal pilih, jujur atau kedua anakmu mati.” Aku melihat ke arah pisau di tangan Bian. “Aku seorang pembunuh, jadi aku tidak akan segan mencabut nyawa orang lain, termasuk ke dua anakmu.”

“Ba-baik. Baik. A-aku terpaksa melakukan semua itu. Aku tidak bermaksud menyakiti kamu, Jenar.” Bian segera membungkam mulutnya karena menyebut namaku. Dia mengangguk mengerti sebelum sahabatku melepaskan mulutnya. “Manajer. Di-dia yang menyuruh aku berbohong.”

Dia tidak mengubah pernyataannya itu berapa kali pun kami mengancamnya. Manajer. Ada dendam apa antara dia dengan aku? Talia dan Bian juga hanya bisa menggeleng pelan. Kami pikir kami akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan kami selama ini, ternyata tidak. Tetapi manajer itu masuk dalam daftar orang yang akan kami kunjungi. Jadi, kami akan bertanya langsung kepadanya.

Terdengar bunyi benda bergetar di dekat persneling. Kami serentak melihat ke arah dua ponsel yang kami letakkan di sana. Aku dan Bian sengaja tidak membawa alat itu saat melakukan aksi kami agar bisa berkonsentrasi. Hanya ada tiga orang yang tahu nomor baruku. Talia, Bian, dan …. Sial. Bian memberikan benda itu kepadaku. Membaca nama pada layar, aku menelan ludah dengan berat.

Kedua sahabatku menatap aku dengan bingung. “Ada apa, Jenar? Siapa yang menelepon?” tanya Bian dengan wajah berubah khawatir.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
honey april
bab 4 & 5 kayanya sama ya mbak Meina?
goodnovel comment avatar
Kevin Evander
nah gue setuju,, up dong mel
goodnovel comment avatar
Hyacinth Diana
mana lanjutan nya kak mei
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status