Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior.
Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan.Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan."First time here, in The US?" tanya Dokter Hans.Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal di salah satu kawasan bagian di Amerika, hanya saja ibu saya memutuskan untuk pindah ke Korea Selatan."Dokter Hans mengangguk. Dia tampak sedang memilah file yang berada di atas meja kerja. Irene merupakan anak baru di bawah kepemimpinannya, sehingga dia bertanggung jawab atas dokter perempuan ini.Siapa yang menyangka bahwa dokter ini memiliki banyak bakat daripada yang selama ini dia duga?Sebagai anak baru, Dokter Irene beradaptasi dengan cepat. Perempuan itu mampu mengimbangi ritme budaya bekerja Amerika yang efesien dan cepat."Sudah hampir satu bulan kau bekerja di sini, bagaimana situasinya?""Bukan masalah, dok. Beberapa mungkin rasis karena saya datang dari Korea, padahal kewarganegaraan saya sendiripun masih Amerika." Ada tawa manis diakhir kalimatnya. Membuat dokter Hans terdiam sejenak.Pria setengah baya itu tersenyum tipis. Kembali menunduk menatap rentetan kalimat dokumen yang dibawanya."Kauㅡ" menghela napas, "Mengingatkan terhadap putri saya."Irene terdiam sejenak. Ekspresi wajahnya langsung berubah, "Ah?""Ellen sedang kuliah Arsitektur di France. Sudah hampir dua tahun dia tidak pulang. Aku rasa, dia memang menyukai France sebanyak itu ketimbang harus kembali ke rumah.""Eeyy, tidak dokter. Aku rasa, Ellen sedang memantaskan dirinya," ujar Irene."Memantaskan?" tanya dokter Hans."Ya." Irene mengangguk, "Sebagai seorang anak, terkadang kita sangat malu bertemu orang tua tanpa membawa kesuksesan. Kami ingin dibanggakan oleh orang tua, sehingga terkadang, dia merasa insecure kala berhadapan dengan orang tua; dia takut anda tidak puas dengan hasil kerja kerasnya, sehingga dia ingin bekerja lebih keras supaya bisa memantaskan diri."Dokter Hans menghentikan aktifitasnya. Dia mencerna perlahan setiap kalimat yang Irene lontarkan. Beberapa mungkin benar. Dia tersenyum atas kenaifan dirinya, juga kenaifan perempuan di depannya."Anak ku, sebagai orang tua, apakah anaknya sudah memantaskan diri atau belum, mereka hanya menginginkan bahwa anak mereka sehat, selamat, dan ceria. Tidak apa dia tidak memiliki prestasi berarti, atau belum mampu mencapai ekspektasi orang tua; asalkan dia bisa pulang, dan memeluk, sudah cukup."Irene tercenung. Kali ini, dia yang terdiam. Tanpa sadar, ia menoleh menatap jendela transparan rumah sakit ini; menatap langit senja yang memantul melalui gedung pencakar langit. Ucapan dokter Hans sedikit banyak menusuk dadanya.Apakah mamanya akan bangga jika saat itu dia kembali ke rumah sakit tepat waktu?Apakah mamanya tidak mempermasalahkan statusnya yang saat itu sedang koas dan belum bisa membawa uang sepeserpun untuknya?Merasa gelisah. Irene merupakan tipikal perempuan introvert di mana dia ingin menyendiri, memeluk diri sendiri, dan bersembunyi.Dokter Hans merasa bersalah. Pria itu menepuk pelan bahu Irene, "Hey, nak. Maafkan apabila ada kalimat ku yangㅡ""Tidak apa, dokter Hans," potong Irene, "Itu hanya kenangan lama. Tidak baik untuk terus diungkit."Dooter Hans menghela napas, "Really. I wish I could have a daughter like you, Irene."Irene terkekeh sebagai balasannya. Perempuan berambut panjang dibalut dengan jas putih khas dokter, tidak membalas apapun selain mempersiapkan dirinya untuk pulang. Shift nya sudah selesai.Suara dering telepon kantor terdengar. Dokter Hans yang juga sedang bersiap-siap, mau tidak mau mengangkat telepon tersebut. Sementara, Irene sudah keluar dari ruangan.Gadis itu berjalan menuruni anak tangga. Hendak melewati IGD kala dia melihat banyak suster dan perawat yang berlarian menuju pintu depan. Samar-samar dia mendengar,"Ada kecelakaan. Harus diberikan pertolongan pertama."Mendengar itu, Irene segera mendengar. Stetoskop yang melingkar dilehernya hampir jatuh kala ia berlari kencang. Beruntung alas sepatu yang dikenakan bukanlah yang mudah licin, sehingga mempermudah pergerakannya.Di ranjang itu, Irene melihat seorang pria berperawakan tinggi, darah mengakir di kening, dan kakinya. Dia tampak tidak sadarkan diri. Irene hendak mendekati pasien tersebut."Dia kenaㅡ""Dokter Hans, ada pasien kecelakaan. Bisakah dokter membantu...."Irene menatap datar sosok perawat itu. Dia menggelengkan kepala dan mengangkat bahu. Syukurlah ia tidak perlu lembur malam ini. Tapi, siapa yang menyangka bahwa Dokter Hans justru memanggilnya."Irene, saya rasa situasi di rumah sakit sedikit lebih runyam; pria itu tampaknya ... aku mengenali dia, akan lebih baik jika aku yang menangani." Dokter Hans memberikan secarik kertas pada Irene setelah dia menulis dengan cepat, "Ini alamat rumah keluarga yang membutuhkan pertolonganㅡaku merupakan dokter pribadi keluarga mereka, tapi kau bisa datang ke sana untuk menggantikan saya. Nanti, saya akan memberitahu mereka."Irene, "...."Perempuan itu melirik secarik kertas ditangan dokter Hans. Setelah memikirkan sebentar, tampaknya tidak salah juga untuknya mengambil job desk milik dokter Hans. Lumayan, sekalian dia mengetahui jalan di Washington."Baiklah dokter. Apa saja yang harus saya perhatikan?"Dokter Hans tanpa membuang waktu langsung memberikan tas perlengkapan kesehatannya kepada Irene. "Ambil ini, dan pergilah." Kemudian, seolah ingat sesuatu, dokter Hans memberikan kunci mobilnya, "Pergilah dan kembali ke rumah sakit. Saya akan menunggu kamu di sini.""...." Irene sekali lagi dibuat speechless oleh tindakan dokter Hans yang sangat efesien. Dia menggeleng, lalu pergi ke tempat parkir mobil. Sebenarnya agak canggung menyetir sendiri, apalagi mobil yang digunakan merupakan mobil milik orang lain.Sebulan di rumah sakit ini, dia benar-benar tidak menyangka dokter Hans akan langsung mempercayakan mobilnya untuk dipinjamkan. Bagaimana jika dia orang jahat? Apakah dokter Hans akan menyesal?Menggeleng kepala heran, Irene hanya bisa menyalakan mobil dan mulai membuka maps, lantas berjalan meninggalkan rumah sakit di belakang.> ••• <Sungguh sial. Mino tidak pernah menyangka jika dia akan dijebak hingga seperti ini. Tulang kakinya retak, dan keningnya terluka. Luka ini memang tidak seberapa namun, jika berita ini tersebar, saham perusahaan keluarganya bisa terjun bebas.Marcus sendiripun tidak mempercayai berita bahwa kakaknya ditabrak oleh mobil SUV, dengan dalih bahwa supir mobil tersebut mengantuk dijalan.Siapa yang berani dengan lantang dan terang-terangan melawan keluarga Dendanious, huh?Semua orang tahu bahwa semakin derajat keluarga tinggi, semakin banyak pula musuh dalam selimut yang mendekat. Marcus sangat tahu betul hal-hal seperti ini. Sebab, dia sendiri hampir memakan racun tikus yang diberikan oleh salah satu eksekutif dari perusahaan entertainment sebelah.Secepat yang ia bisa, Marcus datang ke George Washington University Hospital. Dia menemui dokter Hans sejenak dan berbincang kecil di dalam ruangan dokter tersebut. Di belakang Marcus terdapat empat pengawal dengan lencana rajawali di sisi kiri.Dokter Hans hanya menggeleng pelan. "Tuan Dendanious baik-baik saja. Tulang kaki bagian kirinya retak, dan kening nya sudah diperban. Anda tidak perlu cemasㅡwaktu penyembuhan, mungkin sekitar tiga minggu sampai empat minggu. Silakan cek secara berkala di rumah sakit terdekat di New York atau Manhattan."Marcus mengangguk. Wajahnya tegang, dan tampak memikirkan sesuatu. Setelah itu, dia menyuruh dua pengawal untuk menjaga ketat kamar sang kakak, sementara dia sibuk menyelidiki kasus ini bersama polisi setempat. Mino kecelakaan disaat dia sedang melakukan perjalanan bisnis, tentu ini bukan sebuah laka lintas biasaㅡatau setidaknya, itu adalah analisa Marcus seorang diri.Bagaimanapun juga, kasus ini sangat janggal. Kakaknya, tidak akan semudah itu jatuh keperangkap lawan tanpa perhitungan. Lantas, mengapa Mino bisa terluka hingga seperti ini? Apakah ada yang terlibat?"Albert, bagaimana?""Belum ada kepastian. Mungkin untuk sementara ini, tampaknya saya tahu siapa yang berbuat," jawab Albert dengan wajah datar. Sekretaris kakaknya ini memang selalu seperti itu."Kau ... saat kejadian itu, kau ada di mana?" Markus menatap Albert yang sehat, "Tidak kah kalian berdua selalu satu mobil?"Albert melembutkan ekspresi wajahnya. Dia menghela napas, "Saya sudah mengira akan seperti ini. Alibi saya memang yang paling cocok tapi, tuan muda kedua, tolong percaya saya. Saat kejadian itu berlangsung, posisi saya sudah berada di Goody Company.""Selidiki," ucapnya lelah, "Selidiki sekarang juga!"Sial, siapa orang yang berani menyentuh keluarga Dendanious, huh? Tiba-tiba, ia teringat dengan conferensi ekonomi internasional yang di adakan di Washington kemarin.Siapa lagi? batin Marcus menjawab. Jika bukan Levebvè&Co, walau ini masih dugaan belaka. Sebab, hanya dengan keluarga Levebvè-lah Mino terakhir kali berbicara.Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda. Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital. "Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini. Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan kl
Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Sebenarnya mencari kebenaran sama dengan mencari kematian. Diantara kedua hal tersebut, tidak ada yang memberikanmu sedikit rasa sakit. Kematian selalu dibenci karena kebanyaka manusia tidak ingin berjumpa dengan nya. Sementara kebenaran selalu dihindari karena akan membuat terluka banyak pihak; entah apakah sebuah kebenaran untuk hal baik, ataukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak ada yang tidak memberikan luka. Hidup bersama single parent, Irene tidak pernah sekalipun meragukan alasan ibunya untuk pergi. Akan tetapi, entah apakah memang suratan takdir yang berkata, saat pertama kali kedatangannya ke sini, ia sudah disuguhkan dengan beberapa jejak kecil. Lalu, beberapa saat setelahnya, dia menjadi dokter pribadi sementara menggantikan dokter Hans ke rumah keluarga Levebvè. Belum lagi dengan ekspresi dari keluarga itu yang semakin menaruh rasa curiga. Apakah ini yang dinamakan sebaik apapun bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga? Entahlah. Semua terasa samar bagi Irene. Selama
Mino sedang mengunjungi salah satu departement store yang berada dibawah kukungan Next In. Albert berdiri tepat di belakang seraya mendorong kursi roda. Kepemimpinan ayahnya benar-benar membuktikan bahwa Next In mampu merambah ke berbagai industri. Sehingga, kini ia yang kewalahan sendiri. Terkadang, dia harus lembur di kantor tanpa pulang ke rumah. Berjalan bersama sepuluh manager departement store disekelilingnya, Mino mendengarkan secara perlahan apa yang berusaha mereka sampaikan. Dia bahkan tidak mampu melihat di mana lokasi Albert berdiri sekarang. Biasanya pria itu selalu berada di sampingnya, kini terdesak ke belakang mereka. Beberapa di antara mereka bahkan mencoba mendorong kursi roda Mino dengan tujuan mendapatkan 'perhatian' khusus dari pemimpin mereka. Mereka juga mengelilingi D's Department Store. Sesekali para manager itu menunjuk tangan mereka. Mino hanya mangut-mangut seraya berusaha mencerna apa yang coba kesepuluh manager ini sampaikan. Sebab, dalam seni berbahasa
Jika Cheval Blanc merupakan wine terbaik yang pernah Mino cicipi hingga menjadi addictive, maka tidak salah bagi Mino memuji bahwa wajah perempuan di hadapannya ini sangat cantikㅡbegitu jelita hingga ketitik di mana Mino begitu kencanduan bak morfin; tak ada henti-hentinya ia memandangi wajah tersebut hingga membuat sang empunya tersipu karenanya. Wajah Irene yang merona nyatanya semakin membuat Mino tidak bisa melepas tatapan matanya. Baru kemudian Mino menyesali penampilannya kali ini. Jika dia tahu bahwa Irene adalah gadis baik dan penuh dengan wibawa, dia jelas akan melepas piercing nya dan datang dengan penampilan yang lebih menarik. "Tㅡtolong jangan menaㅡmenatap ku seperti itu, Albert." Mino tersenyum kecil. Mungkin karena ketidak hati-hatian Mino pada sekitar, dia tidak sengaja menyenggol gelas yang berada di dekatnya. Membuat isi di dalam gelas tersebut berceceran ke meja dan jatuh ke lantai. Ekspresi Mino yang terkejut tanpa sadar menjadi sebuah daya tarik bagi Irene. Per