Bandara intermasional Washington Dallas, kebanyakan orang Amerika, khususnya wilayah Virginia menyebut bandara tersebut sebagai bandara Dallas, merupakan bandara terbaik yang ada di area Washington.
Perempuan berambut panjang dengan hoodie putih tampak menarik dua koper besarnya. Dia tampak kelimpungan karena ukuran tubuh yang sesungguhnya tidak memungkinkan untuk membawa banyak barang. 158 cm mungkin merupakan tinggi badan ideal untuk beberapa negara, akan tetapi di Amerika, ukuran tubuhnya membuat ia tampak lebih mungil.Menurut Dokter Park, seseorang seharusnya menjemput Irene. Oleh sebab itu, perempuan ini tampak melihat ke kanan dan ke kiri barangkali melewatkan tanda atau seseorang yang sedang menunggu.Irene menunggu cukup lama, tapi tak ada satupun tanda-tanda seseorang akan datang menjemput. Dia menghela napas, sedikit kesal dengan koordinasi afiliasi dari rumah sakit yang akan menjadi tempatnya bekerja nanti.Dia meraih ponsel, mencari toko terdekat di bandara yang mungkin saja menjual kartu nomor. Setelah mengganti nomor ponselnya dengan yang baru, Irene mulai menghubungi pihak rumah sakit. Jemarinya menari lihai di atas layar sentuh, raut wajahnya semakin lama semakin menghitam seolah dia tengah kesal.Menghembuskan napas berat, Irene memutuskan untuk segera mendatangi Apartement yang telah ia sewa sehari sebelumnya. Dia menghentikan taxi, dan mulai menyebut alamat di mana Apartement nya berada.Washington DC, tempat para elit politisi dunia, semua berkumpul di sini. Hingga, kesan Irene ketika melihat dengan mata kepala sendiri tidak begitu nyaman. Ada banyak mata-mata di sini, bahkan rumornya di sekitar Washington, karena merupakan pusat politik di Amerika Serikat, terdapat drone yang bisa menembak kan peluru."Terima kasih," ujar Irene.Sesampainya di apartemen baru, hal pertama yang Irene lakukan bukanlah beristirahat. Melainkan membenahi seluruh barang bawaan yang berasa di dalam koper. Perjalanan dari Seoul menuju Washington DC memakan cukup banyak waktu, 13 jam 44 menit bukanlah waktu singkat. Telinganya hampir pecah karena tekanan udara di atas ketinggian bumi.Belum lagi dia harus pergi ke minimarket untuk membeli makanan siap saji, baru mungkin keesokan harinya, dia akan membeli perlengkapan dapur sekaligus berbelanja kebutuhan bulanan.Ponsel layar sentuhnya memiliki dua sim, sehingga Irene memutuskan untuk memasang kembali nomor ponsel lamanya. Dan seperti yang ia harapkan, sejumlah pesan langsung masuk.Jennie Lexander, adalah yang tertulis dilayar notifikasi ponselnya, dengan pesan berisikan:Kau di mana?Seriously, you didn't even want to read my massage.Irene Lissabeth Levebvè, aku berbicara dengan mu. Aku ke apartemen tapi tetangga mu mengatakan bahwa kau telah pergi.Hey, apakah kamu bahkan mendengarkan?Irene hanya tersenyum geli melihat belasan pesan lainnya yang dikirimkan secara berurutan oleh sang sahabat. Tangannya dengan segera mengetik balasan tersebut. Hanya satu paragraf panjang untuk membalas kalimat pertanyaan yang dilayangkan bertubi-tubi.Setelah hampir 2 jam membersihkan ruangan, dan menata pakaian ke dalam lemari, Irene memutuskan untuk pergi ke minimarket terdekat. Tentu, karena ia merupakan orang baru di sini, dia mau tidak mau menggunakan aplikasi maps.Meraih dompet, ponsel, dan headset yang terpasang di telinga, Irene melangkah meninggalkan Apartemennya. Dia berjalan sejauh 500 meter menuju lokasi yang dituju. Saat berhenti di lampu merah, matanya tanpa sengaja tertuju pada iklan digital yang terpajang di jalan.Ia melihat seorang pria setengah baya, dengan seorang perempuan seumurannya. Tengah melakukan beberapa adegan iklan untuk perusahaan tekstil dan promosi barang terbaru yang dikeluarkan dari perusahaan tersebut. Sebenarnya, iklan itu biasa saja, seperti iklan promosi pada umumnya. Namun, yang membuat Irene tertarik ialah diakhir iklan tersebut terdapat kredit dengan nama belakang yang sama dengannya.Levebvè&Co.Mata Irene tertuju lurus pada papan iklan digital tersebut, kedua tangannya mengepal kuat. Ada perasaan membuncah yang membuat dadanya sesak, dan hidungnya masam disaat yang bersamaan. Daripada sedih, perasaan asing ini tampak seperti amarah dan kekecewaanㅡentahlah, apa mungkin dia memang sedih?Lamunanya buyar tatkala orang-orang disekelilingnya mulai menyebrang. Pandangan Irene sama sekali tidak lepas dari papan iklan digital itu meskipun saat ini dia sedang menyeberangi jalanan kota Washington yang padat.Pandangannya langsung lurus ke depan, dengan bahu yang tampak melemas, Irene seperti sosok raga yang jiwanya telah pergi. Lesu, tidak bersemangat, dan pertanyaan mulai mempengaruhi sebagian besar isi kepala; kenapa ibunya lebih memilih pindah ke Korea Selatan alih-alih menetap di Amerika? Kenapa ibunya melarang dia bertemu dengan sang ayah?Tidak ada jawaban, angin malam berhembus menyapu lembut kulit wajahnya, dan mengenai anak rambut. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang tak pernah ia dapat jawabannya. Ketika ia dan sang ibu memutuskan untuk pindah ke Korea Selatan, usianya baru menginjak 7 - 8 tahun, di mana memorinya sebagai anak kecil kala itu terasa samar.Memilih beberapa makanan cepat saji. Irene tidak ingin menghabiskan banyak waktu di luar ruangan. Pikirannya semakin kalut, dan ia membutuhkan tempat bersembunyi yang nyamanㅡdan itu rumah.Sekali lagi, ketika Irene melewati jalan yang sama, matanya tertuju pada pria paruh baya dan perempuan seumurannya.Levebvrè, Levebvrè, nama itu terus ia ucapkan dalam hati berkali-kali seolah tengah merapalkan mantra.Akan ia cari tahu nanti.Nanti, sebab kini, Irene sangat lelah. Semua informasi yang ia dapatkan, dan dugaan-dugaan kecil membuat fisik dan mentalnya langsung melonjak kebawah.Selamat datang Washington.> ••• <Marcuss Dendanious, sebagai anak kedua dari keluarga besar Dendanious dia sama sekali tidak tertarik dengan dunia perbisnisan yang sudah dikelola keluarga nya sejak 50 tahun.Perusahaan Next In yang dikelola keluarganya mencangkup bisnis retail, yang belakangan juga mulai berkembang menjamah bidang IT berkat kakaknya, Louis Mino Dendanious. Sayang, Marcuss tidak memiliki minat di sana. Sehingga, ketika dia lulus kuliah, dia memutuskan untuk memohon kepada kakaknya, Mino, untuk mengakusisi saham salah satu perusahaan entertainment ternama di Amerika. Walau demikian, dia juga bekerja keras untuk menginvestasikan uangnya pada beberapa film dan drama, serta memproduksi film buatan sendiri.Hasilnya pasang surut. Dunia enterteinment dipenuhi dengan skandal, dan juga kekejaman yang tak terkira. Jika bukan karena nama belakangnya Dendanious, Marcuss yakin ia akan digilas."Kenapa kau tidak menjadi aktor saja sekalian? Atau penyanyi." Masih ingat dalam ingatan bagaimana Mino memberikan beberapa wejangan perihal mengakusisi salah satu perusahaan enterteinment ternama."Aku tampan, aku tahu. Tapi aku tidak suka berakting. Aku lebih suka bekerja dibalik layar."Mino mengangguk. "Lantas, apa rencana mu selanjutnya? Kau tidak mungkin hanya mengakusisi saham perusahaan, dan diam tida melakukam apapun sambil menunggu pendapatan pertama mu atas saham tersebut, bukan?""Tentu," ujar Marcuss, "Aku berencana menjadi produser filem. Dan jika sudah memungkinkan, aku ingin membuat perusahaan enterteinment ku sendiri."Mino mengangkat sebelah alis. Sedikit terkejut mendapati perubahan pada adiknya yang dirasa mulai membaik, "Good, good. Aku senang mendengarnya. Aku akan menyuruh albert untuk membantu mu mendapatkan akusisi saham Black Musc, dan akan ku tunggu perkembangan mu selanjutnya."Marcuss tidak tahu, bahwa ketika Mino mengucapkan hal itu, seluruh dunianya berubah.Dulu, dia merasa bahwa Mino terlalu workholic, tidak pernah mementingkan keluarga, atau bahkan terlalu sibuk hingga dua hari tidak pulang ke penthouse nya sendiri. Namun, kini ia paham. Putra kedua dari keluarga Dendanious memahami bahwa mencari uang, tidak segampang menghabiskan sebungkus permen. Pun ketika filem yang diinvestasikannya tidak masuk box office, uang tidak akan kembali.Sekarang, melihat kakak dan orang tuanya kadang berantem kecil hanya karena pasangan, Marcuss tentu langsung mencari kekasih begitu dia mendapatkan kemenangan box office atas filem yang di investasikannyaㅡmencegah pertanyaan, kapan menikah, dan kapan ia memiliki kekasih."Panggil kakak mu ke bawah. Kita akan membicarakan pesta ulang tahunnya nanti malam."Marcuss tidak menunggu perintah dua kali ketika sang mama sudah berkata. Mengetuk pintu di depannya, "Kak, mama memanggil."Mino membuka pintu. Pria itu tampak terlihat santai dengan pakaian kasualnya. Keluar dari kamar dan berjalan menuju meja makan bersama adiknya. Baru saja ia duduk, Mino mendengar mamanya berkata, "Bagaimana pesta mu nanti, Mino?""Aku rasa tidak bisa ma. Ada pekerjaan yang harus ku lakukan. Proyek baru di Virginia belum selesai, mungkin aku akan melewatkan ulang tahun ku hari ini."Nyonya Dendanious menghela napas. "Baiklah, lakukan sesukamu. Usia sudah memasuki 30, kau tahu mana yang benar dan salah tapi, keinginan mama untuk mendapatkan menantu harus cepat terkabulkan.""Aku menyarankan agar Marcuss menikah terlebih dahulu.""Kakak!" protes Marcuss, "Aku dengan kekasih ku masih belum ada kejelasan.""Kejelasan seperti apa?" Mino mengangkat sebelah alis, "Tidakah kalian pasangan kekasih? Kenapa tidak memantapkan ke jenjang selanjutnya?" tanya Mino dengan nada memancing.Marcuss mendengus, "Kak, aku butuh perhitungan dan kematangan diri. Aku tak bisa sembarangan menikah."Mino tertawa kecil, "That is exactly what I mean.”Mama dan Marcus, "...."siapa yang menyangka Mino akan menjawab seperti itu?Marcus menyumpah perapahi sang kakak dalam hati. Tidak lupa dengan tatapan menyipit yang menandakan bahwa bercandanya Mino ini agak diluar akal sehat manusia.Mama mengangkat tangan, "Okay, kali ini kamu menang." menarik napas panjang-panjang untuk meredakan gejolak emosi, "Bersiaplah, malam nanti kau adalah bintang utamannya."Seraya menyesap kopi buatan sang mama, "Aku juga mengundang banyak teman artis ku." Kali ini, Marcus mendapatkan tatapan maut dari kakaknya. Setelah 'meladeni' sang adik, Mino kemudian menyerah dan pergi ke kamar. Ketika menaiki anak tangga, ponsel dengan nomor pribadi bergetar.Ia berhenti sejenak, lalu mendapati Marcus-lah yang mengirimkan pesan. Berisikan:Kak, jika kau ingin mempunyai gandengan untuk pesta malam ini, aku punya artis di bawah agensi ku untuk menemani mu.Marcus terlalu sering mengirimi template pesan yang sama, sehingga terkadang Mino bosan dibuatnya. Menghiraukan pesan adiknya, memasukan kembali ponsel ke dalam kantong celana, dan kembali melanjutlan perjalanan menuju kamar.> ••• <Keluarga Dendanious memiliki silsilah yang cukup jauh dengan keluarga kerajaan di Inggris, atau lebib tepatnya, pada keturunan yang pernah menjabat sebagai seorang Duke, sayang sekali bahwa kakek buyut Dendanious kala itu tidak ingin terlibat kembali dengan polemik politik keluarga kerajaan Inggris, sehingga memutuskan untuk berhenti dan menetap di Amerika Serikat.Perusahaan juga dikelola langsung oleh keluarga, lebih tepatnya hanya posisi krusial yang ditempati. Misalkan bagian keuangan yang ditempati oleh bibi Mino, pihak dari keluarga ibunya. Tak pelak perusahaan yang besar pun menjadikan semua orang tahu siapa Dendanious. Sehingga, tidak berlebihan rasanya apabila pesta ulang tahun malam ini sangat luar biasa megah, dan luar biasa melelahkannya juga.Mino berinteraksi dengan rekan relasi bisnisnya, sesekali memperkenalkan Marcus untuk memperluas jaringan pertemanan sang adik. Beberapa artis di bawah perusahaan lebel Marcus sesekali menyapa, ada juga yang secara terang-terangan mengajak Mino ataupun Marcus untuk bermalam bersamaㅡhal seperti ini adalah makanan keseharian, hiruk piruk dunia yang sudah tidak awam namun orang tetap merasa asing.banyak orang mengatakan bahwa Mino dan Marcus beruntung terlahir sebagai seorang Dendanious, nyatanya, semua hal yang mereka anggap indah pun memiliki bayaran yang setimpal. Seperti saat ini, Mino tiba-tiba di datangi oleh salah satu pengawal pribadinya, berbisik di telinga, dan mata Mino sedikit menunjukan kegelapan."Awasi, atasi seperti biasanya.""Baik, tuan."Rasanya, mereka yang mencoba berhianat di belakang Mino, akan tahu seperti apa itu neraka yang sebenarnya.Tempat rumah sakit Irene bekerja merupakan George Washington University Hospital. Tempat barunya ini lebih nyaman daripada rumah sakit sebelumnya ia bekerja. Rata-rata residen di rumah sakit ini cukup baik, walau beberapa mungkin merasa lebih superior. Seperti Dokter Hans, dokter senior ini sudah berusia 55 tahun. Beliau merupakan orang yang baik dan memberikan Irene banyak pembelajaran di hari pertamanya bekerja di rumah sakit ini. Banyak dari pengalaman beliau yang sebenarnya diluar jangkauan kebiasaan Irene ketika menjadi dokter rumah sakit di Korea Selatan. Mungkin karena dari budaya bekerja di Amerika dan Korea yang berbeda, sehingga ada beberapa hal yang harus Irene lakukan untuk beradaptasi sepecepat mungkin. Pekerjaan di sini dilakukan dengan sangat profesional, mereka tidak mengambil keputusan secara asal-asalan tanpa adanya rapat keputusan. "First time here, in The US?" tanya Dokter Hans. Irene menjawab. "Tidak, dokter." Seraya menggelengkan kepala, "Saya pernah tinggal
Irene menghentikan mobil nya tepat dipintu masuk perumahan mewah yang terlihat sepi. Apalagi dengan hari yang mulai malam, selain lampu yang menyala, dan penjaga perumahan di pintu masuk utama, hanya keheningan yang melanda. Jendela mobilnya diketuk. Menurunkan kaca jendela, mata jernih Irene yang berwarna hazel menatap pria yang sedang memberikan tatapan curiga kepadanya. Irene bersikap tenang, dia tersenyum seraya menunjukan kalung name tag George Washington University Hospital. "Saya menggantikan dokter Hans menemui pasien di salah satu unit perumahan ini." Tidak lupa, dia menyebutkan nomor unit perumahan yang hendak ditujunya. Penjaga itu segera membukakan pintu seraya mengucapkan kata maaf. Irene hanya memberikan senyuman yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak keberatan. Baru setelahnya, dia mengendarai mobil SUV milik dokter Hans ke salah satu unit perumahan mewah di sini. Irene berhenti di depan gerbang berwarna cokelat tua yang menjulang tinggi. Perempuan itu menekan kl
Malam ini, di apartemen Irene yang sunyi. Suara musik klasik yang berasal dari Vinyl mengalun halus, dengan lembut membelah keheningan dalam ruangan. Sementara, sosok perempuan dengan dress tidur selutut tengah menari pelan. Irene sangat menyukai menari dan menyanyi. Perempuan itu selalu membuat ibunya tersenyum ketika dia menyanyi, sementara menari merupakan kegiatan selingan yang ia lakukan bersama ibunya. Tarian yang Irene lakukan merupakan dansa, tampak aneh karena dia tidak memiliki pasangan pria. Tetapi, dalam gelapnya pejaman mata, Irene hanya ingin berdua bersama kenangan. Kakinya menghentak, gerakannya gemulai, sesekali memutar tubuhnya. Seolah, ia tengah merasakan keberadaan sang ibu. Sejak keluar dari rumah keluarga Levebvè, pikiran Irene tidak lagi waras. Dia kehilangan konsentrasi, terus mengulik apa yang terjadi dengan keluarga Levebvè 18 tahun silam. Sayang, Irene belum memiliki cukup uang untuk menyewa detektif guna mencari tahu. Irene membenci kebisingan, di sanga
Terik mentari di Korea Selatan membuat temperatur suhu setempat naik menjadi 38°C. Orang-orang berbondong-bondong mendatangi halte bus yang dilengkapi dengan AC, beberapa memutuskan untuk tidak peduli dan berjalan dibawah terik Matahari dengan menggunakan payung. Jennie bukan salah seorang diantara mereka, dia menaiki mobil Audi. Membelah kota Seoul dengan perasaan marah luar biasa. Sudah sebulan sejak sahabatnya pergi dari tanah kelahirannya, tapi dia sama sekali belum menghubungi Jennie. Benar-benar menjengkelkan.Dia menyumpah perapahi siapapun yang membuat sahabatnya menjauh. Sejauh yang Jennie pahami dari polemik permasalahan pekerjaan Irene, perempuan itu bekerja dengan sangat tekun di Seoul University Hospital. Jika saja Irene bertahan sedikit lagi, Jennie yakin sahabatnya itu akan mendapatkan jabatan kepala instansi rawat inap.Sayang, nepotisme di sana masih terlalu kuat. Sehingga, mereka yang kompeten terkadang dibuang dan tidak diapresiasi, sementara mereka yang hanya moda
Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Sebenarnya mencari kebenaran sama dengan mencari kematian. Diantara kedua hal tersebut, tidak ada yang memberikanmu sedikit rasa sakit. Kematian selalu dibenci karena kebanyaka manusia tidak ingin berjumpa dengan nya. Sementara kebenaran selalu dihindari karena akan membuat terluka banyak pihak; entah apakah sebuah kebenaran untuk hal baik, ataukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak ada yang tidak memberikan luka. Hidup bersama single parent, Irene tidak pernah sekalipun meragukan alasan ibunya untuk pergi. Akan tetapi, entah apakah memang suratan takdir yang berkata, saat pertama kali kedatangannya ke sini, ia sudah disuguhkan dengan beberapa jejak kecil. Lalu, beberapa saat setelahnya, dia menjadi dokter pribadi sementara menggantikan dokter Hans ke rumah keluarga Levebvè. Belum lagi dengan ekspresi dari keluarga itu yang semakin menaruh rasa curiga. Apakah ini yang dinamakan sebaik apapun bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga? Entahlah. Semua terasa samar bagi Irene. Selama
Mino sedang mengunjungi salah satu departement store yang berada dibawah kukungan Next In. Albert berdiri tepat di belakang seraya mendorong kursi roda. Kepemimpinan ayahnya benar-benar membuktikan bahwa Next In mampu merambah ke berbagai industri. Sehingga, kini ia yang kewalahan sendiri. Terkadang, dia harus lembur di kantor tanpa pulang ke rumah. Berjalan bersama sepuluh manager departement store disekelilingnya, Mino mendengarkan secara perlahan apa yang berusaha mereka sampaikan. Dia bahkan tidak mampu melihat di mana lokasi Albert berdiri sekarang. Biasanya pria itu selalu berada di sampingnya, kini terdesak ke belakang mereka. Beberapa di antara mereka bahkan mencoba mendorong kursi roda Mino dengan tujuan mendapatkan 'perhatian' khusus dari pemimpin mereka. Mereka juga mengelilingi D's Department Store. Sesekali para manager itu menunjuk tangan mereka. Mino hanya mangut-mangut seraya berusaha mencerna apa yang coba kesepuluh manager ini sampaikan. Sebab, dalam seni berbahasa