Share

Strategi

“Lo kenapa nggak pake baju?!” tanya Haruna ketika sudah mengakhiri siaran langsung dan menoleh pada Ravindra yang sedang memasak untuk sarapan.

“Sorry, gue lupa kalo di rumah ini ada lo,” jawabnya tanpa menoleh dan fokus mengiris daging. Haruna yang mendengar alasan itu hanya bisa menghela napas panjang, dia juga tak bisa menyalahkan kesalahan lelaki itu karena itu sedikit masuk akal.

Haruna yang tidak mempermasalahkan hal itu pun langsung berdiri dari duduknya. “Tadi nyokap bilang kalo kita berangkat jam sembilan.”

“Ke mana?” tanya Ravindra sekilas melihat ke Haruna.

“Butik. Lo lupa?” Ravindra yang mendengar itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham dan Haruna hanya menggelengkan kepala pelan lalu berjalan menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.

Wanita kembali merebahkan tubuhnya dan berniat untuk tidur beberapa menit sebelum harus bersiap-siap untuk pergi ke butik. Namun, saat ia hendak memejamkan mata, suara ponsel yang tiba-tiba berdering membuatnya berdecak dan mengambil benda itu dari saku celana. Haruna melihat layar ponsel dan terkejut melihat nama sang manager terpampang di layar ponsel.

Haruna dengan cepat mengusap tombol hijau dan menempelkan ponsel di telinga. “Halo—” belum selesai wanita itu bicara, tiba-tiba saja sang manager berteriak memanggil namanya dengan kencang dari seberang telpon hingga membuatnya refleks menjauhkan ponsel dan memilih mengaktifkan pengeras suara.

“Kenapa teriak-teriak, sih? Bikin kaget aja!”

“Lo di mana? Lo nggak pulang ke apartemen? Atau jangan-jangan lo bawa cowok ke apartemen lo?!” Haruna terdiam ketika mendengar banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh managernya. Seketika wanita itu teringat dengan kejadian beberapa menit lalu. “Jawab, Na! Gue butuh klarifikasi! Siapa cowok itu? Lo nggak langar perjanjian kontrak, kan?!”

Haruna tersadar dari lamunannya, dia bersusah payah menelan salivanya sembari memikirkan jawaban yang tepat. Entah berapa kali ia harus berbohong dan menutupi perjodohan bodoh ini. “Kenapa lo bisa tau? Perasaan yang nonton live gue dikit, mana mungkin ada yang—”

“Buka forum sekarang, banyak penggemar setia lo yang udah share! Buruan kasih tau—”

“Bentar, gue harus lihat videonya,” sela Haruna yang langsung membuka forum.

Benar saja, namanya kini menjadi berita terhangat di forum, wanita itu membaca beberapa artikel, banyak yang bertanya siapa lelaki itu. Ada yang mengatakan kalau itu adalah kakaknya, tapi tak sedikit yang mengatakan kalau Haruna diam-diam mempunyai pacar dan tinggal satu atap. Namun, bibirnya perlahan membentuk senyuman saat melihat video yang disebarluaskan.

“Untung aja cuma setengah badan,” gumamnya yang senang karena wajah Ravindra tidak terlihat di rekaman tersebut. Haruna pun kembali ke telponnya. “Dia—”

“Siapa? Jangan bohong sama gue, lo diem-diem punya pacar, Na?”

“Dia bukan pacar gue, dia … sepupu gue. Tadi malem bukannya gue udah bilang kalo lagi pergi sama sepupu? Berhubung udah kemaleman, gue disuruh nginep,” jelasnya yang berharap kalau sang manager langsung percaya dan tidak banyak melontarkan banyak pertanyaan lagi.

“Ah, gue lupa. Iya, juga, ya. Sorry, gue beneran lupa, gue tadi udah panik duluan pas baca artikel yang bilang kalo lo skandal sama sugar daddy.” Haruna yang mendengar kata terakhir dari yang manager hanya bisa tertawa paksa, entah sejak kapan dia sangat lancar untuk melakukan kebohongan. “Untung aja cuma salah paham, kalo gitu udah dulu. Nikmati hari libur lo sebaik mungkin.”

Haruna menghela napas lega saat sambungan telpon berakhir. Wanita itu kembali melihat forum, dia tersenyum melihat klarifikasi dari pihak agensi tentang live tadi pagi. Haruna tersenyum tipis saat melihat agensi yang masih melindunginya, meski kini karier-nya berada diujung tanduk.

“Sial, gue jadi nggak bisa lanjut tidur,” gumamnya saat melihat jam yang ada pada layar ponsel. Dia pun beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan badan dan bersiap-siap untuk pergi ke butik.

***

“Inget, akting lo harus natural! Jangan bikin nyokap gue curiga,” peringat Ravindra saat masuk ke dalam mobil.

“Iya, gue tau, tenang aja. Lo kenapa bawa bekal?” tanya Haruna ketika melihat Ravindra meletakan bekal itu di kursi belakang.

“Gue nggak sempet sarapan, ada meeting online dadakan,” jelasnya seraya memakai sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. “Lo sendiri nggak sarapan?”

“Gue nggak pernah sarapan,” jawab Haruna.

Ravindra tidak bertanya apa-apa lagi, dia mulai melajukan mobilnya. Haruna yang mendadak merasa canggung memilih untuk memainkan ponselnya. Selang sepuluh menit dia menggulir layar ponsel, satu panggilan masuk dari Emily membuat wanita itu menghela napas panjang, seolah tau apa yang akan dibahas oleh temannya itu.

“Halo, Ly, kenapa? Kalo lo tanya masalah tadi pagi, gue nggak mau jawab.”

“Dih, siapa juga yang mau bahas itu? Nggak penting.”

“Terus, lo kenapa telpon gue?” tanyanya pura-pura tidak tau.

“Gue cuma mau tanya … lo baik-baik aja, kan?” tanya Emily to the point.

Haruna yang mendengar itu perlahan tersenyum, dia tak menyangka kalau Emily masih mengkhawatirkannya. Meski dia terlihat galak, sebenarnya dia wanita yang baik dan peduli dengan temannya. “Gue baik-baik aja, kok.”

“Jangan lo pikirin omongan Cherly kemarin, dia nggak bermaksud buat—”

“Iya, gue tau, tenang aja.”

“Bagus deh. Oh, iya, gimana kalo lo ganti guru akting? Gue ada kenalan, lo mau?”

“Nanti gue pikirin lagi,” jawabnya dengan suara lembut.

“Oke deh, udah dulu, gue harus lanjut syuting.” Emily langsung mematikan sambungan telponnya tanpa menunggu jawaban dari Haruna.

“Karier lo beneran udah diujung tanduk? Gue liat … akting lo juga nggak kaku-kaku banget,” tanya Ravindra sekilas melirik wanita di sampingnya.

Haruna menganggukkan kepala, dia melihat Ravindra sejenak, lalu tatapannya kembali lurus ke depan. “Kemarin agensi tiba-tiba mau putus kontrak.” Ravindra yang mendengar itu terdiam, dia sudah diam-diam mencari tau tentang Haruna. Sekarang dia tau alasan pihak agensi menganggap wanita itu adalah aktris gagal.

“Gue cuma punya satu kesempatan lagi buat pertahanin karier sebagai aktris.”

“Gue bisa bantu lo, tapi sebelum itu ….”

“Apa?” tanya Haruna menoleh Ravindra.

“Anggap aja sekarang lo belajar akting. Akting di mulai!” ujar Ravindra yang membuat Haruna menoleh ke luar dan tidak menyadari kalau sudah sampai di butik.

Haruna yang melihat Delia tampak merasa aneh, seperti ada yang disembunyikan. “Gue rasa … nyokap lo masih curiga masalah semalem,” ucapnya fokus menatap Delia.

“Kalo gitu … kita harus bisa bikin nyokap gue percaya.”

“Gimana caranya? Bukannya semalem kita juga udah akting buat ngeyakinin nyokap lo?”

Ravindra terdiam, dia lupa kalau sang mama mempunyai feeling yang kuat, itu artinya dia akan terus mencari tau. Namun, satu ide terlintas dipikirannya. “Gue punya strategi biar nyokap percaya kalo kita nggak ada rencana apapun, tapi …”

“Tapi apa?”

“Gue nggak yakin lo bisa ngelakuin itu.”

Haruna menoleh pada Ravindra dengan decakan. “Lo remehin gue? Gue bisa! So, apa strategi lo?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status