Share

Sebuah Rencana

Menikah dengan Evan?

Aku tersenyum mendengar lelucon yang dikatakan Oma. Bukan apa-apa, itu sangat mengada-ada dan membuatku geli sendiri. Membayangkan Evan yang pada masa kecilnya ikut aku asuh, malah menjadi pasanganku? Ah, meskipun sekadar membayangkan, sudah aneh sekali. Meskipun pada kenyataannya banyak pasangan di mana pihak perempuan beberapa tahun lebih dewasa daripada si lelaki tapi mengingat ini aku dan Evan ..., dia terlalu dini. Apa kata orang nantinya? Evan masih muda, tampan dan punya karier cemerlang. Pacarnya pun cantik sekali. Sementara aku? Memangnya siapa aku? Jarak tiga tahun di usia kami bahkan terasa terlalu jauh. Mungkin bisa-bisa aku disebut sebagai kakak atau malah adik Bu Nilam.

Kulambaikan tangan begitu mendapati taksi melintas di kejauhan. Mobil berwarna biru itu menepi, berhenti dan memberiku kesempatan untuk masuk. “Panti asuhan Cahaya Bunda, Pak.”

“Baik, Bu.”

“Lewat jalan utama saja ya, Pak.”

“Iya, Bu.”

Hari semakin larut tapi kesibukan di Ibu Kota belum juga surut. Malah mungkin semakin ramai. Tidak kusangka mendadak kepalaku berdenyut, mendadakan bahwa rasa kantuk tak tertahankan. Maklum saja, tadi pagi aku bangun setengah tiga dan sekarang sudah nyaris pukul dua dini hari. Itu artinya, dua puluh tiga jam sudah kuterjaga. Kalau Akbar sampai tahu sudah pasti dia akan mengomeliku dengan pernyataan-pernyataan mengenai bahaya terjaga sepanjang malam atau semacamnya. Meskipun sebetulnya apa yang dia bilang ada benarnya. Kondisi perutku tidak baik-baik saja, lambungku bisa kumat. Dan sebaiknya, di tengah kondisi seperti ini ada baiknya kujaga kesehatan sebab kalau sampai aku ambruk, nasib anak-anak bisa berantakan mengingat para pengurus panti baru akan kembali beberapa minggu lagi.

Omong-omong Akbar, dia pasti sedang sibuk dengan pasiennya. Mengomel dan membicarakan betapa menyedihkannya orang-orang muda zaman sekarang, mereka terlalu banyak makan bubuk cabai sampai perutnya hancur. Salah satunya, aku juga sih. Lalu, kupandangi layar ponsel di tangan, berniat menghubunginya tapi langsung kuurungkan. Takut mengganggu. Itulah mengapa kini kugeser layar ponselku ke sosial media, tempat di mana warganet membicarakan hal-hal terkini, termasuk konser Evan di salah satu stasiun televisi yang mereka nilai dengan sangat baik.

Banyak sekali orang memuja Evan, terlebih para perempuan muda. Terbukti dari banyaknya postingan tentang dirinya, atau malah beberapa kali saat kuberkunjung ke rumahnya tak jarang ada paket hadiah datang ditujukan kepada pria muda tersebut. Dengan pencapaian sebesar ini, lalu kenapa Oma justru membenci pilihan hidup Evan? Tak bisa kubayangkan kalau misalnya kami menikah, barangkali para gadis belia ini akan terkena serangan jantung. Evan pacaran dengan Aira saja banyak yang tak terima, apalagi kalau denganku?

Sekali lagi, aku tersenyum sendiri. Barangkali Pak Sopir akan menganggapku kurang waras tapi perjalananku sudah tinggal sedikit lagi. Mobil berhenti di halaman, setelah mengucapkan terima kasih dan membayar sesuai kargo segera aku masuk ke ruang utama. Lampu-lampu telah dimatikan, menandakan bahwa bocah-bocah itu sudah terlelap sesuai perjanjian. Sebelum tidur, aku berencana membereskan badan, mandi serta berganti pakaian. Akan tetapi, belum juga aku naik ke tangga asrama karyawan kulihat gadis muda terduduk di ujung tangga.

“Liana?"

Gadis itu menoleh, agak kaget saat melihatku tapi segera menghambur. “Kak Diana? Bagaimana kondisi Oma? Apakah beliau akan meninggal?”

“Heh?” Keningku mengerut mendengarnya. “Apa yang kamu bicarakan, Sayang?” Kueratkan pelukan pada tubuh mungilnya. “Oma akan baik-baik saja. Beliau sudah baik-baik saja. Kamu tenang ya.”

Tangan Liana terlepas dari badanku. Mata bulatnya menatapku dalam. “Kak Diana nggak bohong kan?”

“Buat apa sih Kakak bohong?” Meskipun lelah, tetapi aku harus terlihat baik-baik saja. Setidaknya di hadapan anak-anak ini. “Sekarang lebih baik kamu tidur dulu, besok pagi baru kita bicarakan lagi. Bagaimana?”

“Aku khawatir, Kak.”

“Kakak paham, Sayang!”

“Tapi ....”

“Liana, kakak tahu perasaan kamu.”

Selama beberapa saat mata kami saling menatap tajam, tapi kemudian dia menghela napas panjang. Jelas kalau dia kecewa padaku dan itu pasti. Namun, bagaimana lagi? Kami sudah berusaha memulihkan kondisi Liana sejak ibunya bunuh diri beberapa tahun lalu, seorang ibu yang mengantarkan anaknya sendiri ke panti asuhan, lantas menengok saat dia hampir lulus sekolah menegah pertama

“Sayang,” kataku lembut. “Kakak mohon kamu tidurlah dahulu. Istirahat. Nanti kamu malah ikut sakit lho. Pikirkan kesehatanmu.”

Liana menggigit bibir bagian atasnya seperti biasa, menandakan bahwa dia berduka. Namun, akhirnya dia menurut dan turun ke asrama anak-anak. Langkahnya agak ragu-ragu tapi kemudian berbalik lagi. Tatapannya melelehkan hatiku.

“Tidur, Liana!” pintaku. “Kakak ke atas dulu, kalau butuh apa-apa panggil saja. Paham?”

????????????????????

Aku bangun sedikit kesiangan hari ini, mengingat mata baru bisa terpejam pada pukul setengah tiga dini hari. Akibatnya kami cukup kelabakan untuk berberes dan mempersiapkan sarapan. Untung saja, anak-anak lelaki langsung sigap membersihkan taman depan, menyapu dedaunan kering dari pohon mangga besar nun rimbun itu penuh ketelatenan. Sementara para anak perempuan membantuku mengupas bahan makanan. Tugasku sendiri seperti biasanya memandikan para bayi sebelum akhirnya mengolah bahan-bahan yang sudah dipersiapkan menjadi sajian lezat untuk membuka pagi.

Biasanya, Oma lah yang memasak tapi sekarang aku harus mengerjakannya sendirian. Tidak sabar rasanya menunggu liburan selesai supaya para pengurus lainnya segera kembali. Bukan hanya karena aku sendiri kelabakan hanya saja lebih kasihan anak-anak yang harus mengurus satu sama lain. Ini bukan tugas mereka, seharusnya. Maksudku untuk anak-anak yang masih kecil. Kalau yang besar, semua akan berguna saat mereka bertambah dewasa. Kemapuan domestik seperti perkataan Oma, merupakan kebutuhan setiap manusia.

“Pakai baju dulu, Nak!” teriakku pada Joni dan Juna, sepasang bocah kembar usia lima tahun yang ditinggal meninggal oleh ibunya saat melahirkan. Oma mengambilnya di rumah lama keluarga setelah lima hari bertahan dengan jenazah ibunya. Akan tetapi, bukan dia fokus utamanya. “Juna, awas kalau lari-larian jatuh ya!”

“AAAA!!!”

“JANGAN KEJAR AKU!”

“AAA!!!”

Bukannya berhenti, namanya bocah, justru berlarian semakin seru. Kehidupan mereka seolah tanpa beban. Persis beginilah dahulu Evan kecil, dia selalu berlarian sepanjang lorong bersama pengasuh setia sekaligus asisten Bu Nilam sendiri, Mbak Idah. Anehnya, kenapa aku malah membahas Evan? Tampaknya pikiran semalam nyaris mengangguku. Terlalu lucu.

“Apa, Sayang?” kataku pada bayi mungil yang kini menatapku dari atas kain gantinya. Kesya, bocah ini usianya masih dua minggu. Dia manis sekali. “Tunggu sebentar ya, Bu Diana pakaikan baju dulu, Sayang. Anak pintar.”

Seolah paham dengan apa yang kukatakan, Kesya tersenyum lebar. Oh, manis sekali. Pipinya besar sekali, seperti bakpau.

BRAK!

Suara benturan keras dari belakang spontan membuatku menoleh. Benar saja, Joni tersungkur di atas lantai dengan mulut berdarah. Astaga! Tanpa berpikir panjang aku menggendog Kesya, memeluknya dengan tangan kanan dan segera menghampiri Joni untuk kemudian kugendong menggunakan tanganku yang lain. “Kan, apa Bu Diana bilang!” kataku. “Sudah! Tidak apa! Kita obati dulu ya.”

Bukannya mereda, kini Juna yang mengekor di belakangku ikut menangis dan membuat Kesya juga turut menangis. Astaga! Suasana sangat buruk sekarang.

“Liana! Lia! Bisa ke sini sebentar, Sayang?”

Teriakanku mendapatkan respon cepat. “Kenapa?”

“Tolong gendong Kesya dulu!”

“Mana!” Liana dengan sigap meraih tubuh gemuk Kesya dan memberiku kesempatan mengambil betadine untuk mengobati lupa Joni. “Itu kenapa?”

“Tersungkur, terkena pinggiran meja.”

“Ya ampun, Joni.” Liana tertawa kecil. “Terus kalau Juna kenapa ikut nangis? Ini lagi bayi, kenapa malah nangis juga?”

“Kaget, Sayang!” jawabku. “Oh iya, yang mengupas bahan makanan sudah siap?”

Liana mengangguk sebelum mencium pipi bulat Kesya. “Oh iya, Kak, hampir saja aku lupa.”

“Lupa apa?”

“Di luar ada Mbak Idha.”

“Mbak Idha? Pagi-pagi begini?”

“Ya.”

“Ada apa ya?”

“Katanya, Mbak diminta langsung menemuinya sendiri. Katanya, penting.”

????????????????????

Ada apa lagi ini? Tumben-tumbuennya Mbak Idha mencariku sepagi ini, sekelibat pikiran menghantui kepalaku mengenai kondisi Oma Rose. Mungkinkah telah terjadi hal buruk pada Oma? Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Langkahku besar, terburu-buru menuju ruang depan tempat anak-anak yang lebih besar berkumpul dan mengolah bahan-bahan masakan. Bersamaan dengan itu, tercium aroma perkedel kentang yang sangat wangi. Tampaknya, mereka sudah cukup dewasa untuk membantuku mengurus panti.

“Kak Di, kita masak perkedel ya?” Yulia dari sudut lorong seolah mengadu, memperlihatkan ember besar berisi adonan kentang. “Nggak apa-apa kan?”

Aku mengangguk sekenanya. “Apinya jangan terlalu panas, Sayang.”

“Siap!”

“Oh iya, Bu Idha katanya ke sini?”

“Di luar, Kak!” jawab Tania. “Lagi main sama Bagus. Dia rewel banget sejak semalam.”

“Terima kasih ya!” ucapku sembari bergegas meninggalkan ruangan. Benar saja, dari seberang jendela kulihat wanita paruh baya itu tengah menggendong Bagus, mengajaknya bermain ayunan. “Mbak Idha? Mbak cari saya?”

Perempuan berkulit cokelat itu menoleh. “Ya ampun Diana!”

“Ada apa, Mbak?” tanyaku cemas. “Oh iya, sini Bagus biar aku gendong! Dia rewel ya?”

“Sudah! Biar sama aku saja!” cegah Mbak Idha cepat. “Ini ada yang lebih gawat, Diana.”

“Oma kenapa?”

“Bukan tentang Bu Rose!” kata Mbak Idha dengan air muka cemas. “Lebih daripada Bu Rose. Di rumah tadi pagi ada geger besar, asal kamu tahu.”

“Geger? Besar?” Keningku mengerut, tentu saja. Kebingungan. Apa yang sebenarnya dia bicarakan? “Memangnya ada apa, Mbak?”

“Susah kalau aku yang ceritakan, lebih baik kamu sekarang ke sana. Itu sudah ditunggu sama Bu Nilam dan Mas Evan.”

“Bu Nilam dan Mas Evan?”

Mbak Idha lagi-lagi mengangguk. “Iya.”

“Memangnya ada apa sih, Mbak? Sebenarnya ada masalah apa? Kok aku sampai dipanggil segala? Hah? Apa ada masalahnya dengan panti asuhan?”

“Aku ini juga nggak tahu, Diana!” Mbak Idha yang kesal menekan kata-katanya. “Lebih baik kamu ke sana sendiri. Jangan ngeyel!”

“Terus, anak-anak?”

“Biar aku yang urus!” jawabnya. “Tapi ingat, perginya jangan pakai daster begitu. Nanti ada Pak Bram juga lho.”

“Hah? Pak Bram pengacara?”

“Memangnya siapa lagi?”

“Kenapa ada pengacara segala, Mbak?” tanyaku panik.

Mbak Idha menarik napas panjang dan dalam, kemudian menghelanya perlahan lewat mulut. “Kan aku sudah bilang kalau tak tahu apa-apa. Daripada banyak bicara, lebih baik kamu sekarang mandi, ganti baju dan berangkat ke sana sendiri buat tanya langsung. Kasihan itu Pak Sumari sudah menunggu di mobil.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status