Share

BAB 2 Nisha's Secret

Suaranya serak dan penuh emosi ketika ia berbicara kepada istrinya yang lemah di hadapannya.

"Nisha, aku di sini... Tolong, tetaplah bersamaku," bisiknya dengan suara gemetar, berharap kata-kata itu akan sampai ke  Nisha, bahkan dalam keadaan seperti ini.

Namun, meskipun usahanya sekuat tenaga, detak jantung Nisha semakin redup. Cahaya di matanya semakin memudar, dan Nisha terlihat tenang seperti dalam tidur yang damai. Saat tangan Hasan terus memegang erat tangan Nisha, air matanya tak tertahankan lagi, mengalir deras tanpa bisa ia cegah.

Waktu seolah-olah berhenti ketika detak jantung Nisha akhirnya berhenti. Ruangan yang sebelumnya penuh dengan aktivitas kini berubah menjadi tempat yang hening, sunyi, dan penuh duka. Hasan merasakan hatinya hancur, seolah-olah seluruh dunia yang ia kenal runtuh di depan matanya.

Pandangannya tertuju pada monitor yang menampilkan garis lurus. "Tidak... tidak... Nisha? Nisha? Apa kau meninggalkanku?... Cepat, ambilkan alat defibrilator," titah Hasan.        

"Tapi Dokter Hasan..."

"AMBILKAN SAJA!" teriaknya.                                                                          

Para petugas medis di sekitarnya saling pandang, lalu dengan cepat salah satu dari mereka memberikan alat defibrilator itu. Beberapa kali ia menggunakan alat tersebut, hanya untuk melihat Nisha membuka matanya hanya untuk dirinya. Namun, Nisha tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Suamiku... tahukah kau? Kisah tak pernah berakhir selama jantung masih berdetak dan darah masih mengalir. Namun, jika mereka berhenti, itu bukanlah hal yang harus ditakuti, karena itu adalah jalan menuju keabadian... Jadi, apa yang kau takuti?"

Hasan memeluk jasad istrinya dengan erat, tangan yang biasanya membalas pelukannya kini tak lagi merespon. Hanya keheningan yang ada.

Walaupun kesedihan memenuhi hatinya, Hasan merasakan kekuatan di dalam dirinya. Kata-kata bijak Nisha tentang keabadian dan ketenangan dalam menghadapi kematian bergema dalam pikirannya. Meskipun perpisahan dengan istrinya adalah pukulan yang sangat berat, ia menyadari bahwa ia harus tetap tegar dan menghormati tekad yang Nisha miliki untuk menghadapi kenyataan ini dengan kepala tegak.

Dengan hati yang terasa berat, Hasan menutup jasad istrinya dengan selembar kain putih dan dengan lembut menutupi tubuh Nisha yang terbaring tak bergerak di ranjang. Tindakan itu seolah menjadi lambang perpisahan terakhir mereka.Dalam kesunyian ruangan, ia merasakan hadirnya Nisha seperti bayangan lembut yang masih mengelilinginya, memberikan ketenangan dalam momen perpisahan ini.

Hasan menatap pussara isstrinya dengan tatapan kosong satu persatu orang yang datang untuk berduka mulai meninggalkan pemakaman.

"Harusnya aku mengatakannya dari awal," suara jernih yang begitu dikenalnya sukses membuatnya mendongak, dan mendapati seorang wanita jangkung yang cantik, Sonia, adiknya yang juga merupakan seorang dokter sama sepertinya.

Kemudian seluruh cerita itu meluncur begitu saja.

…..

“Apa yang kau lakukan?” Sonia mencengkeram kertas hasil diagnosis tes darah yang dilakukan oleh Nisha.

“Bagaimana bisa kau tak menyadarinya selama ini?” geram Sonia kembali, begitu frustasi mengetahui bahwa istri kakaknya ini mengidap Serviks dan bukti lainnya pada hasil tesnya juga menunjukkan dia memiliki AIDS.

“Maafkan aku, Sonia. Aku tidak bermaksud untuk menyembunyikannya,” ucap Nisha dengan rasa bersalah. Akhir-akhir ini, badannya terasa lemas dan merasa obat-obatan yang diminumnya selama ini sudah tidak mempan lagi.

Merasa frustasinya sudah tak terelakkan wanita itu mengambil rokoknya,hal ini membuatnya benar benar terguncang dadanya sesak begitu mengetahui keluuarga terdekatnya saat ini mengidap penyakit yang satu satunya jalan untuk mengakhirinya hanyalah dengan meninggal.

Merasa dirinya sudah sedikit tenang dan sudah mampu mengendalikan dirinya sendiri dengan suara lemah dia bertanya sekali lagi pada Nisha.

“Nisha… mengapa kau baru datang padaku sekarang?” tanyanya dengan lemah, tak ingin wanita ini semakin merasa bersalah.

“Aku kira semuanya akan baik-baik saja karena aku minum obat dengan teratur, tapi… sudah seminggu aku merasa benar-benar lemas, meskipun aku rutin meminum obatku,” jelasnya.

Sonia yang mendengarkan penjelasan Nisha seketika memejamkan matanya rapat rapat kemudian dia menghela nafas panjang dan bertanya dengan hati-hati pada wanita yang ada di depannya.

“Nisha… apa… Hasan tahu?” tanyanya pada gadis yang sudah benar-benar pucat seperti kain putih di depannya ini.

Susah payah Nisha menelan ludahnya tak mampu menjawab pertanyaan Sonia dia bahkan membuang pandangannya ke lantai tak sanggup menatap tatapan mata Sonia yang benar benar menuntut jawaban darinya.

Melihat reaksi Nisha Sonia hanya mengangguk pelan mengerti meskipun wanita itu tak mengucapkannya.

Dengan pelan Sonia meraih tangan Nisha dan menggenggam tangannya erat dia merasakan tangan wanita itu dingin dan tNisha merasakan kehangatan pada genggaman Sonia.

“Nisha, bagaimanapun juga, dia harus tahu. Dia itu suamimu,” ucapnya. Kemudian Nisha menatap Sonia dengan lurus-lurus.

“Tidak… Hasan sudah berjuang menanggung beban yang begitu berat selama hidupnya. Aku tidak ingin dengan memberitahukan hal ini, hanya akan membuat lukanya yang sudah mengering akan terbuka kembali. Dia sudah bisa bahagia sekarang…”

“Tapi-” Baru saja Sonia akan menyanggah ucapan Nisha, namun sudah dipotong olehnya.

 “Sonia…” panggilnya. Dia menatap wanita yang lebih muda dua tahun darinya itu dengan tatapannya yang teduh.

“Berapa persen kemungkinan aku bisa hidup?” tanyanya.

Sonia tak menjawab alisnya menyatu sibuk dengan pikirannya sendiri tentu dia tahu jawaban pastinya namun entah mengapa jawaban itu tercekat di tenggorokannya.

“Bicara apa kau… aku tak bilang kau sedang sekarat, aku sendiri yang akan mengusahakan segalanya yang terbaik untukmu. Aku berjanji,” ucapnya, berusaha menepis jawaban dari pertanyaan itu.

Nisha tahu jika Sonia akan berbuat demikian. Wanita itu kemudian menatapnya dengan sendu sambil tersenyum lembut.

“Sonia…? Apa kau mau melakukan sesuatu untukku?” tanyanya.

“Apapun…” jawab Sonia dengan sigap.

“Aku tahu kau akan menentangnya dengan keras… tetapi bisakah kau merahasiakan ini selama aku masih bersama Hasan?” Itu sama saja dengan mengatakan dia harus merahasiakan ini hingga hidup wanita ini berakhir.

"Apa kau gila?" bentaknya dengan suara gemetar. Matanya memandang Nisha dengan campuran antara kebingungan dan ketakutan.

Nisha merasakan kekhawatiran dalam suara Sonia dan dia merasa bersalah telah membuatnya khawatir. Dia mencoba menjelaskan dengan lembut, "Sonia, aku tahu permintaanku ini sangat aneh dan berat. Tapi aku harap kau bisa mengerti."

Sonia mencoba mengatasi emosinya. "Tapi, Nisha, ini tentang Hasan, suamimu sendiri. Dia berhak tahu tentang kondisimu."

Nisha mengangguk, memahami bahwa Sonia begitu merasa sulit menerima permintaannya. "Aku tahu, Sonia. Tapi aku punya alasan kuat di balik keputusan ini. Aku tidak ingin membebani Hasan dengan berita yang mungkin bisa merusak hidupnya."

“Tapi Hasan akan lebih terbebani jika dia adalah orang terakhir yang mengetahui ini,” Sonia berusaha logis.

“Sonia… aku tak ingin membebani Hasan itu saja… kumohon.”

Sonia merasakan sentuhan Nisha dan merasakan kelemahan dalam genggaman tangannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status