Share

3. Rencana

Udara dingin menusuk ke sela paru-paru, lampu taman masih menyala dan bulan yang pucat masih tersisa di bentangan langit yang gelap. 

Kesunyian pagi buta itu dipecahkan dengan suara dentingan perkakas dapur. Emi berdiri di sana, di depan kompor elektriknya, dengan tangan yang begitu sibuk mengoyak wajan yang mendesis, sementara hatinya terus cemas mempertanyakan "Apakah masker matanya berguna?"

Setiap kali air matanya jatuh, Emi akan langsung mengusapnya dengan cepat, melatih kembali bibirnya untuk mendapatkan senyum lebar yang sempurna. 

"Istri sempurna tidak pernah marah, istri sempurna tidak cerewet, istri sempurna pengertian, istri sempurna tidak merajuk..." Kalimat demi kalimat itu terus berjatuhan dalam lubuknya, seolah kata-kata itu adalah plester yang mampu menutupi seribu kebohongan di hati Emi. 

"Emi!" sayup-sayup suara suaminya terdengar dari lantai atas. 

"Emi!" Pria itu terus memanggil hingga suara itu makin terdengar jelas saat langkah kaki menggema menuruni tangga dengan hentakan yang buru-buru. 

Suara itu berhenti. Emi bisa merasakan aura suaminya mematung di ujung tangga dengan napas terengah, menatapnya, kemudian berjalan menghampirinya ke depan meja bar.

Emi berbalik. "Sudah bangun?" 

"Semoga mataku sudah tidak sembap lagi," pikirnya cemas seraya tersenyum pada suaminya yang masih acak-acakan. 

Mike mengangguk dengan ujung bibir yang dipaksakan melengkung, mengusap janggut tipis di rahangnya yang tegas dan memikirkan apa yang harus dikatakan. 

Emi menangkap jelas rasa bersalah dalam ekspresi suaminya, mengingat perbuatannya semalam. Dan Emi membenci tatapan itu. Emi benci dikasihani. 

"Hmm... bukankah terlalu dini untuk memasak?" ucap Mike, dengan rasa takut jika pertanyaannya tidak tepat. 

Emi menengok ke arah jam dinding. Pukul 03.40.

"Tidak. Aku masak banyak sekali jadi membutuhkan waktu yang lama," jawab Emi ramah, sementara tangannya kembali sibuk menyentuh ini dan itu.

Hampir saja pria itu bertanya, "Memang untuk siapa masak banyak-banyak?" Tapi Mike tahu itu bisa merusak suasana dan segera mengurungkan niatnya.

Kembali hening. 

Ketegangan yang hampa begitu terasa di tengah desisan bumbu asam manis yang meletup-letup dalam kubangan ayam yang hampir matang. 

Mike bisa membaca di balik punggung istrinya yang terlihat lesu, wanita itu pasti sedang berusaha untuk tidak menangis. Dan ia harus segera meminta maaf. 

"Emi..." ujar Mike mencoba membuka pembicaraan. Ucapannya menggantung sejenak, dan kemudian setelah mengambil napas panjang pria itu melanjutkan, "Emi... tentang semalam, aku—"

"Aku sudah memanaskan air mandi untukmu, Mike," potong Emi cepat, membuat Mike langsung terdiam sejenak.

"Ya, aku sudah lihat tadi saat mencarimu tidak ada di tempat tidur," jawab pria itu, menatap Emi yang bergeming, "Kalau begitu, aku mandi dulu," lanjutnya sembari mundur selangkah demi selangkah menuju tangga.

Pikirannya masih bimbang untuk memutuskan, apakah harus minta maaf atau lebih baik melupakannya saja, karena Emi juga terlihat tidak ingin membahasnya. 

"Mike!" Panggil Emi menghentikan langkah pria itu. 

Mike berbalik. Menatap istrinya dari jarak dua meter. Mata wanita itu merah dan riasannya tidak cukup untuk menutupi wajahnya yang sembap karena menangis.

"Apa kamu suka bekal makan siang kemarin?" tanya Emi tiba-tiba, membuat pupil mata Mike seketika mengerut. 

"Y-ya, suka sekali," jawab Mike gelagapan. 

Batin Emi tersenyum remeh mendengar kebohongan dari mulut suaminya. Mike bahkan tak tahu apa isi dari kotak makan itu. 

"Kalau begitu tolong ambilkan kotak makannya, harus segera dicuci, aku tidak tahan bau bekas makanan yang dibiarkan kotor berlama-lama," titah Emi halus.

Sedetik tersirat kebingungan di wajah pria itu, yang langsung berubah menjadi ekpresi terperangah yang palsu. 

"Ah!" sergahnya dengan mulut ternganga, "Sepertinya tertinggal di kantor, Emi. Kau tahu, pikiranku sedang kacau akhir-akhir ini, jadi aku sering lupa akan sesuatu... aku minta maaf." Alasan yang keluar dari mulut pria itu langsung mendapatkan tatapan tajam dari Emi. 

Emi dengan jelas mengingat kembali saat membongkar tas kantor milik suaminya, mendapati kotak makan yang dibuatnya dengan penuh usaha dan cinta, masih utuh, bahkan catatan kecil 'Selamat makan siang, Sayang!' masih menempel dengan rapi di atasnya. 

Emi mengembalikan senyumnya lagi di wajahnya. 

"Baiklah, asal jangan lupa untuk membawanya saat kau pulang nanti, yang itu favoritku," tegasnya, "Dan, jika benda itu hilang—" Emi mengarahkan telunjuk dengan jempolnya yang mengacung, membentuk pistol, "Dor!!" serunya seraya tangannya membidik ke arah Mike. 

Mike terkekeh melihat tingkah istrinya. Emi memang selalu lucu dan mampu mencairkan suasana, bagi Mike, Emi adalah wanita dewasa yang pengertian dan sebisa mungkin akan menghindari konfrontasi. 

"Siap, Madam!" seru Mike dengan sikap hormat, "Aku berjanji akan membawa pulang kotak makan berhargamu itu."

Emi tersenyum lebar dan kembali pada aktivitasnya. Mike berlari kecil menuju tangga dan melewati dua anak tangga sekaligus di setiap langkahnya yang besar. 

Setelah mandi, berpakaian dan sarapan. Pagi itu berlalu seperti biasanya. Seperti rutinitas kehidupan seorang suami istri yang harmonis. Kecupan manis di bibir dan kening, pelukan, lalu melambaikan tangan pada si suami yang hendak mencari nafkah. 

Meskipun, semuanya tidak sama lagi seperti dulu, saat mereka dalam proses perjodohan, saat Emi dan Mike masih dalam masa pendekatan. Kisah romantis itu sungguh nyata adanya. 

Sekarang semuanya hanya kepalsuan. Mike menghancurkan semuanya. Semua gambaran ideal tentang sebuah pernikahan bagi Emi, dan tak ada yang bisa menggantikan pria itu. 

Emi masuk ke dalam rumah dan menutup kembali rapat pintunya, senyuman palsu di wajahnya telah lama sirna. 

Mike adalah sosok pria paling sempurna yang pernah Emi temukan: Tampan, tubuh yang memuaskan, harta dan takhta, kepintarannya dan betapa menyenangkannya saat Emi bisa mengontrol sikap dominan dari suaminya itu. 

"Lihat apa yang telah aku lakukan pagi ini," sesal Emi saat melihat dapurnya yang seperti kapal pecah. Emi mendesah kesal dan mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa. 

"Aku tak akan pernah melepaskanmu, Mike," tegasnya pada diri sendiri. 

"Aku akan membuat strategi baru, tidak dengan cara kuno menangkap basah perselingkuhanmu, aku akan cari cara lain, cara yang tidak akan pernah bisa membuatmu pergi, cara yang membuatmu tak punya pilihan lain selain tetap tinggal di sisiku, mau ataupun tidak."

Emi bangun dari rasa frustasinya dan duduk di depan meja pribadinya, membuka laptop dan buku catatan.

Emi menulis semua daftar rencana yang akan ia lakukan. Untuk saat ini, yang bisa ia lakukan adalah menyetel ulang alarm elektronik yang ada di dalam kamarnya.

Pencarian daring : Bagaimana cara menyadap ponsel dalam jarak jauh dan akurat? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status