Yara benar-benar tak habis pikir, ada apa dengan Oliver belakangan ini? Apa kepalanya terbentur sesuatu hingga membuat pikirannya berubah secara drastis?Semalam pria itu tidur di sofa hingga pagi, dan ia tidak meminta Yara untuk membuatkannya sarapan.“Hari ini istirahat saja, jangan melakukan apapun,” katanya sebelum pergi ke kantor dan ia sempat melihat Yara kembali mengalami morning sickness.Yara mengembuskan napas panjang sambil geleng-geleng kepala. “Benar-benar sulit dimengerti,” gumamnya, sebelum akhirnya ia melanjutkan kembali aktifitasnya—mendekor ruangan tengah di rumahnya, sebuah bangunan seperti kubus di tengah-tengah taman belakang rumah Oliver.Yara membawa tangga lipat dan menaikinya untuk memajang lukisan di dinding.Saat tatapannya tak sengaja tertuju ke arah lapangan basket melalui dinding kaca, seketika itu juga ia tercenung. Setiap kali mengingat basket, ia jadi teringat dengan hubungannya bersama Oliver dan Zara yang rumit, di masa lalu.Saat itu, ia menjadi mur
Mendengar seruan tegas Oliver, Yara tiba-tiba terdiam. Lalu ia menunjuk lukisan yang ikut terjatuh di lantai—yang untungnya tidak rusak sama sekali.“Aku... aku cuma mau pasang lukisan itu.”“Kamu bisa menyuruh orang lain, kenapa harus melakukannya sendiri?!” Oliver tampak marah. “Bagaimana kalau kejadian barusan membuat kehamilanmu kenapa-kenapa?! Apa nggak bisa kamu sedikit lebih berhati-hati, Yara?!” suara Oliver terdengar naik satu oktaf.Yara kembali terdiam, seakan-akan tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Bukankah ucapan Oliver barusan terdengar seperti pria itu mengkhawatirkan kehamilannya? Benarkah itu? Bolehkah Yara berbangga diri?Namun, ia mendadak kesal karena walau bagaimanapun, Yara terjatuh akibat Oliver.“Aku nggak akan jatuh kalau kamu nggak tiba-tiba datang dan membuatku kaget!” gerutu Yara dengan perasaan jengkel. “Kamu lihat jam, Oliver? Ini masih jam dua belas siang dan kamu sudah pulang? Lalu tiba-tiba datang ke sini. Bagaimana aku nggak kaget?”Kali i
“Lagunya benar-benar membuat kepalaku pusing!” Desisan tajam Oliver menggantikan lagu Marshall yang baru saja berhenti berputar, membuat Yara yang tengah menikmati musik yang penuh semangat itu langsung menghentikan gerakannya—yang tengah menyapu ruangan sambil sesekali berdansa mengikuti irama lagu. “Oliver! Kenapa musiknya dimatiin?” protes Yara seraya memandangi Oliver—yang entah sejak kapan datang, dengan tatapan jengkel. Namun, saat tatapan keduanya bertemu, suasana di antara mereka menjadi canggung dan bayangan mereka yang tengah berciuman kemarin menghantui kepala Yara. “Sudah kubilang, musiknya membuat kepalaku pusing,” desis Oliver sekali lagi, memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka beberapa saat. Oliver melihat playlist di laptop Yara. “Apa kamu segila itu pada Marshall? Sampai-sampai hampir semua playlist kamu lagu-lagu dia?” “Iya, dia satu-satunya penyanyi favoritku dan aku berterimakasih padamu karena punya sepupu seperti dia,” jawab Yara blak-blakan sambi
Sial! Apa yang kulakukan?!Lagi-lagi pertanyaan itu muncul di benak Oliver.Menginap di rumah Yara? Itu benar-benar tidak ada dalam to do list yang ia tulis tadi pagi. Biasanya, Oliver akan melakukan sesuatu sesuai rencana, secara terstruktur.Namun beberapa hari terakhir ini ia banyak melanggar aturan yang ia buat sendiri. Seperti tiba-tiba pulang ke rumah di saat jam makan siang misalnya, atau menginap di rumah kubus Yara secara mendadak.Oliver tak tahu kenapa ia melakukannya.Jelas-jelas ia tak ingin mengkhianati Zara dengan menerima anak dari wanita lain. Namun entah mengapa setelah bertemu psikiaternya kala itu, pandangannya berubah. Baik terhadap Yara, maupun terhadap anak yang dikandungnya. Oliver menginginkan anak itu.“Maafkan Papa, Sayang,” bisik Oliver pada Zio yang sedang bermain dengan mainannya.Pada saat yang sama, pintu kamar mandi terbuka. Oliver menoleh, ia melihat Yara muncul di sana menggunakan kemeja kedodoran dan celana di atas lutut sambil mengeringkan rambutny
“Dan aku akan memastikan kamu tidak membuatku jatuh kali ini.”Senyuman miring yang tersungging di bibir Oliver membuat Yara tercengang sekaligus merasa waspada. Pasalnya, Yara jarang sekali melihat Oliver tersenyum meskipun itu hanya senyuman misterius, seperti sekarang.Lalu, Yara ingat, dulu Zara sering mengeluh sakit badan jika tidur satu ranjang dengannya. Namun, tentu saja Yara tidak pernah ingat apa yang ia lakukan saat sedang tertidur.“Oh ya?” Yara menyahut ucapan Oliver, dagunya sedikit terangkat untuk menantang. “Memangnya bisa? Dengan cara apa?”Yang ada dalam bayangan Yara, kedua kaki dan tangannya akan diikat oleh Oliver selama ia tidur. Membayangkannya saja sudah membuat Yara merasa ngeri.“Dengan memastikan kamu nggak punya banyak ruang untuk bergerak,” jawab Oliver dengan tatapan misterius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang licik.“Oh. Begitu?” Yara mendengus kecil. “Kita lihat saja nanti. Aku bisa membuat kamu jatuh tanpa harus banyak bergerak.”“Benarkah?” Olive
Oliver duduk termenung sendirian di dalam ruangan kerjanya. Berulang kali ia membisikkan kata “maaf” seraya menatap foto Zara yang teronggok di sudut meja kerjanya. Rasa bersalah menghantui diri Oliver, karena pagi tadi ia memutuskan untuk melupakan masa lalunya bersama Zara dan membuka lembaran baru bersama Yara, dengan menyuruh beberapa orang untuk menurunkan foto-foto mereka dari dinding-dinding rumah.“Maafkan aku, Zara... maaf... aku sudah mengkhianati kamu,” bisik Oliver nyaris tak terdengar.Ia menunduk, mengepalkan tangan, berusaha berdamai dengan perasaan bersalah yang terus menggerogoti hatinya.Namun, ia tidak bisa. Ia tak pernah membayangkan suatu saat dirinya akan bisa melupakan Zara. Akan tetapi Oliver sadar, ia tak bisa terus menerus hidup dalam bayang-bayang mantan istrinya itu.“Sekali lagi, maafkan aku...,” bisik Oliver lagi sambil meraih foto tersebut dari ujung meja, lalu memasukkannya ke dalam laci. Ia menutup laci itu dan menguncinya.Hari ini ia tak ingin bertem
Yara tidak pernah merasa sejengkel ini sebelumnya ketika ia bangun tidur. Oliver tidak pulang semalam, tapi bukan itu yang membuat Yara marah dan kesal pagi ini. Sebab ia tahu Oliver butuh waktu untuk sendiri setelah menurunkan foto-foto Zara yang baginya tidak mudah mengambil keputusan itu.Namun, yang membuat Yara jengkel dan marah adalah kenyataan Wanda yang datang ke rumah pagi-pagi buta—di saat Yara masih tidur, hanya untuk mengemas pakaian Oliver yang akan pergi ke Singapura. Yara baru tahu akan hal itu dari Lisa saat ia akan sarapan.“Tapi Oliver nggak ngasih tahu aku dia akan pergi ke Singapura?” gumam Yara pada dirinya sendiri, tapi masih terdengar jelas oleh Lisa yang tengah merapikan meja makan.“Mbak Wanda bilang perjalanannya memang sangat mendadak, Non,” timpal Lisa, “Tuan dan Wanda akan pergi pagi ini.”“Mereka pergi berdua?”“Kata Mbak Wanda sih begitu, Non.”
Setibanya di Dufan, suasana ceria segera menyambut mereka. Yara dan Zio menikmati berbagai wahana mulai dari Bianglala, Halilintar, hingga Istana Boneka, sementara Marshall tak henti-hentinya tertawa melihat ekspresi ceria dan spontan dari Yara, yang tampaknya benar-benar menikmati momen tersebut.Saat Yara mencoba wahana Kora-Kora, ia berteriak kencang saat perahu bergoyang naik turun dengan cepat. Marshall yang berdiri memperhatikan sambil menggendong Zio, tak bisa menahan tawanya kala melihat ekspresi lucu Yara. Marshall mengabadikan ekspresi konyol Yara dengan memotretnya berulang kali.“Astaga! Aku jelek sekali! Hapus gak?” omel Yara saat ia melihat foto tersebut setelah turun dari kora-kora.“Nggak!” Marshall tertawa melihat foto-foto itu. “Em... haruskah aku unggah ini di medsosku terus tag kamu? Biar followers kamu tahu kalau kamu sejelek ini,” canda Marshall dengan nada mengejek.“Coba saja! Aku nggak takut!” tantang Yara, ia berjinjit, mendekatkan wajahnya ke wajah Marshall
Yara menyandarkan bahunya di kusen pintu sembari bersedekap dada. Matanya memperhatikan Oliver yang sibuk mengaduk sup di dapur, dengan lengan kemeja tergulung hingga ke siku.Beberapa saat yang lalu Yara akan memasak makan malam untuknya dan untuk si kembar. Namun, Oliver yang keras kepala itu melarang Yara memasak dan akhirnya ia sendiri yang membuatkan makananan, meski sebelumnya Yara sudah mengusir Oliver untuk pergi dari rumah. Akan tetapi Oliver tetaplah Oliver, pria keras kepala yang tidak tahu malu.“Oliver, kamu tahu? Aku punya batas kesabaran.” Yara akhirnya bersuara sembari menghampiri meja makan.Oliver menoleh, menatap Yara dengan tatapan dalam meski sesaat. “Aku tahu,” jawabnya santai, kini ia menuangkan sup ke mangkuk. Pria itu tampak nyaman berada di dapur kecil Yara. “Tapi untuk saat ini kamu belum mencapai batas itu, ‘kan?”Yara menghela napas panjang. “Aku nggak butuh kamu di sini. Aku bisa urus semuanya sendiri,” ucapnya dengan nada suara tegas.“Arthur dan Airell
Siang itu Yara baru selesai menjemput Arthur dan Airell dari sekolah dan mengantarnya sampai ke rumah. Setibanya di kantor, ia langsung berjibaku dengan pekerjaan. Saat sedang menatap layar laptop, pikiran Yara tiba-tiba melayang ke kejadian kemarin siang saat Oliver mengatakan bahwa pria itu akan datang lagi besok, besoknya lagi dan besok besoknya lagi. Yara mendengus pelan sambil tersenyum kecut. “Terus saja berbohong, Oliver,” gumamnya sambil kembali memfokuskan dirinya pada layar laptop, yang menampilkan konsep panggung untuk acara The Luxe Hotels—yang sudah disepekati bahwa mereka akan memakai konsep yang ditawarkan Infinity Events. Yara berpikir, Oliver tidak serius dengan ucapannya. Karena buktinya, siang ini Oliver tidak datang menjemput si kembar lagi ke sekolah dan tidak datang pula ke kantor. Yara mengusap wajahnya dengan kasar sambil bergumam, “Kenapa aku jadi mengharapkan dia datang?” “Bu Yara, boleh saya masuk?” tanya Fina sambil mengetuk pintu. “Hm. Masuk, Fin!”
“Kumohon, biarkan aku ada di hidupmu lagi. Aku hanya ingin memastikan kamu dan anak-anak bahagia.” Yara tertegun ketika ia mendengar ungkapan yang terdengar tulus itu dari mulut Oliver. Ia melanjutkan kembali kunyahan di dalam mulutnya sambil menghela napas berat. Namun, belum sempat Yara menanggapi ucapan Oliver, ponselnya tiba-tiba berdenting. Yara mengecek pesan yang masuk lalu membacanya dengan kening berkerut. [“Selamat siang, Mom. Untuk pembayaran SPP, DSP dan uang tahunan Arthur dan Airell sudah lunas sampai akhir tahun. Hari ini ayahnya Arthur dan Airell datang ke sekolah. Terima kasih.”] Pesan itu membuat Yara terhenyak. Ia mengalihkan tatapannya dari layar ponsel, ke arah Oliver yang tengah menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Oliver kala ia mendapati tatapan tajam dari Yara. “Kenapa kamu melakukannya?” Suara Yara terdengar dingin. “Melakukan apa?” Tampak kerutan di kening Oliver. Ia meraih ponsel Yara dan membaca pesan ter
“Bunga dari siapa?” Oliver hendak mengambil secarik kertas dari atas bucket bunga mawar tersebut, akan tetapi dengan cepat Yara menepisnya. “Bukan urusanmu,” timpal Yara dengan ketus. Ia lalu beranjak pergi menuju lantai dua, sementara si kembar sudah berlari lebih dulu ke ruangannya. Oliver mengikuti Yara dengan langkah tenang. “Apa bunga itu dari tunanganmu yang tidak sah itu?” Yara mendengus. “Bukankah sudah aku bilang itu bukan urusanmu, Oliver?” tukas Yara sambil terus berjalan dengan cepat demi menghindari Oliver. “Ingat, kamu masih istriku, Yara.” Terdengar ada nada cemburu dalam nada suara Oliver. “Siapapun laki-laki yang kamu anggap tunanganmu, hubungan kalian tetap tidak sah. Itu artinya laki-laki itu sedang berusaha merebut istri milik laki-laki lain. Aku nggak akan tinggal diam.” Yara tidak member
“Apa yang sedang kamu lakukan di sini, Oliver?” Yara terkejut kala melihat Oliver berada di hadapan anak-anaknya. Dari mana pria itu tahu sekolahan Arthur dan Airell? Ah, Yara lupa. Oliver adalah orang yang bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginannya. Bahkan, jika tanpa bantuan Marshall, Yara mungkin sudah ditemukan di Swiss oleh Oliver sejak beberapa tahun lalu—itupun jika Oliver mencarinya. Namun, Yara tidak yakin pria itu akan mencarinya sampai sedemikian rupa. “Aku ke sini untuk menemui anak-anak kita, dan tentu saja aku juga ingin menemui kamu, Yara.” Kata-kata Oliver mengeluarkan Yara dari keterdiamannya. Ia menatap Arthur dan Airell bersamaan tanpa menghiraukan ucapan Oliver barusan. “Arthur, Airell, ayo pulang. Mommy nggak telat, ‘kan?” “Tidak, Mom,” jawab Airell yang mendadak berubah ceria saat melihat Yara. “Tapi Mommy keduluan sama Daddy,” timpal Arthur. Yara menatap Oliver dengan tatapan dingin, sebelum akhirnya ia membawa anak-anaknya men
Marshall terdiam mendengar kata-kata Oliver yang diucapkan dengan nada penuh semangat dan kebahagiaan itu. Ia berusaha mencerna kabar yang baru saja disampaikan sepupunya. Marshall menaruh gitar dan berjalan ke arah balkon kamarnya. Setelah beberapa detik hening, suara Marshall terdengar kembali. “Kamu serius? Yara dan anak-anak?” tanya Marshall memastikan. “Maksudmu—“ “Mereka kembar! Laki-laki dan perempuan,” potong Oliver di seberang sana. “Yara dan anak-anak kami, mereka ada di sini. Aku bahkan memeluk Arthur, maksudku anak laki-lakiku, dia anak pertama. Arthur memanggilku Daddy.” Lagi-lagi Marshall terdiam. Oliver terdengar begitu bahagia menyampaikan kabar tersebut, tanpa tahu bahwa Marshall yang sudah menyembunyikan mereka selama ini. Dan jika Oliver tahu mengenai fakta tersebut, Marshall bisa memastikan sepupunya itu akan murka padanya. Membayangkan ha
“Oliver...!” desis Yara seraya menatap Oliver dengan tatapan tajam. Ia tak setuju dengan ide Oliver yang langsung mengakui siapa dirinya di hadapan Arthur dan Airell.“Daddy?” Arthur tiba-tiba bertanya sambil menelengkan kepala. “Jadi Uncle adalah daddy kami?”Yara tertegun menatap bagaimana raut muka putranya yang penuh harap itu. Lalu Yara menatap Oliver dan berbisik dengan tajam, “Ingat, Oliver. Mereka anak-anakku! Kamu nggak berhak ikut campur urusan kami.”Oliver langsung menoleh. Dan seketika itu juga Yara menyesal telah mendekatkan bibirnya ke telinga Oliver, karena saat pria itu menoleh wajah mereka nyaris bertemu.Namun, Oliver tidak memberi tanggapan apapun pada ucapan Yara barusan. Pria itu hanya menatap Yara sambil tersenyum samar. Kemudian Oliver berjongkok di hadapan Arthur dan Airell.“Iya, aku daddy kalian berdua,” ucap Oliver sekali lagi dengan tatapan lembut, ya
“A-apa maksudmu?” Yara tersentak kala mendengar ucapan Oliver barusan.Apa pria itu bilang?Tidak pernah menceraikannya? Kenapa bisa?“Aku bilang....” Oliver menjeda kalimatnya seraya mendekatkan wajah mereka. Namun, Yara segera memalingkan muka ke samping saat bibir mereka nyaris bertemu. Bibir Oliver kini berakhir di pipi Yara. Oliver mendekatkan bibirnya ke telinga Yara, berbisik, “Aku nggak pernah menceraikanmu, Yara. Surat gugatan cerai darimu nggak pernah aku tandatangani dan kata cerai belum keluar dari mulutku.”Raut muka Yara seketika berubah menegang. Ia mendorong dada Oliver keras-keras hingga pria itu berhasil mundur dari hadapannya. Mata Yara menatap Oliver dengan tajam. Lalu mendengus kasar.“Jangan membohongiku, Oliver,” desis Yara, “kamu sudah bahagia dengan Zara, seharusnya kamu sudah menceraikanku karena aku dan Zara kakak beradik yang nggak boleh kamu nikahi secara bersamaan!”Satu sudut bibir Oliver kembali terangkat. Ia merogoh saku jas bagian dalamnya dan mengelu
Yara berkacak pinggang sembari mengembuskan napas melihat bekal kedua anaknya yang masih tergeletak di meja. Tadi ia meminta tolong Arthur agar memanggil Airell untuk makan siang, tapi sampai saat ini Arthur belum kembali dan Airell pun tidak terlihat batang hidungnya. Kemarin sore Arthur sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan untuk memberi hiburan pada anak itu, hari ini Yara membolehkan anak-anaknya ikut dengannya ke kantor Infinity Events. “Anak-anak itu susah sekali kalau disuruh makan,” gerutu Yara sambil geleng-geleng kepala. Lalu ia keluar dari ruangan kerjanya untuk mencari Arthur dan Airell. Ia menuruni tangga dengan langkah anggun dan penuh percaya diri. Sampai saat ini Yara lebih suka memakai flat shoes ketimbang high heels. Yara sudah bisa menebak bahwa si kembar berada di lobi, sebab tempat itu adalah tempat kesukaan mereka selain taman kecil di