Share

BAB5. Usaha Lagi

“Woi! Lo bisa nggak naik motor!” Teriak seorang pejalan kaki yang hampir saja tertabrak oleh Alya yang tidak menyadari lampu merah menyala di perempatan jalan yang sedang dilaluinya.

“Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Saya kurang berhati-hati,” ujar Alya yang hampir saja menabrak pejalan kaki yang hendak menyerang jalan yang ia lalui untuk kembali pulang menuju ke rumah sakit. 

“Al. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu harus hati-hati mengendarai sepeda motor. Kamu pasti sedang ngelamun, makanya hampir saja menabrak orang.” 

Alya menoleh, dia mengangguk pelan. Membenarkan kalimat Mbak Vira akan fakta yang terjadi pada dirinya. 

“Iya, Mbak. Alya minta maaf,” jawab Alya. 

“Apa ganti mbak saja yang bawa motornya?” Tawar Mbak Vira untuk berganti membawa sepeda motornya. 

Alya menggeleng, “Tidak perlu Mbak. Alya akan lebih berhati-hati lagi.” 

Tanpa mereka sadari, kejadian yang baru saja mereka alami tersebut tak luput dari sepasang mata yang memperhatikan mereka dari dalam mobil mewah yang dikendarainya.

Saat Lampu hijau menyala, Alya pun melajukan sepeda motornya dengan penuh kehati-hatian hingga membawa keduanya selamat menuju ke rumah sakit.

“Al, aku mau ke ATM dulu ya,” kata Vira setiba di lobi rumah sakit. Tak jauh dari tempat mereka akan naik menuju pintu lift ada sebuah mesin atau yang di sana.

Alya menoleh, ke mana arah mata sang teman. Dia pun mengangguk, “Iya, Mbak.” 

“Kamu nggak usah tunggu, Mbak. Naik aja dulu nanti aku nyusul, lagi pula atm-nya juga masih mengantri.” Vira meminta Alya untuk naik ke ruang ibunya terlebih dahulu.

“Baik, Mbak. Alya juga harus bertemu dengan dokter Adam dulu. Perawat baru saja mengkonfirmasi jika Alya sudah ditunggu di ruangan dokter ibu,” balas Alya memberitahukan kepada Vira Jika dia ada janji ketemu dengan dokter yang menangani kesehatan sang ibu.

“Oke.”

Setelah mereka berpamitan ke tempat masing-masing, Alya segera menuju ke pintu lift Rumah Sakit tersebut bersamaan dengan pintu yang disetujui terbuka.

Lagi-lagi, dia harus dipertemukan dengan orang yang sejak tadi pagi membuat perasaannya tak baik-baik saja karena tidak mau meminjamkan uang.

Ternyata dia tidak sedang sendiri, karena ada seorang wanita yang sedang bergelayut dengan wajah terlihat bersedih di lengan pria tersebut.

“Aku harus bagaimana, Van, sekarang? Suara pertanyaan wanita itu terdengar jelas di indera pendengaran Alya. 

Alya dapat melihat jika wanita yang sedang bersama dengan anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu sedang tidak baik-baik saja.

“Pak Evan,” sapa Alya, meski tak berniat untuk menyapa dia tetap memaksakan diri untuk menyapa Atasannya itu.

Wajah pria itu terlihat datar, saat bertemu dengan Alya. Dia seolah tak senang saat karyawannya itu dengan begitu berani menyapanya di tempat umum.

“Astagfirullah! Kamu harus sabar, Al. Lagian ngapain juga sih pakai Siapa dia,” gumam Alya pelan, saat sapaannya itu tidak bersambut. 

Segera Alya melangkahkan kaki menuju ke ruang dokter yang sudah menunggunya.

“ Nyeri dada yang terjadi pada ibu Winda disebabkan oleh penyempitan arteri pada jantungnya. Saat penyempitan itu terjadi, maka otot-otot akan kekurangan pasokan darah ke otot jantung. Saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut Jika ada salah satu Arteri koroner yang rusak atau bermasalah. Maka akan akan mempengaruhi ventrikel kiri yang tidak dapat berfungsi dengan baik.” 

Dokter yang menangani Ibu Alya itu menjelaskan sebab ibunya mengalami sesak yang berujung dengan tidak sadarkan diri kemarin.  Bahkan sebelumnya wanita yang sudah melahirkan Alya itu sempat kritis yang sudah mulai membaik.

Alya yang mendengar penjelasan dari sang dokter itu seketika menjadi merasakan sesak dalam dadanya. Menatap sendu kepada sang dokter sebelum akhirnya dia kembali membuka suara.

“Lalu apa yang harus dilakukan, Dokter?” Tanya Alya. 

Dokter Adam menatap datar pada Alya, “ Seperti yang saya bilang sebelumnya. Jika kondisi ibu kamu sudah mulai stabil harus dilakukan operasi bypas jantung segera. Semua demi kebaikan ibumu agar bisa beraktivitas kembali seperti sediakala.”

Alya mengerti, setelah menerima penjelasan dari dokter Ia pun memutuskan untuk pamit dan keluar dari ruang pemeriksaan sang dokter.

“Bagaimana, Al?” Tanya Mbak Vira yang sudah mendapati Alya keluar dari ruang konsultasi Dokter jantung. 

“Harus dioperasi, Mbak. Alya harus gimana?” tanya gadis tersebut dengan tatapan yang begitu putus asa.

Tanpa menjawab Vira membawa teman kerjanya itu ke dalam pelukannya untuk memberikan ketenangan dan menyalurkan kekuatan.

“Kamu yang sabar ya. Besok Coba minta keringanan lagi kepada pihak perusahaan. Insya Allah mbak akan bantu kamu. Mbak juga barusan melakukan panggilan kepada Pak Heru untuk merekomendasikan perusahaan agar bisa memberikan pinjaman untukmu,” kata Vira. 

Alya melepas pelukan yang dilakukan oleh Vira kepadanya. Dia menatap tidak percaya kepada wanita tersebut. 

“Serius, Mbak?” Tanya Alya Tidak percaya yang mendapat anggukan dan senyum dari Vira. 

“Ini, ada sisa uangku. Besok kamu gunakan terlebih dahulu untuk mencicil kebutuhan sekolah Safa.”

Alya yang mendapati sejumlah uang yang diberikan oleh Vira itu semakin dibuat tak percaya. Cairan bening di balik kelopak matanya itu sudah mulai menggenang oleh kebaikan yang dilakukan oleh wanita di hadapannya tersebut.

“Mbak, ini ….” Alya tak mampu lagi hanya untuk sekedar mengurai sebuah kata-kata sebagai ucapan terima kasih kepada Vira.

“Pakai dulu, nanti kalau sudah ada baru ganti.” 

Setelah berbincang sejenak di depan ruang pemeriksaan dokter jantung. Alya dan Vira menuju ke ruang ibunya yang masih ada di ruang intermediet.

Tentu saja, mereka hanya bisa masuk secara bergantian karena memang tidak diizinkan untuk masuk bersama.

Alya memutuskan untuk menginap di Rumah Sakit Bersama Safa, sedangkan Vira kembali pulang ke rumah. 

“Mbak pergi ya, Dek.” 

Pagi sekali, Alya sudah lebih dulu berpamitan karena harus bersiap untuk berangkat ke sekolah Safa dan juga bekerja.

“Mbak hati-hati ya,” kata Safa, adiknya Alya. 

Alya mengangguk, dengan segera ia meninggalkan Safa seorang diri di rumah sakit tersebut.  Banyak urusan pagi ini yang harus Alya selesaikan. Setelah dari sekolah untuk bertemu pembagian administrasi barulah dia berangkat bekerja.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia lebih dulu menuju ke bagian accounting setelah mendapati punggung tegap yang gagah itu sudah berlalu menuju pintu lift.

“Aku tidak boleh menyerah.” 

Alya memberikan semangat pada dirinya sendiri dengan harapan apa yang ia inginkan akan mendapat jalan keluar. 

Dengan meyakinkan diri, meski kemungkinan untuk mendapatkan dana bantuan dari perusahaan sangat kecil. 

Rasa percaya diri dalam diri Alya sangatlah besar, setelah mendapatkan izin masuk dari bagian staf yang ada di di depan ruang kerja Evan Ia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu sang Manager.

Setelah mendapat jawaban dari dalam Alya mendorong pintu tersebut sehingga dapat memudahkan dirinya melihat pria yang sudah duduk di bangku kebesarannya. 

“Selamat pagi, Pak Evan. Maaf, jika saya ganggu waktu Bapak,” sapa Alya, dia berusaha bersikap ramah kepada salah satu pria yang memiliki kekuasaan tinggi di perusahaan tempatnya bekerja ini.

Evan mengalihkan tatapannya, tatapan datar yang semula itu pun berubah menjadi tajam saat tahu jika orang yang datang sama sekali tidak ada hubungannya dalam pekerjaan yang sedang ia tangani.  

“Mau apa lagi kamu ke sini? Pagi-pagi sudah bikin mood ku buruk saja,” kesal Evan pada Alya. 

“Maaf, Pak Evan. Kedatangan saya ke sini masih berhubungan dengan pengajuan pinjaman saya kemarin. Saya mohon sekali sama Bapak, untuk memberikan pinjaman itu pada saya. Semua keputusan dari tahun Bapak, saya sangat berharap akan hal itu,” kata Alya dengan tatapan memelasnya. 

Evan mendengus kesal. Dia mendapatkan tak suka kepada Alya karena harus berapa kali dia bilang jika dia tidak akan merubah keputusan akan kebijakan yang diambilnya.

“Harus berapa kali saya bilang. Kebijakan perusahaan sudah dibuat dan saya tidak akan melanggarnya.” Kalimat pria itu begitu tegas, dan tidak ingin mendapatkan bantahan kembali. 

“Pak …” 

Alya masih berusaha memohon dan tidak ingin menyerah begitu saja. Satu-satunya harapan yang ia punya adalah mendapatkan dana pinjaman dari perusahaan tempatnya bekerja.

“Keluar!” 

“Atau saya panggil–” 

“Saya bisa keluar sendiri, Pak!”

Belum sempat Evan melakukan panggilan pada security yang berjaga. Alya sudah memutuskan untuk keluar sendiri. Dia tidak ingin sampai satpam yang berjaga melihatnya kembali mengemis di ruang ini.

Baru saja Alya hendak membuka pintu ruangan Manager tersebut kalimat Evan sudah menghentikan langkahnya.

“Kamu sangat butuh uang kan?” Tanya pria itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. 

Alya yang mendapati pertanyaan dari sang atasan itu pun segera mendongak dengan tatapan tak percayanya.

“I-iya, Pak. Saya Butuh pinjaman dari perusahaan untuk biaya operasi ibu saya. Saya tidak masalah perusahaan akan memotong 50% dari gaji saya setiap bulannya. Terpenting saat ini adalah saya bisa mendapatkan uang agar ibu saya bisa segera dioperasi.” 

Alya menyampaikan niatnya dengan begitu menggebu. Langkahnya pun sudah mendekat ke arah meja kerja pria tersebut. Secerca harapan ia dapatkan, dengan harapan ia bisa mendapatkan bantuan itu segera. 

Evan terlihat Sedang berpikir,  sebelum akhirnya pria itu membuka suara.

“Saya akan bantu. Tapi dengan syarat,” kata pria itu dengan Tatapan yang begitu sulit diartikan.

“Syarat? Syarat apa?” Tanya Alya bingung. 

Evan diam beberapa saat, dia pun kembali menjawab.

“Jadi budak nafsuku,”

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
what? budak napsu gimana maksudnya? jadi teman tidur gitu? jahat banget sih Evan.
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status