“Woi! Lo bisa nggak naik motor!” Teriak seorang pejalan kaki yang hampir saja tertabrak oleh Alya yang tidak menyadari lampu merah menyala di perempatan jalan yang sedang dilaluinya.
“Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Saya kurang berhati-hati,” ujar Alya yang hampir saja menabrak pejalan kaki yang hendak menyerang jalan yang ia lalui untuk kembali pulang menuju ke rumah sakit.
“Al. Kamu tidak apa-apa kan? Kamu harus hati-hati mengendarai sepeda motor. Kamu pasti sedang ngelamun, makanya hampir saja menabrak orang.”
Alya menoleh, dia mengangguk pelan. Membenarkan kalimat Mbak Vira akan fakta yang terjadi pada dirinya.
“Iya, Mbak. Alya minta maaf,” jawab Alya.
“Apa ganti mbak saja yang bawa motornya?” Tawar Mbak Vira untuk berganti membawa sepeda motornya.
Alya menggeleng, “Tidak perlu Mbak. Alya akan lebih berhati-hati lagi.”
Tanpa mereka sadari, kejadian yang baru saja mereka alami tersebut tak luput dari sepasang mata yang memperhatikan mereka dari dalam mobil mewah yang dikendarainya.
Saat Lampu hijau menyala, Alya pun melajukan sepeda motornya dengan penuh kehati-hatian hingga membawa keduanya selamat menuju ke rumah sakit.
“Al, aku mau ke ATM dulu ya,” kata Vira setiba di lobi rumah sakit. Tak jauh dari tempat mereka akan naik menuju pintu lift ada sebuah mesin atau yang di sana.
Alya menoleh, ke mana arah mata sang teman. Dia pun mengangguk, “Iya, Mbak.”
“Kamu nggak usah tunggu, Mbak. Naik aja dulu nanti aku nyusul, lagi pula atm-nya juga masih mengantri.” Vira meminta Alya untuk naik ke ruang ibunya terlebih dahulu.
“Baik, Mbak. Alya juga harus bertemu dengan dokter Adam dulu. Perawat baru saja mengkonfirmasi jika Alya sudah ditunggu di ruangan dokter ibu,” balas Alya memberitahukan kepada Vira Jika dia ada janji ketemu dengan dokter yang menangani kesehatan sang ibu.
“Oke.”
Setelah mereka berpamitan ke tempat masing-masing, Alya segera menuju ke pintu lift Rumah Sakit tersebut bersamaan dengan pintu yang disetujui terbuka.
Lagi-lagi, dia harus dipertemukan dengan orang yang sejak tadi pagi membuat perasaannya tak baik-baik saja karena tidak mau meminjamkan uang.
Ternyata dia tidak sedang sendiri, karena ada seorang wanita yang sedang bergelayut dengan wajah terlihat bersedih di lengan pria tersebut.
“Aku harus bagaimana, Van, sekarang? Suara pertanyaan wanita itu terdengar jelas di indera pendengaran Alya.
Alya dapat melihat jika wanita yang sedang bersama dengan anak pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu sedang tidak baik-baik saja.
“Pak Evan,” sapa Alya, meski tak berniat untuk menyapa dia tetap memaksakan diri untuk menyapa Atasannya itu.
Wajah pria itu terlihat datar, saat bertemu dengan Alya. Dia seolah tak senang saat karyawannya itu dengan begitu berani menyapanya di tempat umum.
“Astagfirullah! Kamu harus sabar, Al. Lagian ngapain juga sih pakai Siapa dia,” gumam Alya pelan, saat sapaannya itu tidak bersambut.
Segera Alya melangkahkan kaki menuju ke ruang dokter yang sudah menunggunya.
“ Nyeri dada yang terjadi pada ibu Winda disebabkan oleh penyempitan arteri pada jantungnya. Saat penyempitan itu terjadi, maka otot-otot akan kekurangan pasokan darah ke otot jantung. Saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut Jika ada salah satu Arteri koroner yang rusak atau bermasalah. Maka akan akan mempengaruhi ventrikel kiri yang tidak dapat berfungsi dengan baik.”
Dokter yang menangani Ibu Alya itu menjelaskan sebab ibunya mengalami sesak yang berujung dengan tidak sadarkan diri kemarin. Bahkan sebelumnya wanita yang sudah melahirkan Alya itu sempat kritis yang sudah mulai membaik.
Alya yang mendengar penjelasan dari sang dokter itu seketika menjadi merasakan sesak dalam dadanya. Menatap sendu kepada sang dokter sebelum akhirnya dia kembali membuka suara.
“Lalu apa yang harus dilakukan, Dokter?” Tanya Alya.
Dokter Adam menatap datar pada Alya, “ Seperti yang saya bilang sebelumnya. Jika kondisi ibu kamu sudah mulai stabil harus dilakukan operasi bypas jantung segera. Semua demi kebaikan ibumu agar bisa beraktivitas kembali seperti sediakala.”
Alya mengerti, setelah menerima penjelasan dari dokter Ia pun memutuskan untuk pamit dan keluar dari ruang pemeriksaan sang dokter.
“Bagaimana, Al?” Tanya Mbak Vira yang sudah mendapati Alya keluar dari ruang konsultasi Dokter jantung.
“Harus dioperasi, Mbak. Alya harus gimana?” tanya gadis tersebut dengan tatapan yang begitu putus asa.
Tanpa menjawab Vira membawa teman kerjanya itu ke dalam pelukannya untuk memberikan ketenangan dan menyalurkan kekuatan.
“Kamu yang sabar ya. Besok Coba minta keringanan lagi kepada pihak perusahaan. Insya Allah mbak akan bantu kamu. Mbak juga barusan melakukan panggilan kepada Pak Heru untuk merekomendasikan perusahaan agar bisa memberikan pinjaman untukmu,” kata Vira.
Alya melepas pelukan yang dilakukan oleh Vira kepadanya. Dia menatap tidak percaya kepada wanita tersebut.
“Serius, Mbak?” Tanya Alya Tidak percaya yang mendapat anggukan dan senyum dari Vira.
“Ini, ada sisa uangku. Besok kamu gunakan terlebih dahulu untuk mencicil kebutuhan sekolah Safa.”
Alya yang mendapati sejumlah uang yang diberikan oleh Vira itu semakin dibuat tak percaya. Cairan bening di balik kelopak matanya itu sudah mulai menggenang oleh kebaikan yang dilakukan oleh wanita di hadapannya tersebut.
“Mbak, ini ….” Alya tak mampu lagi hanya untuk sekedar mengurai sebuah kata-kata sebagai ucapan terima kasih kepada Vira.
“Pakai dulu, nanti kalau sudah ada baru ganti.”
Setelah berbincang sejenak di depan ruang pemeriksaan dokter jantung. Alya dan Vira menuju ke ruang ibunya yang masih ada di ruang intermediet.
Tentu saja, mereka hanya bisa masuk secara bergantian karena memang tidak diizinkan untuk masuk bersama.
Alya memutuskan untuk menginap di Rumah Sakit Bersama Safa, sedangkan Vira kembali pulang ke rumah.
“Mbak pergi ya, Dek.”
Pagi sekali, Alya sudah lebih dulu berpamitan karena harus bersiap untuk berangkat ke sekolah Safa dan juga bekerja.
“Mbak hati-hati ya,” kata Safa, adiknya Alya.
Alya mengangguk, dengan segera ia meninggalkan Safa seorang diri di rumah sakit tersebut. Banyak urusan pagi ini yang harus Alya selesaikan. Setelah dari sekolah untuk bertemu pembagian administrasi barulah dia berangkat bekerja.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia lebih dulu menuju ke bagian accounting setelah mendapati punggung tegap yang gagah itu sudah berlalu menuju pintu lift.
“Aku tidak boleh menyerah.”
Alya memberikan semangat pada dirinya sendiri dengan harapan apa yang ia inginkan akan mendapat jalan keluar.
Dengan meyakinkan diri, meski kemungkinan untuk mendapatkan dana bantuan dari perusahaan sangat kecil.
Rasa percaya diri dalam diri Alya sangatlah besar, setelah mendapatkan izin masuk dari bagian staf yang ada di di depan ruang kerja Evan Ia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu sang Manager.
Setelah mendapat jawaban dari dalam Alya mendorong pintu tersebut sehingga dapat memudahkan dirinya melihat pria yang sudah duduk di bangku kebesarannya.
“Selamat pagi, Pak Evan. Maaf, jika saya ganggu waktu Bapak,” sapa Alya, dia berusaha bersikap ramah kepada salah satu pria yang memiliki kekuasaan tinggi di perusahaan tempatnya bekerja ini.
Evan mengalihkan tatapannya, tatapan datar yang semula itu pun berubah menjadi tajam saat tahu jika orang yang datang sama sekali tidak ada hubungannya dalam pekerjaan yang sedang ia tangani.
“Mau apa lagi kamu ke sini? Pagi-pagi sudah bikin mood ku buruk saja,” kesal Evan pada Alya.
“Maaf, Pak Evan. Kedatangan saya ke sini masih berhubungan dengan pengajuan pinjaman saya kemarin. Saya mohon sekali sama Bapak, untuk memberikan pinjaman itu pada saya. Semua keputusan dari tahun Bapak, saya sangat berharap akan hal itu,” kata Alya dengan tatapan memelasnya.
Evan mendengus kesal. Dia mendapatkan tak suka kepada Alya karena harus berapa kali dia bilang jika dia tidak akan merubah keputusan akan kebijakan yang diambilnya.
“Harus berapa kali saya bilang. Kebijakan perusahaan sudah dibuat dan saya tidak akan melanggarnya.” Kalimat pria itu begitu tegas, dan tidak ingin mendapatkan bantahan kembali.
“Pak …”
Alya masih berusaha memohon dan tidak ingin menyerah begitu saja. Satu-satunya harapan yang ia punya adalah mendapatkan dana pinjaman dari perusahaan tempatnya bekerja.
“Keluar!”
“Atau saya panggil–”
“Saya bisa keluar sendiri, Pak!”
Belum sempat Evan melakukan panggilan pada security yang berjaga. Alya sudah memutuskan untuk keluar sendiri. Dia tidak ingin sampai satpam yang berjaga melihatnya kembali mengemis di ruang ini.
Baru saja Alya hendak membuka pintu ruangan Manager tersebut kalimat Evan sudah menghentikan langkahnya.
“Kamu sangat butuh uang kan?” Tanya pria itu dengan tatapan yang begitu sulit diartikan.
Alya yang mendapati pertanyaan dari sang atasan itu pun segera mendongak dengan tatapan tak percayanya.
“I-iya, Pak. Saya Butuh pinjaman dari perusahaan untuk biaya operasi ibu saya. Saya tidak masalah perusahaan akan memotong 50% dari gaji saya setiap bulannya. Terpenting saat ini adalah saya bisa mendapatkan uang agar ibu saya bisa segera dioperasi.”
Alya menyampaikan niatnya dengan begitu menggebu. Langkahnya pun sudah mendekat ke arah meja kerja pria tersebut. Secerca harapan ia dapatkan, dengan harapan ia bisa mendapatkan bantuan itu segera.
Evan terlihat Sedang berpikir, sebelum akhirnya pria itu membuka suara.
“Saya akan bantu. Tapi dengan syarat,” kata pria itu dengan Tatapan yang begitu sulit diartikan.
“Syarat? Syarat apa?” Tanya Alya bingung.
Evan diam beberapa saat, dia pun kembali menjawab.
“Jadi budak nafsuku,”
Mendadak detak jantung Aliya berhenti seketika, saat harus mendapatkan penawaran yang semula ia pikir berupa angin segar untuknya itu nyatanya salah. Harapan yang semula ia pikir jika Evan akan berubah pikiran dan akan membantunya dengan sukarela untuk meminjamkan uang perusahaan padanya itu salah. Melainkan yang Alya dapatkan adalah sebuah penawaran gila yang tak akan pernah dia lakukan sebagai seorang wanita yang memegang penuh prinsip untuk selalu menjaga harga diri dan mahkota berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita. Di zaman yang sudah sangat maju, dengan banyaknya kebebasan yang sering dilihatnya di depan mata. Alya semakin tidak ingin mengikuti pergaulan bebas yang terjadi di kehidupan yang ada di sekitarnya. Biarlah, dia dianggap norak dengan tidak pernah memiliki seorang kekasih. Dari pada harus kehilangan mahkota berharga yang selalu menjadi kebanggaan seorang wanita yang dia punya. Tidak mengapa bagi Alya harus miskin harta. Tetapi dia tidak akan miskin h
Langkah kaki Alya yang sudah sangat siap meninggalkan ruang kerja Evan itu kembali terhenti. Kalimat yang baru dia dengar dari Evan berhasil mengusir indera pendengarannya. Dan apa yang dimaksudkan oleh pria itu, tentu berhasil membuat hati Alya sangat tersinggung oleh setiap kalimat yang berhasil menyentil hati nuraninya sebagai seorang anak. Alya membalikkan tubuhnya, menatap datar ke arah pria yang sudah berhasil mengusik perasaannya tentang bakti seorang anak yang baru saja dikatakan oleh pria yang saat ini masih memberikan tatapan sinis ke arahnya. “Apa yang anda bilang? Anda mengingatkanku untuk bakti dengan orang tua,” kata Alya dengan perasaan yang sangat geram. Tetapi gadis itu berusaha menahan diri agar tidak meledakkan emosi yang saat ini tengah dia tahan. Setelah berkata hal demikian pada Evan, pria argina menurutnya itu. Dia pun kembali membuka suara. “Justru karena saya sangat berbakti pada wanita yang sangat berjasa bagi saya itu saya rela melakukan apa pun untu
“Kamu baik-baik saja?” tanya salah satu karyawan pria yang wajahnya cukup familiar bagi Alya. Tapi Alya lupa, siapa pria yang saat ini tengah menyapanya.Alya dengan mata sembabnya itu pun berusaha memberikan senyum terbaiknya pada pria yang ia tahu adalah karyawan pabrik juga sama seperti dengannya. Ya, itu yang Alya bisa pikirkan saat ini. “Saya baik-baik saja,” jawab Alya berusaha ramah, meski hatinya masih merasakan sesak.Pria yang berusia beberapa tahun lebih tua dari Alya itu pun memberikan anggukan pada Alya. Tetapi, dia masih berusaha menelisik sesuatu yang terjadi kepada wanita yang baru keluar dari dalam toilet tersebut.“Bagaimana kabar ibumu, sayadengar beliau masuk ke rumah sakit?” Tanya pria yang bahkan namanya pun Alya tidak mengetahuinya.Tetapi pria yang ada di hadapannya itu bisa tahu, jika ibunya masuk ke rumah sakit.Alya yang mendapati pertanyaan itu pun terdiam, dia berusaha mengingat siapa pria yang ada di hadapannya tersebut. Alya merasa familiar dengan waj
Mata sembab yang terjadi pada ayat Antum menarik perhatian bagi siapa saja yang menatap gadis yang tampak terlihat lesu dalam melangkah menuju ke ruang kerjanya tersebut.Putus sudah harapan yang Alya miliki, entah bagaimana caranya lagi dia harus mendapatkan uang untuk membiayai ibunya lagi. “Kamu kenapa lagi, Al? Apa kamu dari ruang Pak Evan lagi? Apa kamu berusaha membujuk beliau lagi, untuk bisa mendapatkan uang pinjaman?” Pertanyaan beruntun itu pun Vira berikan kepada Alya kembali saat mendapati gadis yang baru tiba di ruang kerjanya itu tampak terlihat lesu dan sembab pada kedua matanya. Dia yang sudah tiba lebih dulu, karena tahu jika Alya semalam menginap di rumah sakit itu sebelumnya berpikir jika rekan kerjanya itu kurang beristirahat saat berjaga. Tetapi setelah diamati olehnya, dia yakin jika mata sembab yang terjadi pada ayah itu bukan karena kurang beristirahat melainkan habis menangis.Alya membalas tatapan sendu dari wanita yang sedang mencecar dirinya pertanyaan b
Memang, bantuan yang Alya dapatkan dari open donasi yang dilakukan oleh anak bagian produksi tidaklah bisa mengcover biaya operasi yang ingin Alya lakukan untuk sang ibu. Tetapi, bagi Alya ketulusan yang dilakukan oleh mereka itu sangat berarti sekali. Dia bahagia dan senang melihat rasa simpati yang ditunjukkan oleh karyawan bagian lapangan atas musibah yang sedang dialaminya saat ini.Perasaan Alya siang ini tidak seperti saat pagi dia menghabiskan waktu dengan menyibukkan diri dengan bergelut dalam pekerjaannya.Perasaannya jauh lebih baik dari sebelumnya, meski pikirannya masih jauh melayang dengan cara yang harus ditempuhnya untuk bisa mencari tambahan biaya yang bahkan barang berharga yang dia punya dijual pun tidak akan mencukupinya.“Al, pulang kerja kamu nanti langsung ke rumah sakit?” Tanya Vira, yang batu masuk ke dalam membawa berkas sketsa yang ada di tangannya.Vira baru keluar dari ruangan Heru, supervisor mereka. Alya yang biasa berkonsultasi seorang diri kepada sang
Alya yang mendapati panggilan tiba-tiba dari Evan itu pun terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka jika pria arogan itu akan memanggilnya. Untuk apa Evan panggil dirinya? Apa pria itu berubah pikiran, menurutnya. Tapi, Alya tidak ingin terlalu berharap. Bahkan hal sebelumnya saat harapan itu di depan mata pun kembali Alya harus menelan kegagalan dan kecewa yang dia dapatkan. Alya menatap ke arah Vira yang saat itu tengah menatapnya pula. Saling bertanya lewat sorot mata, untuk hal apa Evan memanggilnya. “Ada apa ya, Pak?” Tanya Alya dalam rasa penasarannya. Pak Heru yang mendapat pertanyaan dari Alya hanya mampu mengedikkan bahunya. Karena dia pun tidak tahu menahu sebab Evan meminta Alya untuk datang di ruang kerjanya sepulang jam kantornya. “Entah. Aku juga tidak tahu. Datang saja nanti ke ruangannya. Mungkin beliau berubah pikiran, dan mengabulkan permintaan yang sudah kamu ajukan kepada perusahaan, “ kata Pak Heru pada Alya. “Semoga saja ya, Al. Semoga saja yang dibilang P
Alya dan Evan kini berada dalam ruang yang sama satu sama lain. Alya masih bergeming di tempatnya saat Rafi meninggalkan ruang kerja sang atasan. Evan menatap datar ke arah Alya, seolah sedang menilai diri Alya yang saat ini berada dalam ruang kerjanya atas panggilan yang telah ia minta pada Heru, bawahannya. Alya yang mendapati tatapan seperti itu dari Evan itu berusaha menetralisir rasa gugup yang tengah dia rasakan. Bukan Alya tak berani justru dia semakin grogi saat seperti ini dia seperti orang yang sedang dikuliti. Seperti orang yang hendak melakukan interview kerja saja, itu yang terlintas dalam pikiran Alya saat ini. Dan dia pun teringat saat melakukan wawancara kerja untuk pertama kalinya di perusahaan ini. “Selamat sore, Pak. Pak Heru bilang, Bapak panggil saya,” ucap Alya setelah beberapa saat mengurai rasa tak nyaman sebab Evan terus menatap ke arahnya. Alya memulai untuk membuka kata terlebih dulu, setelah beberapa saat tak ada perbincangan yang terjadi saat dir
Alya berjalan dengan sangat lemas, seakan tak bertenaga sama sekali. Mendapati kenyataan jika Evan sudah mengabulkan permintaan yang sebelumnya ia berikan karena dalam keadaan terjepit itu membuat Alya merasa dalam dilema sendiri. Alya sedang berpikir keras tentang dirinya sendiri. Apakah tindakan yang dilakukan olehnya itu sudah benar atau sebuah kesalahan. Tetapi Kini dia tidak bisa melangkah mundur sekalipun.Yang Alya lakukan saat ini hanya bisa menatap ke depan. Menerima segala konsekuensi atas tindakan yang sudah Evan lakukan. Bahkan dia sendiri sama sekali tidak tahu menahu, jika Evan sudah melakukan tindakan terlalu jauh untuk ibunya. Apa memang seperti itu pengaruh seseorang yang memiliki banyak uang? Jika uang sudah bicara, maka apa pun itu menjadi lebih mudah. Alya tidak langsung pulang. Memang, dia ingin sekali tahu segera kondisi ibunya. Alya lebih memilih menuju ke sebuah mushola untuk melaksanakan ibadah ashar yang belum ia tunaikan. Alya ingin menenangkan diri seje