Share

6. Tertangkap Lagi

‘A-Apa aku ketahuan lagi?’ batin Alice, meratapi nasibnya yang begitu sialnya sampai selalu ketahuan.

"Kenapa kalian diam?"

Alice mengeratkan genggamannya pada ujung bajunya yang kebesaran. Hatinya tiba-tiba menciut, tubuhnya begitu kaku untuk sekedar menolehkan kepalanya. Suara di belangnya mampu menghancurkan tulang di tubuhnya.

Pelayan itu tak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya semakin bergetar saat pemilik suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Pelayan wanita itu melepaskan tangannya seketika dingin bagaikan salju menutupi tubuhnya.

“T-Tuan!” ucap pelayan cantik itu dengan panik.

Tubuhnya semakin bergetar dan dia pun langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat ke arah pria di belakang Alice itu.

“M-Maafkan saya, Tuan. S-saya melakukan ini karena sa–" lirihnya dengan bibir bergetar.

Hari ini adalah hari terakhir untuknya, wanita itu siap menerima hukuman apa pun yang akan dia terima dari tuannya, meski nyawanya akan melayang. Meski hal itu berat di lakukan mengingat apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

“Diam.” Ucap pria di belakang Alice, dengan nada tegas dan tajam. “Pergi dan terima hukumanmu nanti.”

Tepat saat itu, dua orang bodyguard pun tiba dan langsung menyeret pergi pelayan wanita tersebut.

Alice yang melihat kejadian itu tentu saja merasa bingung. Dia mulai merasa bahwa kemungkinan besar orang yang berada di belakangnya adalah sang pemilik rumah yang sudah membeli Alice.

‘Bagaimana ini? Aku baru pertama kali melihatnya dan mendengar suaranya sedekat ini,’ batin Alice, gelisah dan takut di saat bersamaan.

“Kamu,” panggil Alaric. “Ini terakhir kalinya aku melihat kamu mencoba kabur dari sini. Jika hal ini terjadi lagi, jangan harap kamu bisa berjalan dengan kedua kakimu itu lagi.”

Keringat dingin membasahi kening dan punggung Alice setelah mendengar ancaman dari Alaric. Hawa dingin dan menegangkan menyelimuti dirinya saat ini.

“Sekarang kamu pun, akan menerima kuhuman atas perbuatanmu. Selama ini aku diam saat mengetahui kamu ingin kabur dari sini. Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu berhasil mematik amarahku, hah?" hardik Alaric.

"M–Maafkan saya tuan, saya," sesal Alice, tubuhnya luruh ke atas rumput yang tumbuh subur di halaman rumah Alaric.

Alaric mencengkram rahang Alice sehingga wajah cantik miliknya mendongak ke atas.

"Kamu pikir bisa kabur dari sini? Aku pikir mudah hah? Siapa yang kamu anggap pahlawan? Dia? Lihat ke sana, bahkan orang yang akan menolong mu untuk kabur tidak mampu untuk menyelamatkan dirinya sendiri." Geram Alaric, melepaskan cengkeramannya secara kasar sehingga wajah Alice menoleh ke kanan.

Isaknya mulai terdengar sebisa mungkin Alaric tak mendengar suaranya sehingga Alice menggigit bibir bawahnya dengan keras. Sehingga menimbulkan darah segar yang keluar dari bibirnya.

Alice enggan rasanya beranjak, namun sebuah tangan yang menyentuhnya. Tangan yang berapa detik lalu mencengkeram rahangnya kini beralih ke pergelangan tangannya dan menarik dirinya, membuat Alice mau tidak mau beranjak dari tempatnya itu.

‘Punggungnya sama seperti pria misterius di malam hari itu,’ batin Alice. ‘Apa memang dia yang selalu memantau 'ku setiap malamnya?’

"Kau ingin kabur lagi?" tanya Alaric, tatapan tajamnya mampu menembus jantung Alice.

"Jawab!" serunya, di barengi dengan pukulan tembok di sampingnya.

"A–aku," ucap Alice terbata. Lidahnya kelu seakan tak ada kekuatan untuk mengatakan jika dirinya benar-benar ingin bebas.

"Aku apa? Kamu ingin bebas? Bisa kamu katakan padaku?"

Alice mengangkat wajahnya tatapannya begitu sendu wajahnya yang cantik jelita, bibirnya yang tipis berwarna merah alami semakin mempercantik dirinya. Namun sayang di balik bibirnya yang indah terdapat darah segar di sana.

Tatapan mata hazel milik Alice bertemu dengan sorot mata elang milik Alaric. Mereka saling tatap berapa detik membuat Alaric menariknya lebih dulu. "Sial, kenapa matanya menarik 'ku semakin dalam. Lalu bibirnya ?" umpat Alaric.

Alice untuk kedua kalinya menatap manik milik Alaric, gumaman pria di depannya yang mengalihkan perhatian Alice. Meksi Alice tak sekali pun benar-benar melihatnya karena mata milik Alaric tertutup oleh topi.

"Kamu tahu akibat dari ulahmu itu? Kamu akan menerima hukuman yang tidak pernah kamu alami sebelumnya. Jangan salahkan aku nanti." Kata Alaric tajam.

Dua bodyguard mendekati Alaric menarik tubuh Alice untuk berdiri namun Alaric menahan dua bodyguard akan menyakiti tubuh Alice.

"Pergilah, urus pelayan itu."

Alaric mendekati Alice wajahnya yang cantik kini berubah pucat pasi. Bibirnya semakin kering meski terlihat luka di sana namun, terlihat begitu menggoda terlebih Alice membuka sedikit bibirnya sehingga mampu membuat Alaric berdecak kesal.

'Kau berhasil menghancurkan dinding pertahanan ini Alice. Jangan sampai aku lupa tujuanku, padamu,' batin Alaric.

"T–tolong maafkan aku," lirih Alice, mengembalikan kesadaran Alaric dari lamunannya.

"Ck, minta maaf setelah percobaan kabur kamu gagal?" geram Alaric.

"Ikut denganku."

"Sekarang kau ikut aku," perintah Alaric, masih dengan nada yang sama saat dia mengancam Alice.

“Duduk.” Ucapnya kasar, mendudukkan Alice di kursi depan dengan kasar.

Alice menurut meski bokongnya terasa sakit, dia pun memperbaiki posisi duduknya dirinya di atas kursi. Tatapannya menatap pada berbagai macam makanan yang sudah terhidang di atas meja itu.

“Makan." Tegas Alaric, dengan tatapan tajam yang mengarah pada Alice.

Alice menundukkan kepalanya. Kedua tangannya masih bergetar dan dirinya juga tidak memiliki nafsu makan jika dikelilingi hawa menegangkan yang berasal dari Alaric itu.

Alaric sendiri mulai memakan steak di atas piringnya itu. Dia memakannya dalam diam lalu setelahnya ditatapnya kembali pada Alice yang belum menyentuh makanannya itu.

Brak!

Tubuh Alice tersentak kaget mendengar gebrakan meja yang cukup keras itu. Dia refleks menatap pada Alaric yang saat ini tengah menatap tajam dan dingin padanya. Namun sayangnya Alice sama sekali tidak bisa melihat wajah dari balik topi yang menutupi sebagian wajahnya itu.

“Aku bilang makan,” geram Alaric, tidak suka perintahnya tidak dituruti oleh Alice.

Tangan Alice sedikit bergetar namun dia berusaha meraih pisau dan garpu di atas meja itu. Dipotongnya daging steak itu dan mulai memasukkannya ke dalam mulutnya.

Alaric masih memantau Alice yang terlihat takut padanya. Lalu dia menelisik tubuh Alice yang kurus sekali dibanding terakhir kali dia melihatnya.

Rasa geram pun memenuhi benak Alaric. Dia meletakkan garpu dan pisau kecilnya kembali dan mengelap mulutnya dengan kain.

“Selagi aku masih berpikir memberikan kamu makanan, maka kamu harus makan. Jika aku mendengar kamu tidak makan lagi, aku tidak segan-segan mengurungmu di tempat yang bahkan kamu tidak bisa bermimpi untuk minum setetes air pun,” ujar Alaric dengan kejamnya.

Kedua tangan Alice terhenti. Dia tidak berani menatap pada Alaric yang tentunya menatap tajam padanya.

“Kamu adalah milikku semenjak aku membeli tubuhmu, bahkan aku belum menyentuh barang yang sudah aku beli. Jadi bersikap manis jika tidak—" lanjut Alaric.

"S–Siapa yang menjual 'ku?" lirih Alice, rasa penasaran kembali menjalar tubuhnya siapa yang tega menjualnya pada pria misterius yang kini menatapnya.

"Kamu pikir siapa yang tega menjual mu? Nona Alice Ayuningtyas Ravindra."

Degh!

Bola mata Alice bergetar mendengar fakta yang baru didengar olehnya itu. Ditolehkan kepalanya ke arah Alaric dan menatapnya dengan tatapan terkejut. Walau tatapan itu tak terlihat oleh Alice dia tahu jika tatapan itu mampu menghunus tepat di jantungnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dina0505
Alaric jangan galak2 awas nanti jatuh cinta sama alice
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status