“Adek, udah dong, jangan nangis lagi!” kata sang bunda. Ia menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin. “Cuci muka dulu yuk!” Anin membantu anaknya bangun. Lalu menemaninya ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya yang luntur karena air mata.
“Adek jangan sedih lagi ya, Mami telepon Kakak dulu,” ucap Tyas menenangkan Andin. Kemudian ia menelpon Aisyah. Sementara Andin di rias ulang setelah mencuci muka.
Inul dengan sigap merias ulang sang pengantin. “Cucok meong, Cin,” kata Inul setelah ia selesai merias Andin.
“Sayang, Kakak lagi di rumah sakit dan Fadil masuk ICU. Mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aamiin,” ucap Mami Tyas setelah ia selesai menelpon Aisyah.
“Kak Fadil belum mati?” tanya Andin. Ia tampak bahagia mendengar kabar Fadil. Tadinya ia pikir, Fadil sudah meninggal saat sang kakak bilang sudah terlambat.
“Sayang, emangnya Fadil hewan!” tegur Mama Dhila.
“Eh iya, Ma, maaf. Meninggal maksud aku,” ucap Andin sambil menyeringai.
“Kamu jangan khawatir lagi sama Kakak ya! Fokus ke pernikahanmu aja!” Dhila membelai lembut pipi keponakannya.
“Iya, Ma,” jawab Andin, lalu beralih menatap sang bunda. “Bun, boleh nggak aku ngomong sebentar sama Om Haidar?” tanya Andin pada bunda Anin.
“Kok, Om sih?” Anin menautkan alisnya. “Panggil Abang atau Mas, jangan Om!” tegur sang bunda.
“Iya, Bun,” jawab Andin tampak memelas.
“Ya udah, bunda panggil dulu ya,” ujar sang bunda. Kemudian Anin, Tyas dan Dhila keluar dari kamar pengantin.
Tidak lama kemudian ada yang mengetuk pintu kamar pengantin.
“Eike anjas yang bukit,” (aku aja yang buka ) kata Inul. Lalu ia bergegas untuk membuka pintu.
“Sheila majid masako!” ( silakan masuk ) ucap Inul menggunakan bahasa banci. Ia mempersilakan Haidar masuk. Lalu keluar dan menutup pintunya.
Haidar menautkan alisnya. Ia tampak bingung dengan ucapan pria setengah mateng itu.
“Bukannya sheila seorang penyanyi, kenapa masak?” ucap Haidar dalam hatinya, “Ah sudahlah,” imbuhnya dalam hati.
Haidar pun berjalan mendekati pengantinnya. Ia terpesona dengan kecantikan gadis cantik yang berbalut gaun pengantin yang seksi saat Andin berbalik dan berhadapan dengannya.
Dengan susah payah Haidar menelan ludahnya. Ia tidak berkedip menatap calon istrinya. “Sempurna,” ucapnya tanpa sadar.
“Kenapa, Om? Terpesona dengan kecantikan calon istrimu ini? Apa Om baru ngelihat cewek cantik dan bahenol kayak aku?” tanya Andin sambil berlenggak-lenggok di depan calon suaminya.
“Cantik, tapi gesrek,” gumam Haidar sambil mencebikkan bibirnya.
“Aku bukan pria murahan yang gampang tergoda dengan wanita murahan sepertimu!” tegas Haidar. Ia menyangkal kalo ia terpesona dengan kecantikan Andin.
Andin langsung menendang tulang kering Haidar. Ia sangat marah mendengar calon suaminya sendiri menyebutnya wanita murahan.
“Aww!” Haidar meringis kesakitan mendapat serangan mendadak dari calon istrinya sambil memegangi kakinya yang ditendang Andin.
“Aku bukan wanita murahan seperti yang kamu bilang! Dasar tua bangka tidak tahu diri! Jomlo ngenes udah tua nggak laku-laku,” cecar Andin. Lalu ia menonjok perut calon suaminya.
Haidar yang masih meringis kesakitan akibat tendangan calon istrinya di tulang kering, tidak bisa menghindar serangan kedua dari calon istrinya.
“Astaga! Belum menikah aja udah KDRT,” ucap Haidar sambil memegangi perutnya. Bukannya ia tidak bisa melawan, tapi Haidar tidak mau melawan seorang wanita, apalagi dia calon istrinya sendiri.
“Makanya, jangan panggil aku wanita murahan lagi! Kalo senjatamu mau selamat!” ancam Andin sambil menunjuk tubuh bagian sensitif calon suaminya.
“Nih, cewek berbahaya, aku harus hati-hati,” ucap Haidar dalam hatinya.
“Baiklah, aku minta maaf,” ucap Haidar sambil memegangi perutnya.
“Ok, aku maafkan,” ucap Andin sambil melipat tangannya di bawah dada. "Awas kalo berani merendahkan aku lagi! Aku nggak segan-segan memotong senjatamu!" imbuhnya sambil menunjukan senjata di balik celana panjang calon suaminya.
Haidar mengedikkan bahu sambil memegangi kemaluannya. “Sekarang bicaralah! Apa yang mau kamu bicarakan?” tanya Haidar yang masih meringis menahan sakit ditulang kering dan perutnya.
Andin menarik tangan Haidar. “Om duduk dan tunggu di sini!” Andin menyuruh Haidar untuk duduk di pinggiran tempat tidur.
Sementara ia berjalan ke meja kerja sang kakak, mengambil kertas dan pulpen dari laci. Ia menuliskan sesuatu di dalamnya. Setelah selesai menulis, Andin kembali menghampiri Haidar.
“Baca!” Andin menyodorkan kertas berisi tulisannya pada Haidar.
Haidar mengambil kertas dari tangan Andin. “Apa ini?” tanya Haidar.
“Lama!” ucap Andin. Ia pun kembali mengambil kertas itu dan membacakannya. “Poin pertama, Om nggak boleh selingkuh. Walaupun kita menikah bukan atas dasar cinta, tapi aku nggak mau berbagi suami,” jelas Andin.
“Ngapain juga selingkuh, kamu aja udah sangat merepotkan,” jawab Haidar sambil melirik Andin dengan sinis.
“Kedua. Aku mau melanjutkan kuliahku dan Om nggak boleh melarang,” ucap Andin. Ia menatap lekat Haidar. “Kalo dilihatin, ternyata si tua bangka itu ganteng banget, tapi sayang, angkuh pisan,” ucapnya dalam hati.
“Terserah kamu!” jawab Haidar. Ia tampak malas menanggapi ucapan Andin.
“Bagus,” sahut Andin sambil tersenyum. “Yang ke tiga. Jangan menyentuh aku secara paksa! Kalo Om mau membuka segelku harus izin aku dulu,” lanjutnya.
“Nggak nafsu!” jawab Haidar tegas. “Lagi pula, aku akan menceraikanmu kalo aku sudah mendapatkan harta warisan Papi. Kamu tenang aja! Aku nggak akan buka segel kamu,” tambahnya.
“Sombong amat nih laki!” ucap Andin dalam hati. “Jangan panggil aku Andin kalo nggak bisa menaklukan Herder kayak kamu,” lanjutnya dalam hati sambil tersenyum licik.
“Yakin nggak nafsu?” Andin mendekati Haidar. Lalu duduk di pangkuannya. Tangannya ia lingkarkan di leher sang calon suami sehingga tubuh bagian sampingnya terlihat karena bajunya sangat terbuka. Bagian bawah ketiaknya terbuka sampai pinggul.
“Jangan kayak gini! Kita belum sah, Dosa.” Haidar menutup matanya dengan telapak tangan. Susah payah ia menelan air liurnya saat melihat tubuh sang calon istri yang bahenol.
“Astaga!” Andin langsung bangun dari pangkuan Haidar. "Bego banget sih lo, Din." Andin merutuki kebodohannya sendiri.
Suara ketukan pintu membuat mereka jadi salah tingkah.
Haidar bangun dan merapikan jasnya. Ia bergegas membuka pintu kamar. Tapi, sebelum ia memutar kenop pintu, Haidar berbalik dan menatap Andin. “Kamu jangan keluar kamar, sebelum ijab qobul selesai!” ucapnya sedikit mengancam.
“Iya,” jawab Andin dengan malas.
“Nak, ijab qobul akan segera di mulai,” ucap Anin pada calon menantunya saat pintu kamar terbuka.
“Iya, Tante,” jawab Haidar sopan.
“Panggil Bunda! Sebentar lagi kamu ‘kan jadi menantu saya,” ujar Anin pada calon menantunya.
“Iya, Bun,” jawab Haidar sambil tersenyum. “Saya permisi dulu,” lanjutnya. Haidar pun pergi meninggalkan sang mertua yang masih berdiri di depan pintu kamar pengantin.
“Anak yang sopan,” ucap Anin sembari tersenyum.
Haidar duduk di depan penghulu dan calon mertuanya. Ia tampak tenang, tidak sedikit pun ketegangan tergurat di wajahnya. Walapun ia masih terbayang tubuh bahenol calon istrinya, tapi ia menepis semua itu dari bayangannya.Tujuan utama ia menikah adalah untuk memenuhi syarat agar harta warisan sang papi segera jatuh ke tangannya. Ia berjanji tidak akan jatuh cinta pada sang istri nantinya.“Astaga … kenapa gua setegang ini?” ucap Rey dalam hati. Keringat menetes dari pelipisnya.“Kamu kenapa tegang banget, Rey?” bisik Mahendra pada adik iparnya.“Siapa yang tegang,” sangkal Rey. Ia malu mengakuinya.“Lihat calon menantumu! Dia begitu tenang.” Mahendra membandingkan adik iparnya dengan calon menantu untuk meledek Rey.Rey tidak mendengarkan lagi ucapan kakak iparnya. Setelah Pak penghulu selesai membacakan doa, acara ijab kabul segera dimulai.Rey mengulurkan ta
“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran. “Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri. “Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar berondong alot,” balas Andin. Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu. Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon. Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya. “Ema
Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepat
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap
“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sa