"Nenek!” teriak Andin. Ia mendekati sang nenek karena takut terjadi apa-apa dengan neneknya.
Semua orang mendekati Nenek Marisa. Mereka takut sang nenek terkena serangan jantung.
Nenek Marisa menghirup udara dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara perlahan. “Nenek nggak apa-apa, Sayang,” ucap sang nenek sambil menangkup wajah cantik cucunya.
“Mama beneran nggak kenapa-kenapa?” tanya Anin pada mamanya. Ia begitu khawatir dengan keadaan sang mama yang sudah tidak muda lagi.
“Kamu maunya Mama kenapa-kenapa?” tanya Nenek Marisa pada sang anak sambil mendelikkan matanya.
“Ish, Mama baperan banget deh,” ujar Anin pada sang mama. "Maksudku bukan itu, Ma."
“Mama nggak apa-apa. Mama cuma terlalu bahagia, akhirnya Andin menikah. Mudah-mudahan dengan menikah dia nggak berhubungan lagi dengan si berandal itu,” harap Nenek Marisa pada Andin cucunya.
“Kenapa sih semua orang nggak ada yang suka sama Roy?” Andin mengerucutkan bibir. Ia kesal dengan keluarganya yang hanya menilai Roy dari penampilannya saja.
“Karena dia bukan laki-laki yang baik,” jawab sang nenek. “Inget Andin, setelah menikah, kamu jangan pernah berhubungan lagi dengan pemuda berandal itu. Dosa, dan neraka ganjarannya jika menghiananti suamimu,” ujar sang nenek.
“Iya, Nek. Tapi, bolehkan aku bertemu dengan Roy untuk terakhir kalinya? Aku mau memutuskan dia,” ujar Andin.
“Boleh, kalo Haidar yang nemenin kamu buat nemuin itu cowok,” sahut Rey pada putrinya.
“Ada apa sebenarnya? Kenapa kalian nggak bilang sama Papa? Apa kalian udah nggak anggap Papa sebagai orang tua kalian lagi?” cecar Papa Herman pada anak-anaknya.
“Bukan gitu, Pa. Kita cuma nggak mau membebani Papa dan Mama. Rencananya kami mau kasih tahu Mama dan Papa kalo mereka udah siap.” Rizky mencoba menjelaskannya pada sang papa mertua.
“Apa Mami dan Papi kamu udah dikasih tahu?” tanya Papa Herman pada Rey.
“Belum, Pa,” jawab Rey pelan. Bukannya lupa, tapi ia lebih fokus dulu kepermasalahannya. Ia tidak mau membebani orang tua mereka yang sudah tidak muda lagi dengan permasalahan yang akan mempermalukan keluargnya jika ia tidak cepat bertindak.
“Panggil Mami dan Papi kamu!” titah papa Herman pada sang menantu.
“Iya, Pa,” jawab Rey. Ia pun langsung bergegas memanggil kedua orang tuanya.
Setelah sekian menit, Rey masuk beserta orang tuanya.
“Kenapa semua ada di sini?” tanya Oma Riyanti. Ia heran kenapa semua orang berkumpul di kamar pengantin.
Andin menghampiri omanya. Ia terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang simple, tapi terlihat mewah. “Oma, aku cantik nggak?” tanya Andin pada sang oma.
“Adek! Kenapa kamu yang memakai baju pengantin?” tanya Oma Riyanti pada sang cucu.
“Mi, Andin yang akan menikah dengan Haidar,” ujar Rey. Ia menjelaskan pada Mami dan papinya kenapa tidak minta pendapat dulu kepada mereka.
“Aisyah mana?” tanya Oma Riyanti. Ia celingukan mencari Aisyah.
“Kak Aisyah pergi karena Kak Fadil mau bunuh diri,” jelas Andin singkat, “Nanti aku ceritain deh,” imbuhnya.
“Terus, Adek yang gantiin Aisyah untuk jadi pengantin Haidar?” tanya sang oma. Ia diam sejenak mencerna ucapan anak dan cucunya.
“Iya, Oma,” jawab Andin, “Doain Adek ya!” mohon Andin pada sang oma.
Semua orang hanya diam dan menyimak obrolan antara Andin dan omanya.
Oma Riyanti memeluk sang cucu. “Oma seneng banget, kamu mau nikah,” ujar sang oma pada cucunya. Ayo kita keluar! Pak penghulu udah datang.” Oma Riyanti melepaskan pelukannya.
“Jadilah istri yang baik, Sayang! Contoh bundamu!” ucap Opa Bagus. Lalu memeluk cucunya.
“Iya, Opa,” jawab Andin.
Semua orang menjadi tersenyum lega setelah Oma Riyanti dan Opa Bagus juga merestui Andin.
Semua orang keluar satu persatu dari kamar pengantin. Hanya ada Anin, Tyas, Dhila dan Inul yang tidak keluar dari kamar pengantin untuk menemani Andin. Sang pengantin baru akan keluar setelah proses ijab qobul selesai.
“Sayang, terima kasih, udah nyelametin kehormatan keluarga ini,” ucap Mama Dhila sambil mencium kening Andin. “Maafin kakakmu juga ya, gara-gara dia, adek jadi terjebak dalam pernikahan ini,” imbuhnya sambil menyeka air matanya.
“Kakak!” pekiknya. Ia langsung mencari ponselnya untuk menghubungi sang kakak.
Ketiga ibunya bingung melihat Andin panik saat mendengar mamanya berbicara tentang kakaknya.
Andin langsung menelpon sang kakak saat ia sudah menemukan ponselnya.
“Halo, Kak,” sapa Andin saat telepon mereka terhubung.
“Dek, gimana kabarnya di rumah? Pasti Papa kecewa sama Kakak karena udah kabur di hari pernikahan,” ucap sang kakak sambil terisak.
“Di sini baik-baik aja kok. Aku yang menggantikan Kakak untuk jadi pengantin Haidar,” ujar Andin berusaha tegar saat berbicara dengan kakaknya.
“Apa!” Aisyah terperanjat saat mendengar ungkapan sang adik. “Maafin Kakak ya, Dek! Semua ini gara-gara kakak,” ucap Aisyah tampak menyesal.
“Adek nggak apa-apa kok. Semua orang bahagia melihat adek menikah,” jawab Andin berusaha seceria mungkin. Walau dalam hatinya ia masih begitu ragu dengan keputusannya.
“Syukurlah,” ucap Aisyah begitu lega, tapi walau begitu ia tetap merasa bersalah dengan adiknya.
“Kakak di mana sekarang? Kak Fadil baik-baik aja ‘kan?” tanya Andin pada sang kakak.
Aisyah tidak langsung menjawab pertanyaan Andin. Ia menyesal atas semua kejadian hari ini.
Aisyah menyesal karena ia kabur di hari pernnikahannya membuat sang adik harus menanggung beban kesalahannya. Dan karea ia juga tidak mendengarkan saran sang adik untuk diantar Roy ke rumah kakaknya membuat ia terlambat untuk datang ke rumah Fadil.
“Kak,” panggil Andin, pelan. Ia menunggu jawaban dari sang kakak.
“Kakak terlambat,” ucapnya pelan.
“Maksud Kakak apa? Kakak di mana sekarag?” tanya Andin. Ia bingung dengan jawaban sang kakak.
“Mas Fadil … Kakak telat datang ke rumahnya,” jawab Aisyah. Lalu terdengar isakan tangis yang pilu dari balik telepon.
“Kakak!” Andin menjatuhkan teleponnya. Ia duduk bersimbuh, menangis sejadi-jadinya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membantu sang kakak.
Anin, Tyas dan Dhila mendekati Andin. “Sayang, Kakak kenapa?” Anin memeluk anaknya yang menangis tersedu-sedu.
“Adek, bilang sama Mama, Kakak kenapa!” tanya Dhila pada Andin. Ia penasaran dengan kabar anaknya, Aisyah.
Andin masih saja menangis. Ia tidak menjawab pertanyaan bunda dan mamanya.
“Kenapose sih, Cin?” Inul juga tampak panik melihat Andin menangis. Make up-nya luntur semua.
Tyas membawakan segelas air putih untuk Andin. “Sayang, kamu minum dulu ya!” Tyas membantu Andin untuk minum supaya ia sedikit lebih tenang.
“Sekarang kamu cerita! Kakak kenapa?” tanya Tyas sambil menyeka air mata keponakannya.
Andin menghirup napas dalam-dalam. Lalu mengembuskannya perlahan. “Kak Fadil bunuh diri,” ucapnya sambil terisak.
“Apa?!” Anin, Tyas dan Dhila syok mendengar Fadil bunuh diri.
***
Salam kenal semuanya, novel ini merupakan sekuel dari novel My Absurd Wife. Follow Instagramku nyi.ratu_gesrek.
“Adek, udah dong, jangan nangis lagi!” kata sang bunda. Ia menyeka air mata yang menggenang di pelupuk mata Andin. “Cuci muka dulu yuk!” Anin membantu anaknya bangun. Lalu menemaninya ke kamar mandi untuk membersihkan riasannya yang luntur karena air mata. “Adek jangan sedih lagi ya, Mami telepon Kakak dulu,” ucap Tyas menenangkan Andin. Kemudian ia menelpon Aisyah. Sementara Andin di rias ulang setelah mencuci muka. Inul dengan sigap merias ulang sang pengantin. “Cucok meong, Cin,” kata Inul setelah ia selesai merias Andin. “Sayang, Kakak lagi di rumah sakit dan Fadil masuk ICU. Mudah-mudahan ia bisa melewati masa kritisnya, aamiin,” ucap Mami Tyas setelah ia selesai menelpon Aisyah. “Kak Fadil belum mati?” tanya Andin. Ia tampak bahagia mendengar kabar Fadil. Tadinya ia pikir, Fadil sudah meninggal saat sang kakak bilang sudah terlambat. “Sayang, emangnya Fadil hewan!
Haidar duduk di depan penghulu dan calon mertuanya. Ia tampak tenang, tidak sedikit pun ketegangan tergurat di wajahnya. Walapun ia masih terbayang tubuh bahenol calon istrinya, tapi ia menepis semua itu dari bayangannya.Tujuan utama ia menikah adalah untuk memenuhi syarat agar harta warisan sang papi segera jatuh ke tangannya. Ia berjanji tidak akan jatuh cinta pada sang istri nantinya.“Astaga … kenapa gua setegang ini?” ucap Rey dalam hati. Keringat menetes dari pelipisnya.“Kamu kenapa tegang banget, Rey?” bisik Mahendra pada adik iparnya.“Siapa yang tegang,” sangkal Rey. Ia malu mengakuinya.“Lihat calon menantumu! Dia begitu tenang.” Mahendra membandingkan adik iparnya dengan calon menantu untuk meledek Rey.Rey tidak mendengarkan lagi ucapan kakak iparnya. Setelah Pak penghulu selesai membacakan doa, acara ijab kabul segera dimulai.Rey mengulurkan ta
“Tapi, apa, Om?” tanya Andin penasaran. “Kita berdua nggak saling mencintai, tapi jangan pernah merendahkan martabat masing-masing, selama kita masih berstatus suami istri,” tegas Haidar sambil menyentil kening sang istri. “Astaga! Lama-lama benjol jidat gue,” keluh Andin. Ia marah, lalu duduk membelakangi suaminya. Haidar menahan tawanya melihat sang istri marah. “Dasar anak kecil,” gumam Haidar sambil menggelengkan kepalanya. “Dasar berondong alot,” balas Andin. Mereka berdua duduk saling membelakangi seperti anak kecil yang sedang bertengkar. Sisil pergi mengambil makanan untuk sahabatnya. Ia yakin kalo Andin belum makan semenjak turun dari kamarnya. Karena semua keluarganya sedang sibuk dengan para tamu. Sisil menghampiri Aldin yang sedang mengbil kue. “Jangan makan kue itu!” cegah Sisil. Ia melarang Aldin memakan kue klepon. Aldin tidak jadi memakan kue klepon yang sudah berada di depan mulutnya. “Ema
Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepat
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap