Dara terbangun saat merasakan sesuatu melingkar di pinggang. Mata cantik itu mengerjap beberapa kali dan terkejut saat mendapati Ciara tertidur disampingnya.
Kapan putrinya ini masuk ke kamar mereka? Mungkin tadi malam dia terlalu lelah sehingga tak menyadari saat si mungil itu masuk.
Tapi, tunggu dulu! Tiba-tiba Dara menyadari sesuatu hal. Ada satu lengan lagi dengan posisi yang sama sedang memeluknya. Saat dia menoleh ke belakang, tampaklah wajah Dewa sedang terlelap.
Dia menutup mulut, lalu pelan-pelan menggeser tangan besar itu. Bukannya melepaskan, Dewa malah semakin erat merengkuh istrinya. Kini posisi Dara terjebak di tengah dan tak bisa bergerak.
"Mas." Akhirnya dia menepuk lengan suaminya karena sudah tak tahan ingin ke kamar mandi.
"Apa, sih? Masih ngantuk juga," racau Dewa setengah sadar dengan mata yang masih enggan terbuka.
"Lepas!" Pinta Dara.
"Enak gini aja." Rengkuhan laki-laki itu semakin erat. Dia bahkan membenamkan wajah ke tubuh istrinya.
Ups!
Dara menggerutu dalam hati. Akhirnya dengan sedikit kasar dia menyetak lengan itu dan langsung turun dari tempat tidur dengan setengah berlari menuju kamar mandi.
Setelah membersihkan diri, Dara mengambil mukena dan menunaikan dua rakaat yang terlambat, karena hari sebentar lagi akan terang.
"Mas, bangun. Gak subuhan?" tanya Dara.
"Ntar aja." Dewa menggeliat lalu kembali memejamkan mata. Dia bahkan mengambil guling dan memeluknya erat.
"Astagfirullah." Wanita itu mengucap istigfar dalam hati, tak habis pikir dengan kelakuan suaminya.
"Mas udah mau siang. Subuhan dulu," ulangnya sambil mengguncang tubuh itu.
Dewa membuka mata dan tersenyum saat melihat sosok ayu dalam balutan mukena. Rasanya seperti mimpi kalau ada bidadari sedang berdiri di hadapannya.
Lelaki itu segera bangun dan mengambil wudhu, saat menyadari bahwa istrinya sedang menatap dengan garang.
Dara yang sudah selesai melipat mukena, langsung menuju dapur dan membuat sarapan. Entah apa menu yang disukai oleh penghuni rumah ini dia belum tahu. Apa saja kebiasaan setiap harinya juga masih meraba-raba. Semoga saja dia bisa cepat beradaptasi.
Tangan mungilnya sibuk mencari sesuatu di dalam lemari es. Masih ada box berisi bekal makanan dari ibu, tapi mungkin itu untuk makan siang saja.
Dia mencari lagi. Ternyata ada banyak makanan instan siap saji. Dalam hati Dara bergumam, kasihan Ciara jika diberi makanan seperti ini terus.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya dia memilih untuk membuat nasi goreng dengan telur dan sosis sebagai isian. Lalu menghangatkan ayam kecap dari box hingga kering sebagai lauknya.
Tidak ada sayur, jadi nanti kalau si bibik datang dia akan pergi ke pasar dan bebelanja bahan segar.
"Harumnya. Lama masak apa?" Ciara muncul bergandengan tangan dengan papanya.
Dara menoleh dan tersenyum lalu menarik kursi untuk putrinya.
"Coba lihat." Dia meletakkan semangkuk besar nasi goreng dan ayam.
Mata gadis kecil berbinar melihat sajian di meja. Dara mengambilkan bagian untuk Ciara, juga untuk Dewa.
Pada saat meletakkan piring di depan suaminya, tangan mereka bersentuhan. Sepertinya Dewa sengaja melakukan itu. Terbukti saat Dara hendak menarik tangan, jemarinya malah digenggam erat.
Dewa menatapnya dengan lekat, berharap wanita itu membalas namun harapannya sia-sia. Dara tetap cuek dan kembali menyendok nasi.
"Mama papa kok pegangan tangan?" tanya anak itu dengan polos.
"Biar romantis," jawab Dewa asal yang sukses membuat rona di wajah Dara memerah karena malu.
Setelah mengambil bagiannya sendiri, mereka makan dalam diam. Ciara yang memimpin doa kali ini. Suaranya lantang dan fasih saat mengucapkannya.
"Jangan dicuci piringnya. Sebentar lagi bibik datang buat bersih-bersih," cegah Dewa saat melihat istrinya hendak menyalakan keran air.
Mereka sudah selesai makan dan Ciara memilih untuk menonton film kartun kesukan, Barbie.
"Terus aku ngapain?"
"Ya istirahat aja. Temani Ciara main. Atau temani papanya juga boleh," ucap Dewa menggoda.
Dara mengabaikan ucapan itu lalu membersihkan tangan dan menuju ruang keluarga.
Dia ikut menonton bersama dan sesekali mengangapi saat Ciara bercerita mengenai kisah putri yang bertemu dengan pangeran.
Dewa mengekori istrinya, lalu duduk di sebelah Dara. Laki-laki itu dengan cueknya malah melingkarkan lengan di bahu istrinya.
"Bagus ya filmnya?"
"Iya, Pa. Itu mereka pegangan tangan. Kayak mama sama papa tadi," tunjuk Ciara.
"Kalau cinta memang begitu," jawab Dewa santai.
Dara membuang wajah ke samping saat mendengar ucapan suaminya. Sepertinya lelaki ini sengaja berulah di depan putrinya sekaligus memanfaatkan kesempatan.
"Papa cinta kan sama mama?"
"Iya, cinta," kerlingnya.
"Kalau sama mama Laura? Cinta gak?"
Lelaki itu tersentak. Mengapa Ciara menanyakan hal itu disaat seperti ini. Dewa menjadi tak enak hati. Namanya juga anak-anak, apa yang mereka rasakan itu yang diucapkan.
"Cin-ta juga."
"Gak boleh cinta dua-duanya, Pa. Kan pangeran cuma sama satu putri. Jadi papa cinta sama Mama Dara aja."
Mereka berdua saling berpandangan kemudian tergelak. Dara menutup mulut, sementara Dewa mengusap wajah berkali-kali.
"Iya. Papa cuma cinta sama Mama Dara."
Lelaki itu mengerling lagi. Sementara itu, Dara berpura-pura tidak tahu sambil terus menatap layar televisi. Padahal dalam hati berdebar tak karuan.
Mereka asyik menonton saat terdengar bel pintu berbunyi. Dara melepaskan tangan Dewa kemudian berjalan ke depan membuka pintu.
"Nyonya," sapa seorang wanita paruh baya yang kemudian langsung masuk ke dalam.
"Bibiiikkk!" Ciara berlari dari dalam dan memeluk si bibik.
Melihat itu hati Dara terenyuh. Sungguh kasihan sekali anak ini. Di usia yang masih kecil harus kehilangan sosok ibu. Lalu terobati dengan hadirnya Laura yang kemudian harus berpulang untuk selamanya.
Boleh dibilang, Laura yang selama ini menjadi sosok mama Ciara, karena dia tumbuh di bawah pengasuhan adiknya. Mengapa mereka berpacaran cukup lama? Itu karena adiknya tak mau melangkahi. Ketika Dewa mendesak, akhirnya Laura bersedia.
"Apakah aku sanggup menjadi ibu yang baik dari anak yang bukan darah daging sendiri?" Dara bergumam dalam hati.
Jika dibanding dengan Laura, tentu saja dia masih kalah jauh. Sekalipun dia seorang guru, mendidik murid tentulah berbeda dengan mendidik anak.
"Mama kok melamun? Ayo masuk. Temani Cia nonton lagi. Bibik katanya mau bikinkan kue. Ya kan, Bik?" tanya Ciara.
"Iya. Nanti kalau kue udah jadi, bibik antar sama teh hangat. Gimana?" tawar wanita paruh baya itu.
Anak itu mengangguk senang lalu menarik tangan Dara kembali ke dalam.
Mereka kembali menonton untuk beberapa saat dan itu membuat Dara menjadi bosan. Namun dia menyadari satu hal, bahwa dia sudah terikat dengan keluarga ini. Entah dalam jangka waktu yang lama atau hanya sementara.
"Mau kemana?" tanya Dewa saat melihat istrinya sudah berganti pakaian."Mau ke pasar. Beli sayur. Di kulkas cuma ada lauk," jawab Dara."Mas anter, ya.""Gak usah. Aku sama bibik. Cia juga mau ikut.""Cia gak usah pergi. Kan baru sembuh. Kamu sama bibik aja berdua," cegah Dewa."Kasian, Mas. Lagian aku cuma bentar. Dapat yang dicari langsung pulang," pinta Dara.Tak tega dia melihat anak itu saat memohon tadi. Dara juga sebenarnya sudah menolak halus, tapi Ciara merajuk dan menekuk bibir. Akhirnya dia luluh dan mengizinkan."Jadi mas sendirian di rumah?""Kami sebentar aja, kok. Itu di kulkas isinya makanan instan semua. Masa Cia makannya nugget sama sosis terus. Kurang bagus untuk pertumbuhan," jelasnya.Makanan siap saji memang disukai anak-anak dan praktis. Namun, jika dikonsumsi terlalu berlebihan tidak bagus juga buat kesehatan."Siap Bu Guru.""Kalau gitu aku jalan dulu," pamitnya."Kalian naik apa?"
Sudah satu minggu mereka menikah, dan selama itu juga Dara berada di kamar Ciara. Alasan Dara tetap sama, kasihan putrinya jika tidur sendirian sekalipun sudah sembuh.Itu membuat Dewa diam-diam menyimpan rasa kesal. Putrinya juga sama, lebih senang ditemani oleh Dara dari pada dirinya.Sudah satu minggu ini juga Dara mempelajari kebiasaan keluarga ini. Dari Dewa yang suka menyimpan handuk basah di kasur, meletakkan tas kerja atau ponsel di sembarang tempat, juga menarik baju sembarangan dari lemari.Ah, rasanya semua laki-laki memang begitu.Satu lagi, Ciara terlalu dituruti semua keinginannya sehingga anak itu sangat manja. Apa pun yang ingin dia minta untuk jajan, maka Dewa akan langsung membelikan, tak peduli itu baik untuk kesehatan atau tidak.Alhasil, hari ini anak itu mengeluh sakit gigi."Tadi beli apa waktu jalan sama papa?"Ciara memandang Dara deng
Sepanjang perjalanan menuju dokter gigi semua terdiam. Dara memilih duduk di kursi belakang, sementara Ciara duduk di depan bersama Dewa.Anak itu tidak mau dipangku. Katanya dia sudah besar, walaupun sikapnya masih manja sekali.Berkali-kali Dewa melirik istrinya melalui kaca spion dan mendapati Dara sedang melamun dengan pandangan menatap keluar.Tadi saat di mencuri ciuman, wanita itu terdiam sesaat, kemudian mendorong tubuhnya pelan. Lalu Dara keluar kamar begitu saja tanpa berucap sepatah katapun. Itu membuatnya bertanya-tanya dalam hati.Apa istrinya marah atau bagaimana? Wajah Dara tanpa ekspresi sama sekali. Dia juga hanya menyentuh sedikit dan belum punya nyali untuk melanjutkan.Dewa mengusap bibir dengan jari saat teringat akan kejadian tadi. Senyumnya melengkung indah sejak awal berangkat hingga sekarang.Tiba di tempat praktek, dia sibuk mencari tempat
Dara mundur ke belakang saat Dewa semakin mendekat. Posisinya terpojok di dinding dan tak bisa bergerak ke arah manapun."Mas udah janji!" teriak Dara."Iya benar. Tapi apa salahnya? Kita udah halal."Wanita itu menggeleng. Dengan bibir gemetaran dia berucap, "Kita udah sepakat. Apa mas mau memanfaatkan aku?"Dewa terdiam lalu tersenyum pahit. Mereka berdiri berhadapan dan saling menatap."Aku udah ngorbanin diri demi kebahagiaan Cia. Kenapa mas menuntut sesuatu yang udah kita bicarakan sejak awal. Kalau tau jadinya begini, lebih baik gak usah!" ucapnya lagi.Dewa tersentak. Ucapan Dara tadi benar-benar menohok hatinya. Dia tak membalas apa pun. Wanita jika sedang marah memang lebih baik didiamkan hingga reda dengan sendirinya."Mulai sekarang aku pindah ke kamar Cia."Dara mengambil buku-buku yang berserakan di lantai dan memasukkannya ke dalam tas
Gadis kecil itu menunggu dengan gelisah tapi mamanya belum datang."Cia belum dijemput?" tanya salah seorang guru saat melihat salah satu muridnya itu masih berada di kelas. Dia masih memeriksa pekerjaan rumah sehingga belum pulang."Mama belum datang.""Katanya tadi gimana?""Tunggu sampai mama datang.""Kalau gitu kita tunggu. Ibu temani."Ciara membuka kotak bekal yang tadi disiapkan bibik. Sebagian sudah habis, yang tersisa hanya sandwich isi ayam."Ibu mau?""Gak usah. Kamu makan aja."Ciara langsung melahapnya dan meminum air putih. Dia jarang jajan di kantin, hanya sesekali. Itu sudah dibiasakan sejak pertama kali masuk sekolah saat masih ada Laura."Maaf mama telat, ya." Dara tergesa-gesa masuk ke kelas, karena sempat tersasar ruangan."Ayok pulang, Ma. Katanya mau ke rumah nenek
Dewa berjalan mendekati istrinya yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu."Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu Dara dengan lembut."U-dah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup."Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi.Sebenarnya dia tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Bagi Dewa, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya."Traktir Riri makan siang, sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gugup. Tangannya gemetaran sejak tadi.Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang."Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah dan mereka sudah tak berjarak."Sahabat aku di sekolah."
"Kak. Jaga Dewa untukku."Dara terbangun saat merasakan ada tepukan di pipi. Matanya mengerjap berkali-kali dan melihat sosok Riri sedang menatapnya."Kamu demam, Ra. Ayo aku antar pulang. Sekolah udah sepi.""Memangnya ini jam berapa?""Jam 4.""Astagfirullah. Aku gak ikut pertemuan jadinya.""Tadi udah dibilangin kamu lagi sakit. Jadinya gak apa-apa.""Syukurlah.""Kamu abis ngapain sampai sakit gini? Di rumah disuruh nguras bak mandi?" tanya Riri. Dia membantu Dara duduk karena sahabatnya itu terlihat lemas sekali."Kecapean kali ini. Soalnya Cia sama Mas Dewa sempat sakit. Jadinya aku ngurusin mereka berdua," elak Dara. Tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya kepada Riri."Kamu izin aja kalau emang gak sanggup kerja. Daripada drop begini."Dara mencoba berdiri. "Aduh." Wanita itu meras
Bunyi muntahan terdengar dari kamar mandi. Dewa yang terlelap langsung membuka mata dan duduk bersandar di head board ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.Dia berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Dara sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras.Refleks dia membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Dara sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur."Kamu kenapa?""Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual banget," jawab wanita itu sambil memijat dahi yang berdenyut sejak tadi."Cuci muka dulu biar seger. Aku bikinkan teh hangat," kata Dewa mengambilkan handuk kecil untuk istrinya.Dara mengambil handuk itu dan membasuh mukanya. Rasa