"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi.
"Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi"Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi.""Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusahakan untuk secepatnya meminang perempuan itu untuk anak laki-lakinya ini.Zayyan menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menatap kedua orang tuanya yang sepertinya sedang menunggu jawabannya. Sungguh, Zayyan saat ini bukan hanya pusing menghadapi apa yang tengah terjadi, tetapi juga dilema."Bagaimana, Zayyan? Kamu punya calon istri sendiri, atau memilih menikah dengan Siska, sekretaris Papa?" Rafi yang tidak sabar menunggu jawaban Zayyan, kembali bertanya."Sabar dulu dong, Pa, beri waktu Zayyan untuk berpikir," tegur Anita. Ia kesal dengan sikap suaminya yang ingin buru-buru."Baiklah kalau kamu butuh waktu untuk berpikir, Zayyan. Tapi, papa minta, besok pagi kamu harus sudah punya jawabannya. Pilihan kamu hanya ada dua, menikah dengan Siska, atau dengan perempuan pilihan kamu sendiri." Setelah mengatakan itu, Rafi bangkit dari duduknya, bersiap pergi ke ruang kerjanya."Saya tidak mau menikah dengan Siska, Pa," ucap Zayyan sebelum sang ayah melangkah lebih jauh.Rafi berhenti, kemudian membalikkan tubuhnya, dan menatap anak laki-lakinya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak itu. "Berarti kamu harus menikah dengan perempuan pilihan kamu sendiri. Segera bawa dia ke mari, kenalkan pada papa, dan mama.""Saya belum punya kandidat calon istri, Pa," balas Zayyan. Ia pun kemudian menatap sang ibu yang masih duduk, yang juga tengah menatapnya. "Akan tetapi, saya pasrahkan sama mama untuk mencari perempuan yang cocok untuk menjadi calon istri saya. Saya tidak punya kriteria khusus, yang penting dia seiman, dan berhijab."Anita tersenyum, lalu berpindah duduk di sebelah Zayyan. Ia mengelus punggung anak laki-lakinya itu. "Kamu yakin, mau menyerahkan urusan cari calon istri kepada mama?"Zayyan mengangguk. Baginya, asal sang ibu setuju, dan cocok akan siapa calon istrinya, maka Zayyan pun mau-mau saja."Tapi, kalau pilihan mama nanti tidak sesuai kriteria kamu bagaimana?" tanya Anita."Seperti yang saya bilang tadi, Ma, saya tidak punya kriteria khusus, seperti apa calon istri yang saya inginkan. Yang terpenting, dia menutup aurat, itu sudah cukup. Dan saya yakin, pilihan mama pasti baik, karena mama juga pasti akan mencarikan yang terbaik untuk saya bukan? " tutur Zayyan.Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun mengangguk. Ada haru yang menyeruak dalam hatinya, karena ia begitu dipercaya oleh sang anak, terlebih ini masalah jodoh."Baiklah, kalau seperti itu mau kamu, mama akan usahakan. Mama akan pilihkan calon istri yang terbaik untuk kamu. Istri yang nantinya bisa taat pada kamu yang akan menjadi imamnya, serta istri yang bisa menjadi qurrota a'yun di istanamu nanti," ujar Anita."Usahakan juga secepat mungkin, Ma, karena waktu kita tidak banyak," titah Rafi. "Hanya tinggal empat belas hari lagi sebelum pernikahan itu dilaksanakan."Anita mendengkus mendengar perintah suaminya.====="Zayyan batal menikah," ucap Asih. Malam ini ia tengah berkumpul dengan Ratih, dan Hilya di depan televisi. Sementara Hamam, dan Hamim sudah tidur.Ratih pun cukup terkejut dengan berita yang baru saja disampaikan oleh sang ibu. Kurang lebih satu bulan yang lalu ia dikabari oleh Anita bahwa Zayyan akan menikah, dan Ratih belum sempat datang ke rumah kakaknya itu, tapi kini ia justru mendengar kabar pembatalan. "Batal nikah? Memangnya kenapa, Bu?""Si Tata, calon istrinya Zayyan kabur ke luar negeri sama pacarnya," jawab Asih. Ia mendesah berat, tak menyangka hal seperti ini akan menimpa salah satu cucunya."Kasihan mas Rafi sama mbak Anita, mereka pasti menanggung malu, karena pernikahan Zayyan batal, padahal kan pernikahan tinggal dua minggu lagi." Ratih merasa iba dengan apa yang terjadi pada keluarga kakaknya."Mas Zayyan sama calon istrinya itu tadinya dijodohin kan, Nek? Mungkin aja calon istrinya emang nggak cinta sama mas Zayyan, makanya milih kabur sebelum hari pernikahan. Mas Zayyan juga orangnya nyebelin sih, wajar aja calon istrinya nggak mau menikah sama dia," celetuk Hilya. Ia tidak merasa kasihan sama sekali pada apa yang menimpa kakak sepupunya itu. Bagi Hilya, itu karma yang Zayyan dapatkan karena selama ini selalu bersikap menyebalkan kepadanya. Hilya juga ingat saat tadi siang ia menyumpahi agar pernikahan Zayyan itu batal, ternyata memang sudah batal betulan.Ratih melotot mendengar celetukan dari anak gadisnya itu. "Kamu ini, sepupu lagi kena musibah bukannya iba, malah ngata-ngatain!"Hilya mencebik. Merasa tidak perlu iba pada Zayyan, sang sepupu yang selalu bersikap menyebalkan terhadapnya itu. "Lagian mas Zayyan selalu nyebelin kalau ke aku, gimana aku mau iba, Bu?""Ya itu karena kamu yang kurang ajar sama dia." Ratih menjitak kepala Hilya, membuat Hilya mengaduh. Ia kemudian kembali menatap Asih yang kini tampak sedih. "Sekarang, apa yang sedang mas Rafi sama mbak Anita rencanakan, Bu? Kalau pernikahan itu benar-benar dibatalkan, mereka tidak cuma menanggung malu, tapi juga rugi yang tidak sedikit.""Entahlah. Kemarin Rafi sempat ada ide untuk mencari perempuan lain yang siap menjadi pengantin pengganti. Tapi, ibu tidak setuju. Ibu menyuruh mereka untuk meminta pendapat Zayyan," ungkap Asih."Heran ya, laki-laki sebaik Zayyan begitu kok disia-siakan. Yakin, pasti suatu saat nanti si Tata akan menyesal," kata Ratih."Iya kalau menyesal, Bu. Kalau sebaliknya gimana? Menurut aku sih, si Tata itu membuat keputusan yang bagus, memilih kabur sama pacarnya. Coba kalau tetap menikah sama mas Zayyan, bakal tekanan batin setiap hari tuh," cibir Hilya."Hush! Kamu ini kok jadi belain Tata daripada sepupu kamu sendiri," omel Ratih, dan Hilya hanya memutar bola matanya."Kamu seperti benci sekali sama Zayyan, Hil. Jangan begitulah, walau bagaimana pun juga, kalian itu masih saudara," ujar Asih. "Nenek mau semua cucu-cucu nenek akur, guyub rukun. Jangan ada yang saling benci, apalagi sampai musuhan. Tidak baik.""Iya, Nek." Hanya itu yang bisa Hilya katakan. Ia tidak terlalu berani untuk membantah ucapan sang nenek.=====Seperti biasa, sebelum pukul tujuh pagi Hilya sudah datang di tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah toko alat tulis sekolah, dan kantor, yang juga menyediakan jasa fotokopi. Letak tempat kerja Hilya itu cukup dekat dengan kampus.Hilya tidak kuliah. Ia memilih bekerja setelah lulus SMA. Semenjak sang ayah meninggal, biaya pendidikannya, dan dua adiknya ditanggung oleh Rafi--sang paman. Sementara untuk biaya makan ditanggung oleh sang nenek dari jatah pensiunannya setiap bulan sebagai mantan pegawai negeri, serta uang bulanan dari Rafi.Sementara itu, Ratih--ibu Hilya tidak bekerja karena ia mempunyai riwayat penyakit jantung, makanya Asih tidak membolehkan anak perempuannya itu bekerja.Dulu, sepeninggal sang ayah, Hilya, dan dua adik kembarnya, serta sang ibu disuruh untuk tinggal di rumah Asih atas permintaan neneknya tersebut. Sebelumnya, keluarga Hilya tinggal di rumah kontrakan.Sebenarnya, setelah lulus SMA, Hilya disuruh oleh Rafi untuk melanjutkan kuliah, dan pamannya itu yang akan tetap membiayainya. Hilya juga diberi kebebasan untuk memilih jurusan apa, dan di kampus mana ia ingin kuliah. Namun, saat itu Hilya menolak. Ia ingin bekerja saja karena merasa sudah enggan untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, Hilya juga merasa bahwa dirinya tidak pintar, makanya tidak mau kuliah karena menganggap hanya akan membuang-buang uang sang paman.Rafi juga pernah menawarkan Hilya untuk bekerja di kantornya sebagai resepsionis, tetapi Hilya menolak. Hilya merasa tidak cocok bekerja di kantor."Semangat bener kayaknya pagi ini." Fera--teman Hilya sedikit menggoda saat melihat Hilya yang tengah beberes sebelum membuka toko."Biasa aja sebenarnya," balas Hilya."Tapi aku lihat kamu pagi ini kayak lagi seneng aja, Hil. Aura-auranya orang seneng kan kelihatan," kata Fera. Ia berteman Hilya sejak SMP, dan sekarang pun bekerja di tempat yang sama."Senenglah, sekarang kan hari Senin, Fer. Jadwalnya pak Dimas berangkat pagi," ucap Hilya sembari senyum-senyum membayangkan laki-laki bernama Dimas."Hmm ... ternyata karena mau liat gebetan," goda Fera.Dimas adalah dosen muda di kampus yang dekat dengan tempat Hilya bekerja. Hilya sudah cukup lama menaruh hati pada laki-laki itu. Setiap hari Senin, Dimas berangkat ke kampus pagi hari, dan hari-hari selainnya selalu berangkat siang, menyesuaikan dengan jadwal. Oleh karena itu, saat ini Hilya merasa senang karena sebentar lagi bisa melihat Dimas yang lewat dengan motornya di depan tokonya.Setelah selesai beberes, dan membuka toko, Hilya sengaja berdiri di depan untuk menunggu dosen muda itu lewat. Lumayan untuk cuci mata pagi hari, begitu pikirnya.Tak lama setelah itu, Dimas pun lewat. Laki-laki itu membunyikan klakson motornya, seraya menoleh ke arah Hilya, serta melambaikan tangan. Hilya pun balas melambaikan tangan sembari tersenyum. Mereka berdua memang saling kenal, karena Dimas sering memfotokopi di toko tempat Hilya bekerja."Selamat pagi, Pak Dosen!" Hilya sedikit berteriak.Setelah motor Dimas melewati depan toko, dan menjauh, Hilya masih memperhatikan, dan masih senyum-senyum."Ekhem!" Seseorang di belakang Hilya berdehem.Sontak Hilya pun membalik badan, dan senyuman yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar."Mas Zayyan? Ngapain di sini?"Hilya cukup terkejut dengan kehadiran Zayyan. Selama bekerja di sini, baru kali ini kakak sepupunya itu datang ke tempat kerjanya. "Memang kenapa? Tidak boleh ya, mengunjungi tempat kerja adik sepupu?" Zayyan justru balik bertanya, membuat Hilya kesal. "Nggak boleh! Mending pergi aja sana, daripada di sini bikin aku kesel. Pagi-pagi udah bikin orang darting aja!" omel Hilya. Pagi hari yang tadinya indah karena melihat laki-laki pujaannya lewat, kini rusak gara-gara kehadiran satu makhluk yang menjadi keponakan kesayangan ibunya itu. Zayyan mengernyitkan dahi. "Darting? Apa itu darting?" Yang ditanyai justru memutar bola matanya. "Darah tinggi! Masa seorang dokter nggak ngerti darting?""Ya kamu pakai disingkat singkat, saya kan tidak paham istilah singkatan bocil seperti kamu," balas Zayyan. "Aku udah bukan bocil lagi ya, Mas. Jangan panggil aku bocil!" ketus Hilya. "Masa? Orang badan kamu aja kecil kurus gitu. Rata lagi." Zayyan memindai tubuh Hilya dari atas ke bawah, ke atas
"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita. Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda. "Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--." "Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak." Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya. Sebenarnya, tanpa berpikir pun,
Melihat Asih yang tak sadarkan diri, membuat Ratih, dan Hilya cemas. Karena Asih pingsan saat posisi duduk di sofa, ini membuat Ratih, dan Hilya cukup mudah untuk membaringkan Asih di sofa panjang itu. "Bu, apa sebaiknya kita telfon dokter, atau bagaimana, Bu?" tanya Hilya dengan cemas. Ini baru pertama kalinya melihat sang nenek pingsan. "Kamu coba telfon pakde Rafi, Hil, cepetan!" perintah Ratih. Tak mau membuang waktu, Hilya pun menuruti perintah sang ibu. Ia menelfon kakak laki-laki dari ibunya, dan memberitahu tentang apa yang terjadi pada sang nenek. Selesai menelfon, Hilya menghampiri kedua adik kembarnya di kamar yang sedang belajar, dan memberitahu mereka bahwa nenek mereka pingsan. Setelah itu, Hilya, dan kedua adiknya menghampiri Ratih yang tengah menunggui Asih. "Ini semua gara-gara kamu, Hilya!" sentak Ratih sambil melirik sebal pada anak perempuannya itu. "Kok gara-gara aku sih, Bu? Emang aku salah apa?" "Salah apa? Tadi nenek minta kamu supaya nikah sama Zayyan,
Zayyan memutus tatapannya pada Hilya, lalu beralih menatap sang nenek. "Saya mau-mau saja, Nek. Mau akad nikah sekarang juga saya siap." Perkataan Zayyan itu sontak membuat Hilya melotot, dan ingin memaki kakak sepupunya itu. Bagaimana mungkin Zayyan bisa langsung menyetujui begitu saja permintaan sang nenek, seolah-olah permintaan itu bukan sesuatu yang penting, padahal itu menyangkut masa depan mereka. Asih pun tersenyum, ia senang karena cucu laki-lakinya itu mau menuruti permintaannya. "Memangnya kamu sudah menyiapkan maharnya?" "Gampang! Setelah ini saya akan cari," jawab Zayyan enteng, lalu kembali menatap Hilya. "Kamu mau mahar apa, Hil?" Hilya yang ditanya hanya diam saja. Ia justru menampilkan wajah tak bersahabat pada Zayyan seperti biasanya. Anita, dan Rafi pun ikut menatap Hilya, menunggu jawaban dari gadis itu. Menyadari bahwa dirinya kini menjadi pusat perhatian, Hilya pun salah tingkah. Ia berdehem untuk menyamarkan sedikit rasa malunya. "Nek, Nenek sudah minum o
Mendengar Zayyan menyebut nama Tata pada seorang wanita di depannya, membuat Hilya, dan Tasya melebarkan mata mereka. Wanita itu adalah tunangan Zayyan yang dikabarkan kabur ke luar negeri bersama kekasihnya. Lantas, mengapa tiba-tiba ia ada di sini? Sudah pulang kah?Sebenarnya ini adalah kali pertama bagi Hilya bertemu Tata. Sebelumnya ia hanya pernah melihat Tata dari foto yang ada di ponsel Tasya. Hilya berpikir bahwa Tata lebih cantik dilihat secara langsung. Lumayan serasi jika Tata menjadi istri Zayyan, apalagi dengan status sosial keduanya. "Aku dengar, nenek kamu jatuh sakit, Zayyan," ucap Tata. "Makanya aku ke sini mau nemuin nenek kamu." Zayyan tampak gusar. Kenapa di saat ia sudah akan menikah dengan Hilya, Tata justru kembali secara tiba-tiba? Ia takut jika nanti sang ayah kembali menyuruhnya menikah dengan wanita itu. "Nenek sakit tuh gara-gara Kak Tata. Ngapain tiba-tiba ada di sini? Bukannya lagi ke luar negeri sama pacar Kak Tata?" sahut Tasya ketus. Ia yang dari
"Kenapa nggak mungkin? Kalau mas Zayyan sama kak Tata saling mencintai, ya tinggal diusahakan. Nanti pakde sama bude pasti ngerti kok." Hilya kini ikut bersuara. Zayyan tidak suka Hilya berbicara seperti itu. Ia menatap Hilya dengan tajam, dan Hilya pun balas menatapnya. "Pernikahan kita sudah disiapkan, Hil. Nanti malam kita menikah kalau kamu lupa," ujar Zayyan. "Bisa dibatalin, Mas, atau diganti sama kak Tata. Aku nggak mau ya, jadi penghalang cinta Mas Zayyan sama kak Tata," kata Hilya. "Kalau Mas takut bilangnya sama pakde, dan bude, nanti aku bisa bantu kok, supaya nanti malam Mas Zayyan nikahnya sama kak Tata aja." Zayyan mengepalkan tangannya. Sungguh ia kesal dengan Hilya yang sudah salah menyimpulkan. Ia lalu mendahului kedua gadis itu masuk ke store perhiasan. "Kak Zayyan nggak cinta sama Tata si nenek sihir, Hil. Dia dulu cuma terpaksa menerima perjodohan itu," bisik Tasya. Hilya diam sambil mencerna ucapan Tasya, sampai akhirnya ia diseret Tasya memasuki store perhi
Zayyan sebenarnya enggan menikah dengan Tata, perempuan yang dijodohkan oleh sang ayah. Ia sudah mempunyai pujaan hati sendiri, dan masih menunggu waktu yang tepat untuk melamarnya. Namun, karena sang ayah terus mendesak untuk segera menikah, dan demi baktinya pada orang tua, ia terpaksa menerima perjodohan itu. Sebenarnya Tata adalah perempuan yang baik, kurangnya hanya tidak memakai tutup kepala. Hal itu pula yang membuat Zayyan kaget, kenapa sang ayah malah menjodohkannya dengan perempuan tak berhijab, padahal menurutnya sang ayah cukup religius. Meski tak menyangka dengan keputusan ayahnya, Zayyan tetap terpaksa menerima perjodohan itu, dan pura-pura tertarik pada Tata di depan orang tuanya. Pada saat pertama bertemu, Tata langsung menceritakan pada Zayyan bahwa ia sebenarnya keberatan dengan perjodohan mereka, terlebih sudah mempunyai pacar. Tetapi karena orang tuanya terus memaksa, Tata pun terpaksa menuruti perjodohan itu tanpa memutuskan hubungan dengan sang pacar. Keluarga
"Harus banget bilang begitu ya, Hil?" Zayyan kesal, di malam pernikahannya ini sang istri justru mengaku bahwa punya laki-laki yang disukai. "Ya aku kan mau jujur, Mas." Laki-laki berumur tiga puluh dua tahun itu mendengkus kasar, lalu memfokuskan diri untuk menyetir, meski dadanya terasa sesak. Walau Hilya mengatakan sudah ada seseorang yang mengisi hatinya, tapi Zayyan tidak mau bertanya siapa laki-laki itu, setidaknya untuk saat ini. Zayyan benar-benar tidak mau merusak malam pengantinnya. Heran karena Zayyan tak menimpali perkataannya lagi, Hilya pun melirik sekilas. Terlihat Zayyan yang tengah fokus mengemudi dengan raut wajahnya yang entah mengapa tampak menyeramkan. Suasana menjadi hening. Hilya sebenarnya tidak suka dengan keadaan seperti ini, tapi mau bicara pun, tidak tahu apa yang akan dibahas lagi. Terlebih, jika berbicara dengan laki-laki ini pasti nantinya akan berdebat juga seperti biasanya. "Turun," kata Zayyan begitu mobilnya terparkir di depan rumah orang tuany