Share

Bab 5

"Zayyan, kalau kamu tidak mau, ya tidak apa-apa. Mama sama papa nggak maksa kok." Anita buru-buru menimpali ucapan Rafi setelah melihat raut wajah Zayyan yang seperti tidak senang setelah diusulkan untuk menikah dengan sekretaris Rafi.

"Mau tidak mau, pernikahan itu harus tetap dilaksanakan, Ma. Ini demi reputasi keluarga kita, dan juga masa depan perusahaan," ucap Rafi

"Tapi bukan berarti Zayyan yang harus jadi korban dengan cara menikahi perempuan pilihan Papa," balas Anita. "Biarkan Zayyan memilih sendiri, siapa perempuan yang ingin dinikahi."

"Ya sudah, kalau begitu, siapa perempuan itu? Siapa perempuan yang ingin kamu nikahi, Zayyan? Bilang sama papa, biar papa secepatnya lamarkan untuk kamu," ujar Rafi. Ini bukan waktunya lagi untuk bersantai, karena nasib perusahaan sedang dipertaruhkan. Maka dari itu, Rafi harus segera mengambil tindakan, salah satunya agar Zayyan tetap menikah. Dan jika Zayyan hanya ingin menikah dengan perempuan pilihannya sendiri, maka Rafi akan mengusahakan untuk secepatnya meminang perempuan itu untuk anak laki-lakinya ini.

Zayyan menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Ia menatap kedua orang tuanya yang sepertinya sedang menunggu jawabannya. Sungguh, Zayyan saat ini bukan hanya pusing menghadapi apa yang tengah terjadi, tetapi juga dilema.

"Bagaimana, Zayyan? Kamu punya calon istri sendiri, atau memilih menikah dengan Siska, sekretaris Papa?" Rafi yang tidak sabar menunggu jawaban Zayyan, kembali bertanya.

"Sabar dulu dong, Pa, beri waktu Zayyan untuk berpikir," tegur Anita. Ia kesal dengan sikap suaminya yang ingin buru-buru.

"Baiklah kalau kamu butuh waktu untuk berpikir, Zayyan. Tapi, papa minta, besok pagi kamu harus sudah punya jawabannya. Pilihan kamu hanya ada dua, menikah dengan Siska, atau dengan perempuan pilihan kamu sendiri." Setelah mengatakan itu, Rafi bangkit dari duduknya, bersiap pergi ke ruang kerjanya.

"Saya tidak mau menikah dengan Siska, Pa," ucap Zayyan sebelum sang ayah melangkah lebih jauh.

Rafi berhenti, kemudian membalikkan tubuhnya, dan menatap anak laki-lakinya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak itu. "Berarti kamu harus menikah dengan perempuan pilihan kamu sendiri. Segera bawa dia ke mari, kenalkan pada papa, dan mama."

"Saya belum punya kandidat calon istri, Pa," balas Zayyan. Ia pun kemudian menatap sang ibu yang masih duduk, yang juga tengah menatapnya. "Akan tetapi, saya pasrahkan sama mama untuk mencari perempuan yang cocok untuk menjadi calon istri saya. Saya tidak punya kriteria khusus, yang penting dia seiman, dan berhijab."

Anita tersenyum, lalu berpindah duduk di sebelah Zayyan. Ia mengelus punggung anak laki-lakinya itu. "Kamu yakin, mau menyerahkan urusan cari calon istri kepada mama?"

Zayyan mengangguk. Baginya, asal sang ibu setuju, dan cocok akan siapa calon istrinya, maka Zayyan pun mau-mau saja.

"Tapi, kalau pilihan mama nanti tidak sesuai kriteria kamu bagaimana?" tanya Anita.

"Seperti yang saya bilang tadi, Ma, saya tidak punya kriteria khusus, seperti apa calon istri yang saya inginkan. Yang terpenting, dia menutup aurat, itu sudah cukup. Dan saya yakin, pilihan mama pasti baik, karena mama juga pasti akan mencarikan yang terbaik untuk saya bukan? " tutur Zayyan.

Wanita yang telah melahirkan Zayyan itu pun mengangguk. Ada haru yang menyeruak dalam hatinya, karena ia begitu dipercaya oleh sang anak, terlebih ini masalah jodoh.

"Baiklah, kalau seperti itu mau kamu, mama akan usahakan. Mama akan pilihkan calon istri yang terbaik untuk kamu. Istri yang nantinya bisa taat pada kamu yang akan menjadi imamnya, serta istri yang bisa menjadi qurrota a'yun di istanamu nanti," ujar Anita.

"Usahakan juga secepat mungkin, Ma, karena waktu kita tidak banyak," titah Rafi. "Hanya tinggal empat belas hari lagi sebelum pernikahan itu dilaksanakan."

Anita mendengkus mendengar perintah suaminya.

=====

"Zayyan batal menikah," ucap Asih. Malam ini ia tengah berkumpul dengan Ratih, dan Hilya di depan televisi. Sementara Hamam, dan Hamim sudah tidur.

Ratih pun cukup terkejut dengan berita yang baru saja disampaikan oleh sang ibu. Kurang lebih satu bulan yang lalu ia dikabari oleh Anita bahwa Zayyan akan menikah, dan Ratih belum sempat datang ke rumah kakaknya itu, tapi kini ia justru mendengar kabar pembatalan. "Batal nikah? Memangnya kenapa, Bu?"

"Si Tata, calon istrinya Zayyan kabur ke luar negeri sama pacarnya," jawab Asih. Ia mendesah berat, tak menyangka hal seperti ini akan menimpa salah satu cucunya.

"Kasihan mas Rafi sama mbak Anita, mereka pasti menanggung malu, karena pernikahan Zayyan batal, padahal kan pernikahan tinggal dua minggu lagi." Ratih merasa iba dengan apa yang terjadi pada keluarga kakaknya.

"Mas Zayyan sama calon istrinya itu tadinya dijodohin kan, Nek? Mungkin aja calon istrinya emang nggak cinta sama mas Zayyan, makanya milih kabur sebelum hari pernikahan. Mas Zayyan juga orangnya nyebelin sih, wajar aja calon istrinya nggak mau menikah sama dia," celetuk Hilya. Ia tidak merasa kasihan sama sekali pada apa yang menimpa kakak sepupunya itu. Bagi Hilya, itu karma yang Zayyan dapatkan karena selama ini selalu bersikap menyebalkan kepadanya. Hilya juga ingat saat tadi siang ia menyumpahi agar pernikahan Zayyan itu batal, ternyata memang sudah batal betulan.

Ratih melotot mendengar celetukan dari anak gadisnya itu. "Kamu ini, sepupu lagi kena musibah bukannya iba, malah ngata-ngatain!"

Hilya mencebik. Merasa tidak perlu iba pada Zayyan, sang sepupu yang selalu bersikap menyebalkan terhadapnya itu. "Lagian mas Zayyan selalu nyebelin kalau ke aku, gimana aku mau iba, Bu?"

"Ya itu karena kamu yang kurang ajar sama dia." Ratih menjitak kepala Hilya, membuat Hilya mengaduh. Ia kemudian kembali menatap Asih yang kini tampak sedih. "Sekarang, apa yang sedang mas Rafi sama mbak Anita rencanakan, Bu? Kalau pernikahan itu benar-benar dibatalkan, mereka tidak cuma menanggung malu, tapi juga rugi yang tidak sedikit."

"Entahlah. Kemarin Rafi sempat ada ide untuk mencari perempuan lain yang siap menjadi pengantin pengganti. Tapi, ibu tidak setuju. Ibu menyuruh mereka untuk meminta pendapat Zayyan," ungkap Asih.

"Heran ya, laki-laki sebaik Zayyan begitu kok disia-siakan. Yakin, pasti suatu saat nanti si Tata akan menyesal," kata Ratih.

"Iya kalau menyesal, Bu. Kalau sebaliknya gimana? Menurut aku sih, si Tata itu membuat keputusan yang bagus, memilih kabur sama pacarnya. Coba kalau tetap menikah sama mas Zayyan, bakal tekanan batin setiap hari tuh," cibir Hilya.

"Hush! Kamu ini kok jadi belain Tata daripada sepupu kamu sendiri," omel Ratih, dan Hilya hanya memutar bola matanya.

"Kamu seperti benci sekali sama Zayyan, Hil. Jangan begitulah, walau bagaimana pun juga, kalian itu masih saudara," ujar Asih. "Nenek mau semua cucu-cucu nenek akur, guyub rukun. Jangan ada yang saling benci, apalagi sampai musuhan. Tidak baik."

"Iya, Nek." Hanya itu yang bisa Hilya katakan. Ia tidak terlalu berani untuk membantah ucapan sang nenek.

=====

Seperti biasa, sebelum pukul tujuh pagi Hilya sudah datang di tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah toko alat tulis sekolah, dan kantor, yang juga menyediakan jasa fotokopi. Letak tempat kerja Hilya itu cukup dekat dengan kampus.

Hilya tidak kuliah. Ia memilih bekerja setelah lulus SMA. Semenjak sang ayah meninggal, biaya pendidikannya, dan dua adiknya ditanggung oleh Rafi--sang paman. Sementara untuk biaya makan ditanggung oleh sang nenek dari jatah pensiunannya setiap bulan sebagai mantan pegawai negeri, serta uang bulanan dari Rafi.

Sementara itu, Ratih--ibu Hilya tidak bekerja karena ia mempunyai riwayat penyakit jantung, makanya Asih tidak membolehkan anak perempuannya itu bekerja.

Dulu, sepeninggal sang ayah, Hilya, dan dua adik kembarnya, serta sang ibu disuruh untuk tinggal di rumah Asih atas permintaan neneknya tersebut. Sebelumnya, keluarga Hilya tinggal di rumah kontrakan.

Sebenarnya, setelah lulus SMA, Hilya disuruh oleh Rafi untuk melanjutkan kuliah, dan pamannya itu yang akan tetap membiayainya. Hilya juga diberi kebebasan untuk memilih jurusan apa, dan di kampus mana ia ingin kuliah. Namun, saat itu Hilya menolak. Ia ingin bekerja saja karena merasa sudah enggan untuk melanjutkan pendidikan. Selain itu, Hilya juga merasa bahwa dirinya tidak pintar, makanya tidak mau kuliah karena menganggap hanya akan membuang-buang uang sang paman.

Rafi juga pernah menawarkan Hilya untuk bekerja di kantornya sebagai resepsionis, tetapi Hilya menolak. Hilya merasa tidak cocok bekerja di kantor.

"Semangat bener kayaknya pagi ini." Fera--teman Hilya sedikit menggoda saat melihat Hilya yang tengah beberes sebelum membuka toko.

"Biasa aja sebenarnya," balas Hilya.

"Tapi aku lihat kamu pagi ini kayak lagi seneng aja, Hil. Aura-auranya orang seneng kan kelihatan," kata Fera. Ia berteman Hilya sejak SMP, dan sekarang pun bekerja di tempat yang sama.

"Senenglah, sekarang kan hari Senin, Fer. Jadwalnya pak Dimas berangkat pagi," ucap Hilya sembari senyum-senyum membayangkan laki-laki bernama Dimas.

"Hmm ... ternyata karena mau liat gebetan," goda Fera.

Dimas adalah dosen muda di kampus yang dekat dengan tempat Hilya bekerja. Hilya sudah cukup lama menaruh hati pada laki-laki itu. Setiap hari Senin, Dimas berangkat ke kampus pagi hari, dan hari-hari selainnya selalu berangkat siang, menyesuaikan dengan jadwal. Oleh karena itu, saat ini Hilya merasa senang karena sebentar lagi bisa melihat Dimas yang lewat dengan motornya di depan tokonya.

Setelah selesai beberes, dan membuka toko, Hilya sengaja berdiri di depan untuk menunggu dosen muda itu lewat. Lumayan untuk cuci mata pagi hari, begitu pikirnya.

Tak lama setelah itu, Dimas pun lewat. Laki-laki itu membunyikan klakson motornya, seraya menoleh ke arah Hilya, serta melambaikan tangan. Hilya pun balas melambaikan tangan sembari tersenyum. Mereka berdua memang saling kenal, karena Dimas sering memfotokopi di toko tempat Hilya bekerja.

"Selamat pagi, Pak Dosen!" Hilya sedikit berteriak.

Setelah motor Dimas melewati depan toko, dan menjauh, Hilya masih memperhatikan, dan masih senyum-senyum.

"Ekhem!" Seseorang di belakang Hilya berdehem.

Sontak Hilya pun membalik badan, dan senyuman yang tadi menghiasi wajahnya perlahan memudar.

"Mas Zayyan? Ngapain di sini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status