Share

Bab 7

"Kamu mau ya jadi pengantinnya Zayyan, Hil? Menikah dengan Zayyan, anak bude," pinta Anita.

Hilya tercengang. Budenya ini sedang mengajaknya bercanda kah? Jika iya, sungguh bercandaan seperti ini tidak lucu baginya. Tapi, melihat wajah sang bude yang terlihat serius, sepertinya istri pamannya itu memang sedang tidak bercanda.

"Aku nggak tau Bude lagi bercanda atau nggak. Atau mungkin, karena Bude cukup stres dengan batalnya pernikahan mas Zayyan, makanya Bude asal memilih aku supaya mau nikah dengan mas Zayyan," balas Hilya. "Kalau Bude emang lagi bercanda, maaf, Bude, ini nggak lucu, tapi kalau in--."

"Bude tidak lagi bercanda, Hilya, bude serius," sergah Anita, memotong ucapan Hilya. "Bude benar-benar meminta kamu supaya jadi pengantinnya Zayyan. Bude sudah bilang sama ibu kamu, dan ibu kamu setuju-setuju saja. Tinggal kamunya mau atau tidak."

Hilya bingung mau menjawab apa. Bisa dibilang ini adalah bentuk lamaran Anita untuk anak laki-lakinya.

Sebenarnya, tanpa berpikir pun, Hilya sudah pasti akan menolak untuk menikah dengan Zayyan, mengingat selama ini jika mereka bertemu tidak pernah akur. Namun, karena kali ini Anita yang meminta secara langsung, disertai raut wajahnya yang memelas itu membuat Hilya tidak tega jika harus terang-terangan menolak.

Melirik ke arah Ratih, Hilya mendapati ibunya itu memberi kode dengan matanya, kemudian mengangguk, menandakan agar Hilya menerima permintaan atau lamaran Anita.

"Kenapa harus aku, Bude?" tanya Hilya.

Anita menghela napas. "Hil, Zayyan itu ingin dicarikan istri yang baik, dan menutup aurat. Memang banyak di luar sana gadis seperti itu, tapi entah kenapa, pikiran bude langsung tertuju ke kamu."

"Tapi aku bukan orang yang baik, Bude, terlebih kalau sama mas Zayyan. Kami nggak pernah akur, Bude," sanggah Hilya.

"Penilaian baik atau tidaknya seseorang kan bukan dinilai oleh dirinya sendiri, Hil. Bude yakin kamu gadis yang baik. Kamu sudah berjilbab sejak SMP, kamu pinter masak, dan semua kelebihan kamu yang lain yang mungkin saja bagi kamu itu bukan apa-apa," ujar Anita. "Setidaknya, kalau Zayyan menikah denganmu, bude merasa tenang juga bahagia. Coba kamu pikirkan lagi ya, besok bude akan ke sini lagi.

=====

Pagi hari sebelum Anita datang menemui Hilya.

"Kira-kira siapa perempuan yang cocok dengan kriteria tersebut ya, Sya?" tanya Anita pada Tasya, setelah ia menceritakan permintaan Zayyan untuk mencarikannya calon istri.

Tasya menaikkan bahunya. "Aku nggak tau, Ma, teman-teman aku kebanyakan nggak pakai jilbab. Di sekolah aja cuma aku sama beberapa doang yang pake jilbab."

"Ih, ya bukan yang teman kamu dong, Sya. Masa kakakmu disuruh menikahi anak SMA, yang benar saja!" kata Anita.

"Ya kalau bukan yang teman aku, aku juga nggak tau kali, Ma, kan temenku kebanyakan seumuran," balas Tasya. "Coba Mama ingat-ingat, ada nggak teman pengajian Mama yang punya anak perawan yang udah dewasa."

Anita mulai mengingat-ingat siapa-siapa saja di antara teman-teman, dan kenalannya yang sekiranya punya anak gadis yang sudah saatnya untuk menikah. Tiba-tiba pikiran Anita tertuju pada Hilya, keponakan suaminya.

"Kalau Hilya gimana ya, Sya?" Wanita berusia lima puluhan itu meminta pendapat pada anak perempuannya.

"Anaknya bulik?"

Anita mengangguk. "Iya, Hilya anaknya bulikmu itu. Dia berjilbab, dan baik juga."

"Ya, kalau Hilya sih boleh juga, Ma, tapi setahuku Hilya nggak pernah akur kalau lagi bareng sama kak Zayyan. Kayak kucing sama tikus mereka tuh," ujar Tasya yang tahu bagaimana tabiat kakak, dan sepupunya itu.

Meski umur Tasya empat tahun di bawah Hilya, tapi status Tasya adalah anak dari kakaknya ibunya Hilya, jadi Tasya memanggil Hilya tanpa embel-embel layaknya orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, seperti 'kak', atau 'mbak'. Dulu Tasya sempat memanggil Hilya dengan embel-embel 'mbak', tetapi dilarang oleh Hilya.

"Justru itu, Sya, kalau mereka menikah, pasti mereka bisa akur. Tidak mungkin kan kalau suami istri bertengkar terus," ucap Anita.

"Iya udah, kalau Mama maunya Hilya, ya buruan samperin, hari pernikahan kak Zayyan kan nggak lama lagi," kata Tasya. "Terus, Hilya kan cantik, kemungkinan banyak yang suka sama dia. Kalau nggak buru-buru Mama lamar buat kak Zayyan, takutnya keburu udah diambil orang, Ma."

Anita mengangguk. "Nanti sore mama ke sana. Mama pastikan Hilya lah yang akan jadi istri Zayyan. Mama sudah menyayangi Hilya dari dia masih kecil dulu, sayang kalau tidak dijadikan mantu sekalian."

Dulu sewaktu Tasya belum lahir, Anita sering mengasuh Hilya, menyayanginya seperti anak sendiri. Saat Hilya lahir, Zayyan sudah berusia dua belas tahun. Zayyan juga dulu menganggap Hilya seperti adik sendiri, menyayanginya, dan sering mengajak bermain bersama. Setelah Tasya lahir pun, sikap Anita maupun Zayyan tidak berubah kepada Hilya.

Masa kecilnya Hilya dulu sering bermanja-manja pada Zayyan, dan Zayyan pun tidak masalah. Mereka saling menyayangi layaknya saudara, bahkan dulu Hilya pernah dimandikan oleh Zayyan ketika Hilya masih balita. Setelah Zayyan disibukkan dengan kuliah kedokterannya yang cukup sibuk, mereka menjadi jarang bertemu. Hingga saat Hilya sudah beranjak remaja, semua jadi berubah. Entah mengapa sikap Zayyan sering membuat Hilya kesal hingga marah-marah. Seorang Zayyan yang dulunya mengayomi, tiba-tiba berubah menyebalkan seperti mengibarkan bendera permusuhan.

=====

"Tolong ya, Bu, yakinkan Hilya supaya mau menikah dengan Zayyan." Anita memohon kepada Asih melalui sambungan telefon, tentunya setelah Anita menjabarkan alasannya mengapa memilih Hilya yang akan menjadi pendamping Zayyan.

"Baiklah, ibu usahakan. Kalau begitu, ibu tutup telfonnya, Nit, ibu mau mulai bicara sama Hilya," balas Asih.

Malam hari seperti biasanya, setelah makan malam Hilya akan bergabung dengan sang ibu, dan neneknya di ruang keluarga. Ia baru saja selesai membereskan meja makan malam, dan menyuruh adik-adiknya untuk belajar.

"Ada yang mau nenek bicarakan, Hil," ucap Asih seraya menatap Hilya.

Hilya yang tadinya tengah menonton televisi sembari memakan keripik pisang pun sontak menghentikan aktivitasnya. Ia pun membenarkan posisi duduknya, dan balas menatap sang nenek.

"Tentang apa, Nek? Kayaknya serius deh," balas Hilya.

"Bagaimana kalau kamu saja yang jadi calon pengantin perempuannya Zayyan, Hil?" tanya Asih.

Hilya membulatkan matanya. Ia pikir, sang nenek tidak akan membahas hal ini. Apakah neneknya ini bersekongkol dengan sang bude? Sementara itu, kini Ratih justru sudah senyum-senyum sendiri.

"Maksudnya, aku menikah sama mas Zayyan gitu, Nek?" Hilya memastikan meskipun ia sudah tahu jawabannya. "Maaf, Nek, jangan aku."

"Memangnya kenapa sih, Hil? Zayyan itu dokter ganteng, pinter, banyak duit lagi. Jarang, ada laki-laki yang punya spek seperti Zayyan," tukas Ratih.

"Meskipun ganteng, dan kaya, kalau sikapnya nyebelin, mana ada cewek yang mau sama dia, Bu. Tuh, si Tata aja bela-belain kabur sama pacarnya, ketimbang harus menikah sama dia," balas Hilya.

"Itu sih, Tata-nya aja yang b*d*h. Laki-laki sesempurna Zayyan kok ditinggalin," cibir Ratih.

Hilya mencebik. Ibunya terlalu memuja Zayyan, sang keponakan kesayangannya itu, padahal menurut Hilya, Zayyan tidak ada bagus-bagusnya meskipun kebanyakan setiap orang mengatakan yang sama dengan apa yang dikatakan Ratih tadi.

"Menurut nenek, kamu cocok sama Zayyan, Hil," ujar Asih.

"Cocok apanya, Nek? Umurku sama mas Zayyan aja beda jauh."

"Perbedaan umur bukan sebuah masalah, Hil. Saat Rosululloh menikah dengan sayyidah Khodijah bukankah saat itu Rosululloh baru berumur dua puluh lima tahun, dan sayyidah Khodijah berumur empat puluh tahun? Beliau berdua bahkan berbeda lima belas tahun, lebih jauh daripada perbedaan umur kamu, dan Zayyan yang hanya dua belas tahun," tutur Asih.

Hanya dua belas tahun? Hilya melotot. Mungkin bagi neneknya, perbedaan umur lebih dari sepuluh tahun dengan pasangan bukanlah sebuah masalah, tetapi bagi Hilya, itu adalah sebuah masalah. Terlebih lagi selama ini Hilya menginginkan jika pasangannya nanti jarak umurnya tidak terlalu jauh dengannya.

"Tapi kan aku sama mas Zayyan sepupuan, Nek." Hilya coba berkelit.

"Dalam agama kita, sepupu itu bukan mahram, jadi boleh menikah," jelas Asih.

"Dengerin tuh, Hil. Sepupu itu boleh nikah. Kalau nggak percaya, tanya aja sama ustadz," timpal Ratih.

Hilya mendengkus. "Ibu sama pakde Rafi kan kakak beradik, masa iya harus jadi besan juga? Emangnya Ibu nggak pengen gitu, punya besan dari kalangan orang lain, biar tambah relasi?"

Ratih mencebikkan bibir. "Halah, relasi, relasi! Ibu nggak mikirin itu."

"Hil, justru karena kamu, dan Zayyan sepupuan, bukannya jadi mudah, Hil? Maksudnya, kamu nanti tidak perlu beradaptasi lagi di keluarga mertuamu," ujar Asih.

"Tapi kan aku nggak cinta sama mas Zayyan, Nek. Senyaman-nyamannya sama mertua, tapi kalau sama suami nggak cinta, ya nggak akan bahagia kan?" kata Hilya sok bijak.

"Cinta, cinta! Cinta itu nggak bisa bikin kenyang perut, Hil," sergah Ratih.

"Rumah tangga kan harus didasari dengan cinta, Bu. Kata almarhum ayah, dulu ibu sama ayah menikah juga karena cinta, kan?" Hilya ingat tentang cerita almarhum ayahnya dulu, tentang bagaimana ayahnya, dan ibunya bisa menikah.

"Ya itu cukup cerita hidup ibu sama ayahmu aja, kamu jangan! Jaman sekarang tuh apa-apa harus realistis," tangkas Ratih.

Hilya terdiam kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan ibunya.

"Hil, kamu tahu pepatah Jawa yang berbunyi, 'witing tresno jalaran soko kulino'? Cinta itu datang karena terbiasa. Mungkin sekarang kamu sama Zayyan belum saling mencintai. Tapi, setelah kalian menikah nanti, dan kalian selalu bersama, perlahan cinta juga akan hadir di antara kalian." Asih menasehati. Ia menghela napas, lalu kembali berkata, "Kamu, dan Zayyan sama-sama cucu nenek, dan nenek paham bagaimana sifat kalian masing-masing. Firasat nenek mengatakan kalau kalian itu berjodoh."

Setelah diminta oleh menantunya untuk membujuk Hilya agar mau menikah dengan Zayyan, entah mengapa Asih tiba-tiba yakin jika dua cucunya itu cocok, dan berjodoh.

"Jodoh itu nggak ditentukan karena firasat, Nek," sangkal Hilya.

Ratih memukul lengan tangan Hilya. "Nggak sopan kamu bilang seperti itu sama nenek. Firasat orang tua itu biasanya bener."

"Menikahlah dengan Zayyan, Hil, nenek mohon." Asih mencoba sekali lagi membujuk cucu perempuannya itu.

"Nggak mau, Nek." Hilya menolak. Ia tidak pernah sekali pun membayangkan menjadi istri orang menyebalkan seperti Zayyan.

"Aduh! Dadaku ...." Asih tiba-tiba memegangi dadanya, membuat Ratih khawatir, dan sontak menghampiri sang ibu. Hilya pun melakukan hal yang sama dengan Ratih.

"Kenapa, Bu?"

Belum sempat Asih menjawab pertanyaan Ratih, wanita lanjut usia itu tiba-tiba pingsan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status