Sepintas, jika dilihat dari atas tebing, lubuk tengkorak sama dengan lubuk-lubuk yang ada di sungai-sungai besar lainnya.
Permukaan airnya juga tenang dan lebih dalam tentunya sulit untuk melihat dasarnya. Terlebih, sungai itu saat ini keruh akibat hujan lebat di hulu yang membuat sungai itu makin besar.
Di atas permukaan lubuk itu, sesekali juga terlihat pusaran dan gelembung-gelembung air yang berasal dari dasar.
Sejauh ini, memang tak ada seorangpun yang berani melewati lubuk itu menggunakan rakit atau juga perahu karena di samping ada pusaran air yang secara tiba-tiba muncul dapat menyedot benda apa saja di atasnya lubuk itu juga terlihat angker.
Terlebih, semua warga Desa Serayu mengetahui jika di lubuk tengkorak itu terdapat Ratu Siluman Buaya Putih yang kerap meneror mereka.
Para warga yang juga bermata pencarian mencari ikan di sungai itu, lantas memilih lokasi penangkapan jauh dari lubuk sekitar satu kilometer jaraknya di atas atau di hilir lubuk tengkorak.
Ajaibnya, meskipun lubuk tengkorak itu terlihat keruh di permukaannya ketika air sungai lebih besar saat hujan lebat di hulu, tetapi sekitar dua meter ke dalam, airnya sangat jernih.
Tak diketahui seberapa meter dalamnya lubuk tengkorak itu dari permukaan hingga dasarnya, yang jelas di dasar lubuk tengkorak itu terdapat hal yang tak biasa di bandingkan lubuk-lubuk di sungai besar lainnya.
Padahal, ada sebuah bangunan berupa istana yang sangat megah ternyata berdiri di dasar lubuk itu.
Para penghuninya sepintas terlihat seperti manusia yang hidup di daratan. Tak ubahnya sebuah istana Kerajaan, dari depan pintu masuk bangunan itu, terlihat beberapa orang yang berjaga-jaga mengenakan pakaian seragam seperti prajurit bersenjata tombak.
Begitu pula di dalam bangunan itu, terdapat prajurit yang berjaga mulai depan pintu saat dibuka hingga ke ruangan di mana terdapat sebuah singasana, penjagaannya sangat ketat dan berlapis-lapis.
Kursi singasana yang berbentuk mulut buaya yang senang menganga itu berwarna putih ke perak-perakan, di situlah seorang perempuan cantik berpakaian putih memakai mahkota tepat di tengah-tengah mahkota itu terdapat pula permata berbentuk mata buaya.
Meskipun berparas cantik akan tetapi perempuan itu terlihat kejam dari sorot matanya, dialah yang disebut-sebut sebagai Ratu Siluman Buaya Putih penguasa lubuk tengkorak itu.
Siang itu terlihat dua orang laki-laki yang juga berpakaian prajurit datang menghadap ke singasana di mana Ratu Siluman Buaya Putih itu duduk.
Di sisi kanan dan kirinya juga tampak dua orang perempuan yang selalu mengipas-ngipas ke arahnya.
“Kami datang menghadap yang mulia Ratu,” ucap salah satu dari dua laki-laki setelah mereka membungkuk memberikan salam hormat dengan kedua tangan seperti menyembah.
“Apakah laki-laki yang baru kau bawa itu, sudah kau latih dan ajarkan tata cara hidup di Istana Buaya Putih ini, Gento?”
“Sudah yang mulia Ratu, semuanya telah saya ajarkan termasuk dasar-dasar gerakan ilmu bela diri seperti halnya pada saat mengangkat prajurit di istana ini,” jawab lelaki yang dipanggil Gento itu.
Ratu Siluman alihkan pandangannya pada laki-laki yang berdiri di samping Gento, meskipun sorot matanya terkesan kejam akan tetapi Ratu Siluman Buaya Putih itu juga memiliki senyuman manis dan itu salah satu ilmu daya tarik yang ia gunakan untuk membuat orang tunduk padanya.
“Siapa namamu?”
“Nama saya Wiryo yang mulia,” jawab lelaki yang berdiri di sebelah Gento itu.
“Bagaimana? Apakah kau suka tinggal dan mengabdi di istana ini?” tanyanya dengan angkuh.
“Ya, yang mulia. Saya senang dan bersedia menjadi abdi di Istana Buaya Putih ini.”
“Hemmm, bagus. Kau sekarang saya angkat menjadi prajurit, jika kemampuanmu di atas rata-rata mereka dapat pula saya jadikan pengawal nantinya,” tutur Ratu Siluman Buaya Putih yang memiliki nama asli Dewi Purbalara itu.
Lelaki yang memperkenalkan dirinya bernama Wiryo itu membungkuk memberi salam hormat, seperti yang dilakukannya tadi bersama Gento pada saat datang menghadap tadi.
“Saya akan setia pada yang mulia Ratu di manapun saya nantinya akan yang mulia tempatkan.”
“Baiklah sekarang kau boleh bergabung dengan para prajurit lainnya, sementara kau Gento tetap di sini karena masih ada yang ingin saya bicarakan padamu,” perintah Dewi Purbalara.
“Baik yang mulia,” ucap Gento dan Wiryo bersamaan.
Wiryo kembali membungkuk memberi salam hormat.
Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya ke luar dari ruangan singasana, sementara Gento masih berdiri di sana.
Tak lama setelah Wiryo meninggalkan ruangan singasana itu, Dewi Purbalara pun memberi kode dengan tangannya agar Gento lebih mendekat dan duduk di kursi yang ada di depannya berjarak tiga tombak.
"Ada yang harus kau kerjakan..."
********
Sementara itu, di pendapa, Arya yang baru saja dijamu makan siang oleh Kepala Desa Serayu itu nampak duduk selonjorkan kedua kakinya di atas pendapa itu.
Hanya beberapa menit saja Sang Pendekar berjuluk Rajawali Dari Andalas itu selonjoran. Begitu melihat Ki Darmo menghampirinya, kedua kakinya segera Arya tarik dengan posisi duduk bersila.
“Bagaimana Nak Arya setelah bermalam di sini? Apakah Nak Arya merasa betah?”
“Nyaman sekali Desa Serayu ini Ki, tengah hari begini hawa di sini masih saja terasa sejuk,” jawab Arya diiringi senyumnya.
“Ya, tapi malamnya sangat dingin terlebih jika hujan turun atau selepas hujan ketika sore hari.”
Wajah tua Ki Darmo mengerut, seolah berpikir dalam.
Arya merasa tetua desa ini memiliki beban berat.
Perlahan, ia pun berkata. “Wajar saja Desa Serayu ini berhawa dingin Ki, karena di sebelah barat, timur dan utara dikelilingi perbukitan. Sementara di sebelah selatannya terdapat sungai besar,” ujar Arya.
Ki Darmo pun mengangguk. “Seperti nama desa ini, sungai besar di sebelah selatan itu juga bernama Serayu, bermacam-macam jenis ikan air tawar yang ada di sana hingga sebagian dari penduduk desa ini menangkap ikan di sungai itu sebagai mata pencaharian mereka.”
Arya terdiam mendengar penuturan Ki Darmo.
Sungai menjadi tempat hidup sebagian warga. Pantas saja, Ratu Siluman Buaya Putih dan pengikutnya itu begitu mengganggu kelangsungan masyarakat di sini.
Setelah beberapa saat terdiam seperti memikirkan sesuatu, Arya pun kembali berbicara. “Apa beberapa orang warga yang pernah diculik Gento Ireng lalu dibawa ke dalam lubuk tengkorak itu merupakan para warga yang kesehariannya mencari ikan itu, Ki?”
Ki Darmo terdiam. Seketika, ia merasakan keanehan. “Justru, tidak ada satupun di antara mereka yang menjadi korban, Nak. Meskipun para warga menangkap ikan di sungai, tetapi mereka menjaga jarak yang cukup jauh dengan lubuk tengkorak.”
Arya kembali terdiam. Ia berusaha mencari tahu sebab kenapa korban penculikan justru para warga yang ada di pemukiman.
Mengapa bukan yang kesehariannya mencari ikan di bantaran Sungai Sedayu itu?
Tapi, ada satu hal lagi yang perlu Arya pastikan.
“Aneh juga ya Ki. Maaf, apa yang diculik laki-laki saja, Ki?”
Ki Darmo menggeleng. “Tidak Arya, ada juga perempuan. Tapi, memang para warga yang diculik itu laki-laki dan perempuan masih muda atau belum menikah,” jawab Ki Darmo. Arya nampak mengganguk. Sepertinya, dia telah paham penyebab kenapa para warga yang justru kesehariannya mencari ikan di sungai tidak pernah jadi korban. Mereka semuanya laki-laki yang telah berkeluarga. Siluman ini sepertinya tak tertarik dengan mereka. Ia butuh manusia-manusia yang dapat ia manfaatkan tenaganya. “Baiklah Ki, sekarang saya mohon izin ke kawasan lubuk tengkorak itu untuk menyelidiki. Siapa tahu saja, ada petunjuk yang saya dapatkan nanti berupa cara masuk ke dalam lubuk itu membebaskan para warga yang diculik." "Pasti, ada pintu rahasianya hingga Gento Ireng yang dulunya merupakan bagian warga desa ini bisa ke luar masuk dari lubuk tengkorak itu,” jelas Arya lagi. Ki Darmo menarik napas panjang. Ia khawatir dengan keputusan anak muda di depannya itu.Tapi, tak ada yang ia bisa lakukan. Perlahan, w
“Benar, silahkan duduk.” Gento Ireng memberi salam hormat, kemudian duduk di kursi yang ada di depan singasana tempat Dewi Purbalara duduk terlebih dahulu beberapa saat sebelumnya. “Terima kasih, ada apa yang mulia tiba-tiba saja memanggil saya untuk menghadap?” Gento Ireng bertanya demikian bukan tanpa sebab, ia merasa heran saja karena memang Ratu Siluman Buaya Putih tak biasanya memintanya menghadap setelah berhasil menjalankan tugas yaitu menculik salah seorang warga desa untuk dijadikan pengikutnya. Biasanya Dewi Purbalara memberi perintah sebulan atau dua bulan berikutnya untuk melakukan hal yang sama, tapi kali ini baru beberapa hari saja Gento Ireng diminta menghadap lagi. “Hemmm, kamu tentu merasa heran kenapa kamu saya minta menghadap?” “Benar yang mulia, maafkan apabila saya lancang bertanya seperti itu.” “Tidak apa-apa, ini memang terkesan mendadak karena saya melihat ada seorang pemuda di pinggiran lubuk dengan gerak gerik mencurigakan. Saya ingin kamu memeriksanya
Diam-diam Arya mengamati lelaki yang berdiri di sampingnya, meskipun pria itu tersenyum namun tak dapat ia sembunyikan jika raut wajahnya terkesan bengis. Kulitnya berwarna hitam dan di lehernya melingkar sebuah kalung yang di tengah-tengahnya terdapat bandul berupa kepala buaya berwarna putih, darah Arya langsung berdesir dan menyakini jika pria itu salah seorang dari anak buah Ratu Siluman Buaya Putih. “Apakah dia yang bernama Gento Ireng? Melihat dari ciri-cirinya yang dikatakan Ki Darmo berkulit hitam dan bertampang bengis?” Arya bergumam dalam hati. “Sepertinya benda yang saya cari sulit ditemukan, saya mohon diri saja Kisanak untuk melanjutkan perjalanan,” ujar Arya menghentikan kepura-puraannya mencari sesuatu dengan menyibak semak-semak di pinggiran lubuk tengkorak itu. “Oh, silahkan. Kisanak hendak ke mana?” “Saya ingin melanjutkan perjalanan ke arah sana,” Arya menunjuk ke arah utara. “Apakah Kisanak ingin ke Desa Serayu?” Gento Ireng bertanya kembali. “Desa Serayu? Me
Dewi Purbalara bersegera menemui Gento Ireng yang berada di ruangan di mana di sana terdapat singasananya, tanpa duduk terlebih dahulu Ratu Siluman Buaya Putih itupun berucap. “Pemuda itu berada di Desa Serayu.” “Berarti dia singgah di desa itu sebelum melanjutkan perjalanannya ke utara seperti yang dia katakan.” Gento Ireng terlihat memegang dagunya sendiri, seperti memikirkan sesuatu. “Benar, pemuda itu singgah di rumah Ki Darmo.” “Hah?! Ada keperluan apa dia hingga singgah ke rumah tetua Desa Serayu itu yang mulia?” Dewi Purbalara gelengkan kepalanya, karena memang ia hanya bisa melihat akan tetapi tak bisa mendengar suara atau pun percakapan Arya dengan Ki Darmo yang saat itu duduk di pendopo. “Kalau saat ini yang mulia perintah saya untuk menemui pemuda itu dan mengajaknya ke sini, saya rasa tidak mungkin yang mulia. Sebab pastinya Ki Darmo atau para warga desa yang lain jika melihat saya tidak akan membiarkan saya sampai di rumah tetua desa itu,” tutur Gento Ireng. Dewi
Arya bergumam dalam hati menduga jika ada sepasang mata yang saat itu tengah mengamatinya dari kejauhan di kegelapan malam, Arya kemudian berbicara pada Ki Darmo dengan suara pelan setengah berbisik perihal itu. Arya seperti berpamitan untuk meninggalkan pendopo, itu terlihat setelah berbicara sang pendekar berdiri dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan Ki Darmo yang masih duduk bersila sembari menikmati sisa kopi di cangkir bambu itu. “Hendak ke mana pemuda itu? Apakah mungkin malam-malam begini melanjutkan perjalanannya?” sosok di kegelapan malam yang diduga Arya mematainya bergumam. “Sebaiknya aku ikuti saja dia, begitu aman dari para warga aku akan menghampirinya.” Kembali sosok itu bergumam dalam hati, lalu dengan perlahan ia melangkah dari tempat ia berdiri memantau Arya di pendopo tadi. Tak jelas hendak ke mana Arya dari pendopo berpamitan dengan Ki Darmo tadi, yang pasti ia melangkah ke arah utara dari pendopo itu. Tepat di tempat sepi di mana tak ada satu orang wa
Ki Darmo bergumam dalam hati, cemas akan yang baru saja dikatakan Arya mengenai Gento Ireng yang mengajaknya bertemu di pinggiran lubuk tengkorak. “Apa Nak Arya tak merasa sesuatu yang aneh dengan diajaknya Nak Arya bertemu dengannya besok pagi di pinggiran lubuk tengkorak itu?” Arya menatap ke arah tetua Desa Serayu itu untuk beberapa saat, kemudian ia pun nampak tersenyum. “Tentu saja saya merasa aneh dengan ajakan Gento Ireng itu, akan tetapi apapun tujuannya saya sudah siap menghadapinya. Bahkan saya pikir ada baiknya juga memenuhi ajakannya itu Ki, bukankah dengan begitu saya nanti memiliki kesempatan untuk merebut kalung berbandul kepala buaya putih itu darinya?” “Hemmm, benar juga dengan yang kamu katakan itu Nak Arya. Akan tetapi Nak Arya harus berhati-hati, saya yakin Gento Ireng memiliki sesuatu rencana terhadapmu jangan sampai Nak Arya masuk dalam perangkapnya.” Kembali Arya tersenyum setelah mendengar penuturan dari Ki Darmo, sekaligus memberi nasehat kepadanya. “Ki
Gento Ireng berkata itu setelah merogoh kantong bajunya dan memperlihatkan pada Arya sebuah kalung seperti yang ia kenakan di lehernya. “Dengan kalung itu.....?!” Arya pura-pura terkejut dengan melongo melihat kalung bermandul kepala buaya putih di tangan Gento Ireng, kemudian arahkan pandangannya ke leher lelaki berkulit hitam yang duduk di sampingnya itu. “Kalung ini sama persisi dengan yang kamu kenakan di lehermu itu.” Gento Ireng tersenyum lalu mengangguk. “Ya, kalung ini memang sama dengan yang saya kenakan. Dengan mengenakannya juga di lehermu, kamu akan dapat bertahan lama berada di dalam air.” Kembali Arya terlihat melongo mendengar penuturan Gento Ireng. “Lalu siapa orang yang akan kita temui di dasar lubuk itu?” Gento Ireng arahkan pandangannya ke tengah-tengah lubuk tengkorak, Arya pun ikut pula mengarahkan pandangannya ke sana. “Dia seorang Ratu yang cantik dan kaya raya, kamu akan hidup senang jika bersedia menjadi bagian dari Istana Buaya Putih. Apapun yang kam
Tarno yang ditanya oleh kedua sahabatnya tak menjawab karena ia sendiri bingung harus melakukan apa, sementara Arya dan Gento Ireng telah masuk ke dalam lubuk tengkorak. “Sebelum kita berangkat ke sini bukankah Mas Arya mengatakan kalau kita tak perlu melakukan tindakan apa-apa selain kembali ke desa melaporkan apa yang kita lihat pada Ki Darmo,” ujar Tarno. Kedua sahabatnya saling pandang, lalu menganggukan kepala sepertinya mereka juga ingat akan yang dikatakan Arya ketika mereka akan ikut ke kawasan pinggiran lubuk tengkorak itu untuk memantau pertemuan Arya dan Gento Ireng. “Nah, sekarang ayo kita segera kembali ke desa menemui Ki Darmo..!” ajak Tarno. Tanpa menunggu waktu lama lagi mereka pun bergegas menuju Desa Serayu menemui Ki Darmo, mereka tentunya akan melaporkan semua yang mereka lihat mengenai pertemuan Arya dan Gento Ireng di tepi lubuk tengkorak itu. ******* Tubuh Arya dan Gento Ireng meluncur ke dasar lubuk, kedua kaki mereka menjejak tanah tepat di depan pintu g