Ki Darmo bergumam dalam hati, cemas akan yang baru saja dikatakan Arya mengenai Gento Ireng yang mengajaknya bertemu di pinggiran lubuk tengkorak. “Apa Nak Arya tak merasa sesuatu yang aneh dengan diajaknya Nak Arya bertemu dengannya besok pagi di pinggiran lubuk tengkorak itu?” Arya menatap ke arah tetua Desa Serayu itu untuk beberapa saat, kemudian ia pun nampak tersenyum. “Tentu saja saya merasa aneh dengan ajakan Gento Ireng itu, akan tetapi apapun tujuannya saya sudah siap menghadapinya. Bahkan saya pikir ada baiknya juga memenuhi ajakannya itu Ki, bukankah dengan begitu saya nanti memiliki kesempatan untuk merebut kalung berbandul kepala buaya putih itu darinya?” “Hemmm, benar juga dengan yang kamu katakan itu Nak Arya. Akan tetapi Nak Arya harus berhati-hati, saya yakin Gento Ireng memiliki sesuatu rencana terhadapmu jangan sampai Nak Arya masuk dalam perangkapnya.” Kembali Arya tersenyum setelah mendengar penuturan dari Ki Darmo, sekaligus memberi nasehat kepadanya. “Ki
Gento Ireng berkata itu setelah merogoh kantong bajunya dan memperlihatkan pada Arya sebuah kalung seperti yang ia kenakan di lehernya. “Dengan kalung itu.....?!” Arya pura-pura terkejut dengan melongo melihat kalung bermandul kepala buaya putih di tangan Gento Ireng, kemudian arahkan pandangannya ke leher lelaki berkulit hitam yang duduk di sampingnya itu. “Kalung ini sama persisi dengan yang kamu kenakan di lehermu itu.” Gento Ireng tersenyum lalu mengangguk. “Ya, kalung ini memang sama dengan yang saya kenakan. Dengan mengenakannya juga di lehermu, kamu akan dapat bertahan lama berada di dalam air.” Kembali Arya terlihat melongo mendengar penuturan Gento Ireng. “Lalu siapa orang yang akan kita temui di dasar lubuk itu?” Gento Ireng arahkan pandangannya ke tengah-tengah lubuk tengkorak, Arya pun ikut pula mengarahkan pandangannya ke sana. “Dia seorang Ratu yang cantik dan kaya raya, kamu akan hidup senang jika bersedia menjadi bagian dari Istana Buaya Putih. Apapun yang kam
Tarno yang ditanya oleh kedua sahabatnya tak menjawab karena ia sendiri bingung harus melakukan apa, sementara Arya dan Gento Ireng telah masuk ke dalam lubuk tengkorak. “Sebelum kita berangkat ke sini bukankah Mas Arya mengatakan kalau kita tak perlu melakukan tindakan apa-apa selain kembali ke desa melaporkan apa yang kita lihat pada Ki Darmo,” ujar Tarno. Kedua sahabatnya saling pandang, lalu menganggukan kepala sepertinya mereka juga ingat akan yang dikatakan Arya ketika mereka akan ikut ke kawasan pinggiran lubuk tengkorak itu untuk memantau pertemuan Arya dan Gento Ireng. “Nah, sekarang ayo kita segera kembali ke desa menemui Ki Darmo..!” ajak Tarno. Tanpa menunggu waktu lama lagi mereka pun bergegas menuju Desa Serayu menemui Ki Darmo, mereka tentunya akan melaporkan semua yang mereka lihat mengenai pertemuan Arya dan Gento Ireng di tepi lubuk tengkorak itu. ******* Tubuh Arya dan Gento Ireng meluncur ke dasar lubuk, kedua kaki mereka menjejak tanah tepat di depan pintu g
Dewi Purbalara tak meneruskan perkataannya, dia tiba-tiba saja melihat pada Gento Ireng mungkin apa yang hendak ia katakan tadi itu tidak ingin didengar orang lain selain Arya. Arya sendiri sama sekali tak merasa penasaran akan ucapan Dewi Purbalara yang tiba-tiba saja ia hentikan itu, Arya tetap terlihat santai saja. “Mari silahkan kita nikmati semua hidangan yang ada di meja ini,” ajak Dewi Purbalara. Gento Ireng dan Arya mengangguk, kemudian ikut menikmati hidangan sebagai jamuan makan oleh Dewi Purbalara di meja makan itu. Arya tiba-tiba saja berhenti saat baru sesuap nasi beserta lauk yang ia kunyah dan telan, ia arahkan pandangannya ke seluruh hidangan yang ada di meja makan itu. “Hidangan ini sangat enak dan tak ada yang terlihat aneh, barang kali perempuan ini saja yang sebangsa siluman tidak ikut pula dengan yang dihidangkan untuk dimakan pengikutnya di istana ini,” gumam Arya dalam hati. Tanpa ia duga ternyata Dewi Purbalara memperhatikan sikapnya yang tiba-tiba berhen
Tarno dan kedua rekannya dengan napas yang tersengal-sengal tiba di depan pendopo, dari pinggiran lubuk tengkorak tadi rupanya mereka berlari agar segera tiba di sana. Kedatangan mereka membuat Ki Darmo yang duduk di ruangan depan segera ke luar menemui mereka, tetua Desa Serayu itu menunjukan raut wajah terkejut dan juga cemas. “Apa yang terjadi?! Kenapa kalian datang seperti orang yang dikejar-kejar setan?” Tarno dan kedua sahabatnya masih berusaha mengatur napas mereka, melihat hal itu Ki Darmo menahan rasa penasarannya. “Mari duduk dan minum dulu, agar diri kalian tenang supaya dapat menceritakan dengan tenang hal terjadi hingga membuat kalian datang ke sini tergesa-gesa.” Tarno dan kedua sahabatnya pun duduk lalu meneguk air di dalam kendi secara bergantian, kendi yang berisi air yang telah dimasak dan terasa sejuk itu selalu ada di pendopo baik ada maupun tidak tamu yang duduk di sana. “Begini Ki, kami yang Ki Darmo perintahkan untuk memantau Mas Arya bertemu dengan Gento I
Dewi Purbalara segitu yakinnya jika Arya juga tunduk berkat pengaruh kalung buaya putih yang dikenakan Arya di lehernya itu, Ratu Siluman Buaya Putih itu juga menyakini jika sang pendekar takan pernah meniinggalkan istana itu meskipun diizinkan bebas ke luar namun bakal kembali lagi ke sana. “Terima kasih Dewi, kamu telah memberi izin pada saya jika ingin sesekali waktu ke luar dari istana,” ucap Arya. Dewi Purbalara sunggingkan senyum manisnya. “Hemmm, kamu tak perlu sungkan kapanpun kamu ingin ke luar saya tidak keberatan.” Arya balas tersenyum, dipikirannya muncul sesuatu rencana. “Oh ya, kalau diperbolehkan saya ingin berjalan-jalan di sekitar istana ini sekaligus berkenalan dengan seluruh penghuninya.” “Silahkan Arya, apa perlu saya temani?” Arya menggelengkan kepalanya. “Tidak usah Dewi, biar saya sendiri saja.” Dewi Purbalara kembali tersenyum. “Baiklah, kalau kamu ada perlu apa-apa sampaikan saja pada orang kamu temui di lingkungan istana ini.” Arya mengangguk dan b
“Nak Arya..?! Ayo, kita masuk dan bicara di dalam,” ajak Ki Darmo. Arya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Tidak usah Ki, kita bicaranya di pendopo ini saja.” Ki Darmo awalnya merasa kurang nyaman diajak Arya untuk duduk dan bicara di pendopo, namun setelah berfikir sejenak akhirnya ia mengiyakan ajakan sang pendekar itu. “Apa tidak sebaiknya kita bicara di dalam saja Nak Arya? Saya kuatir di sini akan mengundang kecurigaan jika tanpa sepegetahuan kita ada mata-mata dari Ratu Siluman Buaya Putih?” Kembali Arya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu kuatir Ki, tidak akan ada mata-mata yang akan menguping pembicaraan kita di pendopo ini. Saya memastikan begitu karena sebelumnya saya memang minta izin untuk ke luar dari lubuk tengkorak itu pada Dewi Purbalara, dia juga tidak akan curiga meskipun dia dapat melihat keberadaan kita di pendopo ini akan tetapi tak bisa mendengar apapun yang akan kita bicarakan.” Ki Darmo nampak melongo dengan yang dikatakan Arya itu.
Dewi Purbalara tak teruskan ucapannya, tiba-tiba saja wajahnya memerah karena hampir saja terlompat kata yang waktunya tidak tepat untuk diutarakan. Itu semua dikarenakan semakin besar dan dalamnya perasaan dia terhadap Arya, sejak pertama kali ia melihat Sang Pendekar Rajawali Dari Andalas itu di pinggiran lubuk tengkorak. “Kenapa Ratu Siluman Buaya putih itu tak meneruskan ucapannya? Apa sebenarnya yang ingin ia katakan?” gumam Arya dalam hati sembari mengaruk-garuk kepalanya. ******* Tiga hari sudah Arya berada di istana buaya putih itu, selama 3 hari itu pula ia memanfaatkan waktu untuk mempengaruhi para pengikut Dewi Purbalara agar muncul keinginan melepaskan diri dari pengaruh jahat Ratu Siluman Buaya Putih itu menjadikan mereka sebagai alat yang sewaktu-waktu dapat dikorbankan jika ada gangguan dari sebangsa siluman atau pasukan mahkluk alam lain melakukan penyerangan untuk memperebutkan daerah kekuasaan. Akan tetapi sejauh itu Arya belum menemui keberhasilan sedikitpun, me