Share

6. Kabar Dari Ibu Panti

Mata ibu pengurus panti terbelalak. Ia seolah-olah tak percaya bahwa betul-betul Wati yang berada di hadapannya saat ini.

“Iya, Bu. Ini aku Wati,” kata Wati lalu meraih tangan ibu pengurus panti untuk dicium olehnya. 

Perbuatan itu sudah biasa dilakukan Wati terhadap ibu pengurus pantinya sejak ia dapat mengingat meskipun umurnya masih kecil.

“Masuk, masuk! Kurusan kamu sekarang,” celetuk ibu pengurus panti ramah.

Wati tersenyum. 

Ia menyadari bahwa penampilannya saat ini sama sekali tidak enak dipandang. Tubuh kurus, wajah tidak terurus, dan kulit kering dan pecah-pecah. Masih ditambah lagi dengan pakaian yang melekat di tubuhnya amat lusuh. Berbeda sekali penampilan Wati dengan ibu pengurus panti yang gemuk dan berpakaian layak.

“Apa kabarmu, Ti? Kamu sendirian kemari? Suamimu kerja?” tanya ibu pengurus setelah mereka duduk di kursi ruang tamu panti.

“Iya, Bu. Mas Dedy kerja,” sahut Wati dengan hati perih.

Ia ingin menceritakan seluruh keadaan hidupnya saat ini pada ibu pengurus panti, tapi ia merasa saatnya masih kurang tepat.

“Kebetulan kamu datang berkunjung kemari. Ibu senang sekali. Ibu ingin menghubungimu tapi tidak tahu ke mana dan harus menghubungi siapa,” kata ibu panti dengan wajah berseri-seri.

“Maaf aku baru sempat bertandang sekarang, Bu. Ada apa, Bu?” tanya Wati heran.

“Keluarga yang dulu pernah membuangmu, datang kembali untuk mencarimu,” terang ibu pengurus panti dengan suara bersemangat.

Wati terbelalak.

“Keluarga?” ulang Wati tak percaya. Betulkah Wati memiliki keluarga? Bukan anak yatim piatu yang tak memiliki siapa-siapa?

*****

Wati masih menatap Bu Nara dengan pandangan seperti orang yang sedang bermimpi. Bu Nara membalas tatapan mata Wati dengan sungguh-sungguh, seolah-olah hendak meyakinkan Wati dengan sorot matanya.

“Iya. Panjang ceritanya sampai kamu dititipkan ke sini sewaktu bayi. Singkatnya, ayah dan ibumu masih hidup. Mereka datang kemari dengan mobil mahal. Mereka kaya, Ti!” ungkap ibu pengurus panti dengan penuh semangat.

Wati ternganga. Wati mengucek-ngucek matanya. Ia juga mencubit lengannya sendiri. Ia perlu meyakinkan diri bahwa semua ini bukan mimpi di siang bolong.

“Awww,” jerit Wati, saat Bu Nara ikut mencubit lengannya.

“Sakit, Bu,” rintih Wati.

“Aku bantu kamu meyakinkan diri, bahwa semua ini bukan mimpi,” ujar Bu Nara tenang. Tak tampak raut bersalah sedikit pun pada wajahnya.

Wati mengelus-elus lengannya yang memerah akibat dicubit oleh Bu Nara sebelumnya.

“Tapi, Bu. Apa semua ini nyata? Mereka enggak salah orang, kan?” tanya Wati dengan ekspresi wajah yang cemas.

Sejak lahir hidup dalam pengetahuan bahwa dirinya adalah anak yang terbuang dari keluarga yang tak menginginkan, membuat Wati tak sepenuhnya meyakini ucapan Bu Nara.

Pertanyaan Wati lahir dari perasaan takut bahwa anugerah yang baru saja diberikan tiba-tiba ditarik kembali. Ia tak mau kecewa, seperti rasa kecewa yang dialami bocah ketika diberikan permen lolipop besar lalu tiba-tiba permen itu jatuh ke dalam parit. Kecewa dan sakit hati pasti rasanya.

“Ibu yakin mereka nggak salah orang. Pasti kamu yang mereka cari. Ciri-ciri bayi yang mereka ceritakan itu ya kamu ketika dibuang ketika bayi,” tegas Bu Nara lagi.

“Memangnya apa ciri-ciriku sewaktu bayi, Bu?” tanya Wati penasaran.

“Kamu diletakkan di dalam keranjang yang jelek sekali, tetapi anehnya baju dan selimut bedong yang kamu kenakan itu sangat halus dan mewah,” terang Bu Nara.

“Tapi, mengapa mereka dulu membuangku, Bu?” tanya Wati heran.

“Sebetulnya mereka tidak membuangmu. Ada orang jahat di dalam keluarga yang tidak menginginkan kehadiranmu di dalam keluarga ayah ibumu. Dia menukar bayimu dengan bayi yang lain, lalu kamu disingkirkan,” kata Bu Nara dengan pandangan mata menerawang.

Bu Nara mengingat kembali kisah yang diceritakan oleh Bapak dan Ibu Sultan kepada dirinya seminggu yang lalu. 

Sampai sekarang, Bu Nara masih ingat wajah istri Pak Sultan yang sangat mirip dengan wajah Wati. Hanya saja, wajah Bu Sultan kelihatan lebih halus, mulus, putih, dan tak bercela. Sangat berbeda dengan wajah Wati yang dihadapinya saat ini, kusam dan terlihat gelap.

“Lalu bagaimana caranya mereka sampai tahu bahwa aku tertukar?” lanjut Wati, masih penasaran karena belum semua masa lalunya terungkap.

“Orang yang menukarmu membayar orang untuk membuang bayi. Kebetulan, orang suruhan ini sakit parah. Menjelang ajal, ia merasa bersalah kepada keluargamu dan mengakui perbuatannya di masa lalu kepada ayah dan ibumu. Tes DNA dilakukan pada anak mereka. Hasilnya, ternyata betul bahwa anak yang mereka sangka anak kandung ternyata bukan anak mereka,” kisah Bu Nara panjang lebar.

Wati mengangguk-angguk paham. Jauh di lubuk hatinya, Wati masih merasa semua ini seperti dalam mimpi saja.

“Kapan orang tuaku itu datang kemari, Bu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status