Area pemakaman yang dijaga ketat oleh pihak berwajib karena banyaknya media yang ingin meliput, membuat Ryu merasa jengah dan ingin marah memaki para pencari berita yang seakan tak punya empati pada keluarga korban.
Semua kerabat berduka dan menangis untuk Alvren. Seorang pemuda yang baik, periang dan lucu. Berkali, Ryu mengusap pipinya. Dia memakai kacamata hitam untuk menutupi matanya yang bengkak.
Semalaman dia menangis di samping Mamanya yang juga sangat terpukul.Alvren … pemuda itu tewas dengan tujuh luka tusukan di dada dan perutnya. Mayatnya ditemukan di halaman belakang gedung bioskop yang sudah terbengkalai.
Dia ditemukan oleh dua orang sahabatnya. Faris dan Nico.Ryu mengedarkan pandangan ke area pemakaman.
Tuan Andre membenarkan letak duduknya yang tadi disandarkan pada sofa menjadi tegak. "Jadi maksud Abang, Faris yang membunuh putraku?" Suaranya terdengar serak dan bergetar.Jefri mengedikkan kedua matanya, "bisa jadi. Bisa jadi juga, Ayahnya ada dibalik kamatian putramu." Dia menyunggingkan seutas senyum aneh.Andre menyandarkan punggungnya ke sofa lagi dengan lemah. Lalu matanya menatap lekat pada sang Papi. "Jika ini semua benar, kita tidak bisa tinggal diam, Pi." Suaranya yang serak begitu dalam dan penuh dendam..Mobil Ryu meluncur membelah jalanan ibukota yang padat merayap. Pikirannya kalut dan tidak tenang, hingga beberapa kali dia hampir menabrak kendaraan di depannya.Mobil masuk ke halaman rumah Simon. Di sana sudah ada dua mobil yang terparkir saat dia datang. Pemuda itu langsung masuk rumah dengan berlari.Ryu berdiri termangu dan menatap Simon yang sedang duduk di ruang tengah bersama Dipa dan Hamdan.
Alunan musik slow mengalun lembut menemani para pengunjung di kafe Ryujin yang artinya dewa laut dalam mitologi Jepang.Seorang gadis cantik dan berpenampilan modis masuk ke dalam kafe dan mengedarkan pandang seantero ruangan.Seorang laki-laki tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Wanita itu berjalan menghampirinya."Sudah lama menunggu?" sapanya hangat."Sudah dua tahun aku menunggu di kafe ini," jawabnya tertawa.Gadis itu ikut tertawa, "jelas. Kamu pemilik kafe ini. Apa kabar, Ryu Saloka?" Bella menatapnya lekat dan hangat."Baik, Nona Bella. Apa Anda ingin memesan sesuatu?""Boleh. Dorayaki sama coklat panas saja, Chef Ryu.""Siap. Saya akan buatkan yang paling spesial untuk Anda." Ryu membungkukkan badan lalu masuk ke dalam pantry diiringi Bella yang tertawa geli.Beberapa pengunjung melirik pada mereka. Tidak lama kemudian, Ryu muncul dengan membawa pesanan untuk gadis itu.&nb
Aroma pengharum ruangan menguar lembut seantero ruang kerja Tuan Prayoga yang besar. Ryu duduk dihadapan sang kakek dengan takzim."Kamu tahu, kenapa Opa memangilmu?""Tidak, Opa. Yang Ryu tahu, pasti ada hal penting yang ingin Opa bicarakan."Pria paruh baya itu menghela napas panjang. "Bagaimana usaha kafe mu?""Baik dan lancar," ujarnya singkat."Dari usaha kafe itu membuatmu belajar berwirausaha sendiri dan mandiri. Opa bangga dengan keinginanmu saat itu ingin mempunyai sebuah usaha sendiri." Tuan Yoga menyesap teh hangatnya perlahan."Nak … kamu tahu 'kan, perusahaan kita yang sekarang dipegang oleh Papimu, Dean. Saloka grup telah menggurita hingga mancanegara. Begitu banyak aset yang Opa miliki, baik di dalam negeri ini dan di luar negeri. Semua itu untuk siapa jika bukan untuk kalian, keturunan Saloka. Tapi, kini … saudaramu Alvren telah meninggalkan kita lebih dulu. Hanya tinggal kamu dan Jason.
Simon menuangkan sedikit wine pada sebuah gelas kecil, lalu memberikannya pada Ryu. Pemuda itu terkejut dan menggeleng."Kenapa?" tanya Simon datar."Ga enak rasanya, Bang. Lagian sama Mama juga ga boleh."Meledaklah tawa mereka semua. Dipa, Hamdan, Bono dan seorang pemuda yang mungkin usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari Ryu.Bahkan Bono sempat memukul kepala Ryu."Hei! Jangan ngawur lu! Dia ini calon pewaris Saloka," teriak Hamdan melotot pada Bono."Ah, iya lupa. Maaf … maaf Tuan muda." Wajah Bono berubah cemas dan dengan sungguh-sungguh meminta maaf pada pemuda itu.Semua orang tergelak melihat sikapnya, termasuk Ryu yang terpingkal melihat perubahan wajah Bono.Simon meneguk wine-nya."Minumlah. Karena minuman ini akan menjadi hidangan utama setiap lu menghadiri sebuah pertemuan. Biasakan untuk menikmatinya."Dengan ragu, Ryu menerima gelas wine itu dan meneguknya cepat. Seketika dia
Tiga tahun kemudian. November 2003.Langit sepekat jelaga, dengan awan hitam menggumpal berarak di penghujung senja.Aroma kopi menguar seantero ruangan.Aroma kopi dan hujan, perpaduan yang sangat sempurna.Seorang pria yang sudah beranjak semakin dewasa dengan rahang yang semakin kokoh, duduk dengan menyesap kopi hitam dalam diam. Dia menatap pada wanita yang memunggunginya sedang memandang rintik hujan dari kaca jendela setelah membuatkannya secangkir kopi."Duduklah di sini. Masalah tidak akan selesai jika kamu hanya memandangi hujan seperti itu," ucapnya lembut.Wanita itu mendesah dan berbalik, lalu duduk di hadapan sang pria."Jason datang melamar dengan Papinya, kemarin sore," kata si wanita dengan sendu.Pria itu terhenyak dan meneguk salivanya, getir. "Ke-kenapa aku tidak tahu?" Gagapnya dengan wajah gusar."Papa menyerahkan semua keputusan padaku," pungkasnya."Lalu kenapa wajahmu masih mu
Suara gelegar kilat membangunkan Ryu yang baru saja terlelap. Dia menggeliat malas lalu bangun dan membuka gorden jendela balkon. Hujan deras masih mengguyur disertai kilatan petir yang menggelar.Dia menyulut sebatang rokok dan duduk termenung di sofa sambil mengisap rokoknya.Suara dering dan getar ponselnya tak terdengar olehnya. Tidak lama kemudian, dia mematikan rokoknya pada sebuah asbak dan hendak beranjak menuju kamar mandi saat sudut matanya menatap layar ponsel yang baru saja berkedip dan mati. Pemuda itu menghampiri ponsel yang dia letakkan diatas nakas. Terlihat hingga dua belas kali panggilan tak terjawab. Ryu melihat namanya dan terhenyak karena itu panggilan dari Bella. Dia melihat jam pada ponsel, hampir pukul dua malam. Ada apa Bella menelepon dia pada tengah malam begini?Dengan cepat Ryu menekan ponselnya dan mencoba menghubungi gadis itu. Namun, hanya suara operator yang menjawab panggilannya. Dia mencoba berkali-kali menghu
Mentari bersinar cerah dan langit terlihat biru bersih dengan sedikit awan tipisnya.Agtha mondar-mandir dengan gelisah mengenakan gaun kebaya berwarna peach sambil memegang ponselnya."Atha … gimana keadaan Ryu?" Nyonya Merry menghampiri putrinya dengan cemas."Nggak pernah diangkat, Mi. Ponselnya mati." Matanya berkabut karena cemas dan sedih.Nyonya Merry duduk di sofa dengan lemas. Tina dengan sigap memberikan minuman untuk majikannya.Sudah lebih dari satu bulan cucunya itu tidak pulang sejak kejadian pertengkaran saat itu. Bahkan Dodi dan Evan juga seperti ikut menghilang dan tak ada kabar."Mami, kenapa masih di sini? Semua sudah siap tinggal menunggu kalian." Dean muncul dan mengajak mereka untuk keluar.Agatha mengusap sedikit sudut matanya yang berair lalu mengikuti Dean. Sedangkan Nyonya Merry berjalan perlahan dengan di papah oleh Tina. Mereka semua masuk dalam mobil. Ada sekitar kurang lebih s
Dengan dibantu Simon, akhirnya Evan bisa membawa pulang pemuda itu ke rumah. Dodi yang cemas menunggunya tersenyum saat melihat mereka bertiga.Dia ikut membantu memapah Ryu dan membaringkannya di ranjang.Simon menatap prihatin pada pemuda itu."Jason sudah menikahi Bella, tiga hari yang lalu."Dodi dan Evan sedikit tertegun dengan berita itu. Meski mereka tahu hal itu akan terjadi, tapi mereka tidak menyangka jika secepat itu keluarga Saloka memutuskan tanggal pernikahan."Lu sebaiknya pulang dan mengabarkan pada ibunya bahwa dia baik-baik saja," ujar Simon pada Dodi."Kenapa tidak sekalian membawa pulang Tuan muda?" sahut Dodi sedikit keberatan."Lu tahu 'kan, psikis dia masih labil. Apalagi saat dia tahu mereka benar-benar menikah. Biarkan dia di sini bersama Evan." Simon menatap tajam manik mata Dodi.Pria itu diam dan mengalah. Mau tidak mau memang dia harus pulang dan meninggalkan Tuannya di sini se