Pikiran Vinn terasa penuh. Tentang Clara, kematian kedua orang tuanya, juga teka-teki yang seakan ditutupi oleh kakek dan juga pamannya. Kepalanya mendadak pening. Saat Daniel dan Aiden menawarkan untuk membantu, ia hanya mengiyakan. Ditatapnya dua pria yang kurang lebih sebaya dengannya itu. Mereka tampak berdiskusi untuk membuka lemari tua. Vinn mengarahkan senter ke segala sudut ruang dan menemukan cermin seukuran orang dewasa. Sudah cukup usang, tapi mengingatkannya akan sesuatu. Pria itu mendekat, mengamati lekat. Semula hanya ada pantulannya sendiri. Namun lama kelamaan muncul bayangan Clara, wanita yang baru saja membuat hatinya patah. 'Clara?' batinnya sembari menyentuh pantulan itu. Senyum di wajah wanita itu terlihat aneh. Vinn menggeleng dengan memejamkan mata, berharap halusinasi ini segera menghilang. Ia yakin pikirannya hanya sedang kacau. Suara Daniel dan Aiden tiba-tiba membuatnya menoleh. "Jangan lakukan it
Dua hari kemudian. Vinn duduk menyendiri di balkon lantai dua mansion setelah makan pagi. Diam sejenak, ia ingin mengatur langkah selanjutnya untuk meneliti tentang Pakta Hitam dan juga kematian kedua orang tuanya. Menurut informasi yang pamannya berikan, di hari kecelakaan itu orang tuanya menggunakan supir. Vinn juga mengenal sopir itu, Pak Didi namanya. Pria itu belumlah terlalu tua, sekitar awal empat puluhan."Tapi kenapa harus mengundurkan diri? Apa dia tau sesuatu?" Vinn bertanya meski tidak ada yang menjawab. Daniel muncul tak lama kemudian dengan setelan hitam seperti biasa. Ia mengangguk hormat ketika tiba di depan Vinn. "Kau sudah lakukan tugas yang kuberikan?" tanya Vinn. "Sudah, Tuan. Pak Didi saat ini berada di Kota B." Pria itu menyebutkan sebuah kota yang berjarak puluhan kilometer dari tempat mereka sekarang. "Bagus." Vinn bangkit dari kursi. "Apa Tuan akan ke sana sekarang?""Ti
Vinn menikmati makan malamnya tanpa bersuara. Angannya melayang, pada kejadian pagi tadi usai menemukan Pakta Hitam. Lembaran itu kini ada di kamarnya. Tersimpan rapi dalam kotak kecil."Kudengar kau mengunjungi rumah lama." Kakeknya yang sedari tadi diam tiba-tiba mengawali pembicaraan. "Iya.""Apa kau menemukan sesuatu?" Kakek Richard bertanya tanpa melihat ke arahnya. Netra tua itu sedang fokus pada santapan berupa steik salmon. "Aku masuk ke ruang kerja kakek buyut," ungkap Vinn. Ia sedikit ragu untuk mengatakan tentang Pakta Hitam. Mendengar itu, Kakek Richard langsung menatapnya lurus. Pria itu tampak terkejut tapi di saat yang sama tak ingin menunjukkan ekspresi itu. "Untuk apa kau ke sana?" tanyanya dengan nada dibuat setenang mungkin. "Kakek tak suka aku ke sana?" Vinn balik bertanya. Nafsu makannya mendadak hilang. "Vinn, kau bukan anak kecil. Aku tahu kau mencari sesuatu di sana. Pamanmu juga te
Nyonya Amber meminum teh hijaunya dengan tenang di teras belakang mansion milik sang ayah, salah satu spot favoritnya di bangunan besar ini. Sudah lama rasanya sejak ia terakhir datang. Malam ini pun ayahnya alias Tuan Ronald Hazard tidak berada di tempat.Dan sejujurnya ia tak terlalu ambil pusing karena tujuannya datang adalah untuk menemui si calon menantu. Wanita bernama Clara yang kemarin sempat Martin singgung di acara makan malam. Langkah lebih dari satu orang terdengar di lantai marmer. Clara dan Martin mendekati kursi Nyonya Amber untuk memberi salam. Seorang palayan juga mengekor di belakang mereka, membawa nampan berisi tiga potong roll velvet cake. "Ma, ini Clara," ujar Martin. Seakan sudah terlatih, Clara memberikan senyum manis walau netranya masih sedikit sembap. Nyonya Amber memperhatikan wanita cantik itu sambil sesekali mengangguk kecil. Ia tahu selera Martin selalu bagus, tak pernah mengecewakan. Tapi baru sekarang sang putra
Di sudut lain, Vincent juga tengah memperhatikan gerak-gerik wanita bernama Clara. Ia merasa aneh ketika melihat Martin memberikan sepotong strawberry cheesecake pada tunangannya itu. Clara sempat menggeleng. Namun Martin justru memotong cake dan hendak menyuapinya. Ingin hati, Vinn mengambil alih piring kecil itu. Ia sangat ingat, Clara tidak bisa memakan produk strawberry dan turunannya. Jika memaksa, wanita itu akan mengalami shock anafilaksis. Vinn mengawasi sekitar, mencari cara untuk mencegah Clara memakan cake itu tanpa harus menggunakan turun tangan sendiri. Beberapa detik kemudian, ia memanggil salah satu pelayan pria yang bertugas menawarkan minuman pada para tamu. "Aku punya tugas untukmu," ujar Vinn lalu membisikkan sesuatu. "Saya mengerti, Tuan." Si pelayan mengangguk usai menerima belasan lembar uang merah dari Vinn. Tak lama berselang, perhatian Vinn kembali terfokus pada Martin dan Clara. Pelayan pria dengan seragam coklat dan hitam itu mendekat, sesuai dengan per
Seperti biasa, Daniel yang siang itu menyetir di perjalanan menuju kantor. Meski tugasnya rangkap sebagai asisten dan supir, rasanya belum sebanding dengan gaji yang Vinn berikan.Upah setahun dari tuan muda itu telah cukup untuk membeli mobil sport mewah impiannya. Vinn yang terkenal dingin dan tegas, nyatanya adalah bos yang pandai mengapresiasi pekerjanya. "Tuan ingin mampir ke suatu tempat?""Tidak. Langsung ke kantor saja," ujar pria muda dengan suit hitam itu. Hening kembali selama beberapa menit. Tak lama kemudian, Vinn teringat akan kedatangan Paman Tino ke mansion tadi usai makan siang. "Daniel, apa ada yang terjadi dengan proyek Paman Tino di kota M?" tanyanya pada si asisten. "Saya sempat mendengar kabar kurang baik tentang proyek itu. Terdapat trouble hingga menyebabkan belasan pekerja meninggal. Keluarga korban meminta ganti rugi yang tidak sedikit, jika tidak dipenuhi mereka mengancam akan membawa masalah ini ke meja hijau.""Trouble? Seingatku proyek pembangunan itu
Malam belum terlalu larut. Usai menyelesaikan makan malam, Vinn keluar dari mansion. Untunglah Kakek Richard langsung masuk ke ruang baca, jadi Vinn tidak perlu repot mendapat berondong pertanyaan. Daniel sudah siap di samping mobil. Ia membuka pintu untuk Vinn yang kali ini ingin duduk di sampingnya. Tak lama kemudian mobil telah melaju melalui rute yang tidak seperti biasanya. Di belakang mobilnya, juga ada satu mobil lain berisi empat bawahan Daniel. "Ada informasi terbaru tentang Pak Didi?" Vinn bertanya tentang orang yang ingin ia datangi sekarang. "Menurut kabar, dia tinggal sendiri di sebuah flat kecil," jawab Daniel. "Saat masih bekerja untuk ayah, aku yakin dia punya istri dan satu anak. Di mana mereka?""Kami masih mencarinya, Tuan. Dan kondisi Pak Didi tidak dalam keadaan baik." Daniel fokus pada jalanan menuju luar kota. "Apa maksudmu?" "Lebih baik Tuan melihatnya sendiri. Saya tidak tahu pasti apa yang terjadi dengannya."Satu jam dua puluh menit kemudian, mereka sa
Esoknya, setelah memimpin rapat di kantor, Vinn kembali ke ruangannya. Ia ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan aktifitasnya. Tak lama kemudian, seseorang masuk. Sekretaris membawakan teh panas yang ia pesan beberapa menit lalu. Wanita dengan blouse mocca itu meletakkan teh di atas meja. "Bapak butuh sesuatu yang lain?" tanya wanita bernama Lauren itu. "Segera berikan rekap laporan hasil meeting tadi. Saya tunggu dalam tiga puluh menit," ujar Vinn. "Baik, Pak."Vinn menyesap sedikit tehnya lalu beralih pada ponsel. Benda pipih seharga dua puluh juta rupiah itu bergetar lebih dari sekali. Ada empat pesan masuk dari Daniel. Satu teks dan tiga lainnya berupa foto.[Saya telah memeriksa sketsa-sketsa dari flat Pak Didi. Sketsa itu mirip dengan logo perusahaan pengiriman milik Tuan Ray]Jemari Vinn berpindah pada foto-foto. Jika diperhatikan sketsa itu memang mirip dengan logo. Berbentuk diamond dan pada bagian atasnya terdapat spiral.'Tuan Ray?' Vinn masih ingat betul pria t