“Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi. Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil. “Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!” “Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri. “Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya. “Ya!” Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya. Seola
Ah, yang benar saja! Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya. Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala. “Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!” Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal. Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu! "Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu. Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama ak
“Hmm ... baunya enak, wangi!” Kubuka kantong keresek putih, yang sudah ada kemasan mangkuk sekali pakai di dalamnya, hingga aku tak perlu lagi mencuci setelah menggunakannya. Soto aku tuangkan dari bungkusnya dan aku cicipi rasanya ... enak juga! Kebetulan aku belum pernah singgah di warung soto ayam yang dikatakannya. Aku menikmatinya sampai habis, dan kenyang karena ada lontongnya. Setelah selesai makan dan minum, aku melihat smart phone-ku. Membalas semua pesan dari bapak dan ibu satu persatu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi sejak sore hari. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, dan aku membalas dengan mengetik bahwa aku baik-baik saja. Namun, ada satu pesan aneh, dari nomor yang tidak kukenal, yang baru di kirim saat aku mengaktifkan data ponsel. Pesan yang tertulis dari nomor itu sangat membuatku tercengang. “Gimana sotonya, enak? Dihabiskan, ya?” Deg! Nomor siapa ini? Kalau menanyakan soto, itu berarti Mas Ragil, tapi dar
“Alhamdulillah, semua sehat dan normal! Tapi ....” kata seseorang, yang sedang berdiri di sampingku, aku yakin dia dokter yang memeriksa keadaanku setelah siuman. “Tapi apa, Dok?” itu suara Mas Ragil. “Tapi, lukanya cukup dalam, jadi butuh pemulihan lebih lama dari biasanya!” “Oh!” kata para ibu hampir bersamaan. “Bu Mina, bisa mendengar saya?” dokter itu bicara pelan dekat telinga dan aku pun mengangguk. “Istirahat saja ya, Bu! Untuk sementara jangan banyak gerak, terutama di bagian kepala, karena terluka, untung Ibu cepat dibawa ke sini sama suami! Alhamdulillah! Jadi, Ibu tidak kehabisan darah!” Apa? Aku hampir kehabisan darah? Siapa lagi itu yang mengaku suami? Enak saja! Sekali lagi aku mengangguk. Setelah tahu aku bisa merespons dengan baik, dokter itu pun berlalu. “Alhamdulillah, Dek Mina dengar dokter tadi bicara, kan?” kata Mas Ragil dan aku sekali lagi hanya mengangguk. “Ya, sudah, istirahat saja, jangan mikirin apa-apa, yang penting sembuh aja dulu!” kata pria itu
“Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam
“Assalamualaikum, Mbak Mina! Loh, Mbak Mina kenapa?” Sudah kuduga akan seperti itu reaksi Ismaya. Ia tampak begitu terkejut karena tidak ada kabar apa pun tentang keadaanku padanya. Ah, mana ada bencana yang memberi berita sebelum kedatangannya.Mata Ismaya tampak berkaca-kaca, aku tidak menyangka kalau calon istri adikku itu, begitu sensitif perasaannya. Landu segera menceritakan apa yang dia alami barusan hingga mendapati aku yang terbaring di rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan kejadian kecelakaan sesuai versi Mas Ragil.“Oh, jadi kepala Mbak Mina bocor?” tanyanya, mungkin kepalaku bisa disamakan dengan panci. Tiba-tiba ibu mendekat.“Lihat, nih! Kepala calon Mbak ipar kamu ini botak! Profesor juga bukan!” kata ibu seraya membuka jilbabku dan memperlihatkan perban yang begitu besar di sisi sebelah kiri kepalaku. Tentu saja aku terkejut melihat penampakan diriku di layar itu. Kepalaku botak sebelah! Ternyata sebegitu parahnya lukaku hingga sebagian rambut hilang karena di c
“Maaf, saya tidak tahu! Ada apa ya Mbak?” lagi-lagi Abid balik bertanya.“Nggak apa-apa, kayaknya saya salah orang!”“Sudah, sudah! Biar adikmu pulang, kamu ini malah tanya yang bukan-bukan!” Ibu berkata sambil melambaikan tangannya pada Linda dan Abid, isyarat untuk mengabaikanku.Mereka lantas berpamitan, tapi masih kurasakan tatapan Abid yang tajam ke arahku. “Mina, gimana sekarang kepalamu?” tanya bapak dengan wajah yang khawatir.“Alhamdulillah, Pak. Kepalaku masih nempel di leher!”“Hus! Kamu ini selalu saja kalau ngomong sama orang tua nggak pake otak!” kata ibuku sambil menepuk kakiku karena beliau duduk di ujung tempat tidur sedangkan bapak duduk di kursi sebelahku.Aku duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit yang sudah di setel oleh Linda tadi, sebelum pergi. Melihat bapak dan ibu berada di dekatku, membuat hatiku bahagia. Namun, hal yang mengganjal adalah kebersamaan kami karena harus menungguku di rumah sakit. Kalau aku melihat bapak, beliau adalah laki-lak
“Siapa, ya?” tanyaku dari dalam kamar, pada orang yang menggangguku. Berhubung tidak ada jawaban, aku memaksakan diri ke luar dengan menyeret langkah malas.“Mbak Mina, ini saya!”Aku mendengar Teh Mela bicara tepat saat aku sudah berdiri di depan pintu dan bersiap untuk membukanya.“Ada apa, Teh?” Langsung saja aku bertanya, karena sedang tidak ingin basa nasi dengan siapa pun juga.“Alhamdulillah, Mbak Mina sudah pulang beneran, aku cuma mastiin aja, kok! Soalnya tadi kayak liat ada orang di kontrakan!”Cuma mastiin aja semuamu! Aku lagi pusing, tahu?“Lah, memangnya lagi pada ke mana?” tanyaku penasaran.“Acara tujuh bulanan anak Bu RT, mau punya cucu baru dia!”“Oh, pantas saja sepi kontrakannya, ya sudah, kalau gitu saya mau tidur lagi!” kataku, hendak menutup pintu. Namun, tiba-tiba aku teringat tentang baju yang pernah kupakai di rumah sakit. Ditambah soal nomor telepon nyasar di smartphoneku, dia tersangka utamanya. Jadi, aku memanggil Teh Mela lagi.“Teh, baju yang s