Dalam benak Dini, ia sama sekali tidak percaya atas ucapan Badrun. Tiba-tiba handphone Badrun berbunyi nada panggilan masuk. Dia mengambil handphone dari dalam saku celananya, lalu melihat ke layarnya. Nama Iwan tertera disitu. Sesaat Badrun menatap kearah Dini, lalu berdiri, "Sebentar yah..," kata Badrun sambil melangkah keluar dari warung. Badrun menjauh dari warung situ, supaya suara pembicaraannya tidak terdengar oleh Dini dan juga Tia. Dia menuju ke satu kursi kayu yang ada di tepi pantai. "Ya hallo kang.. gimana kabarnya?" kata Badrun, matanya menatap ke arah warung. "Assalammu'alaikum kang Badrun.. saya sehat-sehat saja. Cuma mau ngabarin, mudah-mudahan saya bisa secepatnya kembali kesitu, dan mulai kerja di tempat kang Badrun. Gimana kabar anak dan istri saya? apa kang Badrun sempat menengoknya?" "Belum sempat kang.. soalnya setiap hari saya bantu kerjaan kasir di Tempat Penampungan Ikan, jadi belum ada waktu nengokin Tia lagi," Badrun berdusta. "Oke gak apa-apa kang.. ud
“Oh, jadi kamu selama ini udah main gila dengan wanita ini? Tega kamu ya!” Nada bicara wanita itu terdengar begitu keras. Dia bertepuk tangan sambil tersenyum miring melihat kelakuan lelaki di hadapan yang tak lain adalah suaminya. “A-aku bisa jelasin semuanya, Wi. Maafin aku.” Iwan. Lelaki itu terlihat gugup. Dia yang memiliki status suami istri dengan Dewi berusaha tidak tegang. Kebusukan yang selama ini ia rahasiakan dari Dewi ternyata terbongkar juga. Ini baru pertama kali, masih banyak kebohongan lain yang sebenarnya Iwan sembunyikan. “Apa lagi yang mau dijelaskan? Kamu udah berhasil goda suamiku, pergi kamu dari rumah ini! Kamu saya pecat sebagai asisten rumah tangga!” Dewi menangis. Dia kecewa terhadap Dini yang sudah tega merusak rumah tangganya. Padahal Dini bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya sudah bertahun-tahun. “Saya bisa jelasin semuanya. Sa-saya khilaf. Ini salah paham.” Dini buka suara. Masalah selesai. Rupanya Dewi masih punya hati untuk memaafkan a
“Dini, keluar kamu,” bentak Dewi kasar. “Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan. ”Bohong kamu!” Dewi menerobos gordein yang menutup pintu kamar. Dilihatnya kamar itu kosong. ”Kamu sembunyikan dimana iblis laknat ?!” Dewi semakin menggila, mencari ke balik pintu kamar, dalam lemari, sampai kolong tempat tidur. ”Dini sudah meninggal Wi,” kata Iwan sambil mengajaknya keluar dari kamar. ”Jangan sentuh aku!" Dewi menepis tangan Iwan dengan kasar. "Baguslah kalau udah meninggal, biar dia langsung masuk ke neraka," ucap Dewi lantang. Hati wanita sesabar apa lagi yang tak akan marah saat diuji perselingkuhan didalam rumah tangganya. Dewi membalikkan tubuhnya kembali mendekati Tia sambil menggerutu. ”Perempuan tidak tau diri, tidak tau berterimakasih." Pak Sidik dan Iwan hanya bisa terdiam di situ. "Kami sudah berusaha membawa Tia berobat kemana-mana neng Dewi, tapi Tia masih tetap seperti itu," ucap pak Sidik.Di sela-sela itu, Iwan masuk ke kamar lagi. Ia kembali setelah beberapa men
Dewi senang mendengar kata-kata Tia yang menyebut ibu padanya, karena selama ini, belum pernah terdengar kata “ibu” keluar dari mulutnya. Tia lalu dijaga oleh mbak Surti, sementara Dewi bisa sedikit lebih tenang. Dewi beruntung, karena selama pandemi ini dia bisa kerja dari rumah, meski kadang dua minggu satu kali ia harus meeting ke kantor, tetapi hal itu tidak merepotkan dirinya. Ia mulai dengan kegiatan baru, di samping kewajiban rutin atas tanggungjawab kerja dari kantornya, ia merawat Tia bersama mbak Surti di rumah. Tia bertanya kepada Dewi. Tidak sekali dua kali, berkali-kali. ”Iwan kemana Bu?" ”Iwan itu siapa? Ibu siapa?" Dewi kembali sedih, ternyata Tia belum mengenalnya sebagai ibu kandungnya. Sejauh ini dia hanya tahu sebutan ibu, seolah hanya sebuah nama panggilan saja. Ia ingin konsultasi pada psikiater, dan sekaligus pada dokter ortopedi, tapi suasana rumah sakit masih dipenuhi oleh pasien covid19. Ada perasaan takut yang hadir dan mencengkeram hatinya. Takut tertul
Dini mengambil air wudhu dari kran di kamar mandi rumah pak Sidik. Perasaannya campur aduk, setelah mendengar semua kejadian yang diceritakan oleh pamannya Iwan.”Neng Dini ga perlu temui Iwan dan neng Dewi lagi. Kasian mereka..”Dini mengangguk pelan.Dalam shalat, Dini mengadukan semua kepada Tuhannya. Tiba-tiba saja ia langsung menangis karena teringat akan dosanya yang begitu banyak terasa. Pikirannya yang kalut karena beranggapan bahwa salahnya itu banyak sekali, mungkin Tuhan juga tidak mudah memaafkan dirinya. Dini shalat dengan sangat khusyuk, disetiap gerakan shalat wanita itu tidak hentinya meneteskan air mata. Hingga diakhiri dengan salam. Dini memanjatkan doa, kesulitannya dia berkata, karena lidahnya kelu, dan hanya mampu menangis dengan hebat."Aku adalah pendosa, aku begitu buruk ya Allah, sekarang ini aku menghadap padaMu, dengan keadaanku yang seperti ini. Ya Allah... Maukah Engkau memaafkan aku? Seorang wanita yang hina dan banyak menorehkan malu pada diri sendiri,
Dalam hati, Iwan merasa menyesal sudah melukai hati Dewi dengan berselingkuh. Walaupun itu masa lalu, Iwan tetap merasa berdosa. Dia berjanji akan menemui Dewi saat sudah kembali dari puncak. Dia sekaligus ingin bertemu Tia. Lalu muncul inisiatif untuk Iwan mengajak Dewi rujuk, tetapi apa Dewi mau menerima ajakannya. ** Pagi itu, setelah kembali dari puncak, Iwan langsung menuju ke rumah Dewi dan berniat mewujudkan rencananya dari awal. Kedatangannya kali ini akan dibuat lebih baik. Ia ingin bicara serius dengan Dewi, mengajaknya untuk kembali rujuk. Jika Tuhan saja masih mau memaafkan kesalahan hambanya, Iwan yakin Dewi akan memaafkan kesalahannya. Ia tidak pernah menganggap jika Dewi akan mengusirnya saat Iwan mengatakan tentang perasaannya sekarang. Tok! Tok! Pintu rumah Dewi diketuk. Saat itu Dewi masih asyik mengajak Tia berbicara dan mencoba mengembalikan ingatan puterinya, ia lalu menghentikan terlebih dahulu. "Nanti ya. Ibu mau lihat siapa yang datang." Dengan langkah p
Dewi mengunci pintu kamarnya, diatas kursi roda, tubuh Tia gemetaran, ketakutan."Ibu, apa mereka orang jahat?"Degh !Pertanyaan Tia membuat Dewi bingung merangkai kata jawabannya, ia berjongkok disamping kursi roda Tia, menggenggam tangan Tia dengan kelembutan, akhirnya Dewi harus mengatakan apa yang sebenarnya dulu pernah terjadi. "Dulu, mereka berdua pernah jahat pada ibu. Mereka membawa Tia pergi sampai jauh dari ibu, tapi sekarang Tia sudah dikembalikan lagi kepada ibu. Ibu senang sekali." kata Dewi sambil menciumi pipi Tia.Tia belum paham apa yang dibicarakan Dewi. Namun melihat airmata yang menetes dipipi Dewi, Tia lalu menghapus lembut dengan jemarinya." Ibu jangan nangis, Tia ga tau.. Tia ga tau buu... "Dewi memeluk Tia, mengelus-elus rambut dikepalanya. Meskipun Dewi tahu persis kesadaran Tia belum pulih, tapi ia sudah mau berbicara dengan ibunya, walaupun masih menganggap ibu hanya sebuah panggilan tanpa makna yang jelas baginya. Kamar Dewi tidak terlalu luas, tapi dis
Dalam perjalanan menuju ke kedai Kopi Para Mantan, hati Iwan masih galau. Pada satu sisi dia tidak mau kehilangan Dewi dan Tia, tapi disisi lain dia membayangkan lelaki lain, yaitu sang psikiater, yang bakal hadir kedalam hidup Dewi dan Tia. Apalagi dari pembicaraan dr Finka tadi, mereka satu sekolah di SMA, masa muda yang penuh nostalgia. Ditambah lagi ingatannya pada Dini yang masih tak sadarkan diri di rumahsakit. Apakah dia bisa setega itu dengan membiarkan nasib Dini yang harus menghadapi kenyataan hidupnya sendirian?. Iwan tahu persis masa lalu Dini di kampungnya. Dini diperlakukan semena-mena oleh kedua orangtuanya, bahkan telah beberapa kali diperkosa oleh ayahnya sendiri. Itu sebabnya Dini kabur dari rumah, berusaha hidup mandiri; sampai akhirnya nasib membawanya ke kota Jakarta."Woiii.. lu mau belok kanan atau ke kiri, itu sen yang bener dong!" bentak seseorang dari sebuah motor yang tiba-tiba muncul di samping kirinya.Iwan tersentak dari lamunannya, dia lalu minta maaf k