“Kamu mau kemana, Dan?”
Langkah Dandy berhenti di depan ruang makan. Ia memperbaiki dasinya dengan santai, lalu menoleh ke meja makan, tempat Laksmi dan Bianca sarapan.
“Aku mau ke kantor, Bu.”
“Sepagi ini?”
“Sarapan dulu, Mas,” panggil Bianca manis. Ia mengangkat piring Dandy, mengambil beberapa sendok nasi goreng buatan Lia untuk sarapan.
Dandy menghela napas panjang. “Ada meeting, aku akan sarapan di kantor,” jawab Dandy seraya melanjutkan langkahnya.
Wajah Bianca berubah sendu, lalu meletakan piring itu kembali ke atas meja.
“Bi, Dandy kan lagi sibuk kerja, kamu jangan sedih, ya.” Laksmi menyentuh tangan menantunya, menunjukan empati yang terlalu berlebihan. “Yang penting kan sekarang Dandy sudah berubah. Dia selalu pulang ke rumah tepat waktu. Dia pasti sudah nggak ketemu sama perempuan murahan itu lagi. Jadi kamu nggak perlu cemas.”
Bianca tersenyum tipis kepada kata-kata ibu mertuanya. “Iya, Bu, Bian ben
Beberapa tahun yang lalu.Sebuah keluarga bahagia menjalani sebuah pemotretan untuk menjadi sampul majalah. Ibu yang cantik, ayah yang gagah, dan dua putri yang begitu mempesona. Mereka menggunakan gaun berwarna emas, senada dengan sapu tangan yang tersemat di kantong jas sang ayah. Keempatnya tersenyum lebar di hadapan kamera, pun ketika masuk ke sesi wawancara.Tidak ada sedikitpun celah dari keluarga bahagia itu.Semuanya tampak sempurna.Setidaknya, sampai suatu hari si ibu ditemukan tewas setelah bunuh diri, melompat dari istananya sendiri.***Siang itu kantor mendadak riuh oleh kedatangan seorang anak magang yang baru. Belum apa-apa orang-orang sudah sibuk membicarakannya. Ia memang cantik dan s*ksi, tapi bukan itu yang membuat gunjingan mereka tak berhenti terdengar, melainkan kenyataan bahwa gadis itu turun dari mobil yang sama dengan manager manajemen mereka.Sera yang bertugas untuk menjelaskan r
BRAK!Indra menggebrak meja dengan kasar. “Apa kamu bilang? Si b*ngsat itu selingkuh?!” desis Indra marah. Beberapa pengunjung kafe melirik ke meja mereka, tapi Bianca tetap acuh dengan wajah sinisnya.“Si b*ngsat? bagus juga,” gumam Bianca senang. Akhirnya ia menemukan panggilan yang cukup pantas untuk pria itu.Indra mencengkram bahu Bianca. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa kamu diam aja?!”“Aku nggak diam aja, Kak.”Indra mendesis, bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di saat seperti ini?“Dan kenapa aku nggak bilang sama Kakak, karena aku tau Kakak akan begini. Sikap Kakak bisa saja akan merusak rencanaku.”Suara tenang Bianca membuat Indra terdiam. Kedua tangannya kembali jatuh, melepaskan sosok cantik itu.“Kakak pikir aku akan diam aja diselingkuhi dia?” Bianca bersidekap di kursinya, menatap jauh ke luar jendela. Lalu sebu
“Bi, Ibu sudah di mall.” Laksmi menelepon menantunya saat ia baru sampai di pintu mall. Bianca menerima telepon itu dengan wajah datar. “Oke, Bu, sebentar lagi Bian sampai, Ibu pilih-pilih aja dulu,” ujar Bianca padahal ia sudah ada di dalam parkiran mall sejak 10 menit yang lalu. Dinda mengerjakan tugasnya dengan cukup baik kali ini. Gadis itu bahkan sampai mengirim letak parkir mobil kakaknya, hingga Bianca bisa menemukan dengan sangat mudah. Bianca memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil itu, sambil menimbang haruskah ia menabrakkan mobilnya sekarang? Atau mengempiskan seluruh bannya? Bianca bersidekap sinis di depan mobil Dandy, memainkan pisau kecil di tangannya. Lalu, ia berjalan ke samping mobil Dandy, membuat goresan dalam di sepanjang sisi mobil itu sebelum berjalan menuju lift yang mengantarnya ke dalam mall. Namun tentu saja itu tidak membuatnya puas sama sekali. Bianca melirik sedeikit ke belakang punggungnya. Ia bisa mende
Kening Laksmi berkerut saat melihat kerumunan di depan toko pakaian dalam yang disebutkan menantunya tadi. Orang-orang tampak berkerumun dengan ponsel terbuka lebar, merekam sebuah keributan. “Hah! Nggak tau malu banget ribut di muka umum begini,” gerutu Laksmi sambil mengambil ponsel dari dalam tas. Ia harus menghubungi Bianca. “Parah, itu suaminya ngebelain pelakor?” bisik seorang gadis muda yang sedang merekam kejadian di dalam toko. Laksmi melirik sekila, tapi tidak peduli. Toh itu bukan urusannya, hingga akhirnya ia mendengar suara teriakan Bianca. Wajah Laksmi membeku, ia langsung mendorong kerumunan itu, membuat jalan untuknya. Dan betapa terkejutnya Laksmi saat melihat Dandy melindungi seorang gadis asing di belakang punggungnya. “MAS AKU ISTRI SAH KAMU!” teriakan Bianca terdengar sangat keras. Desisan penonton terdengar tidak setuju atas apa yang sudah dilakukan sang suami. Untuk beberapa saat Laksmi hanya mampu membeku. Ia me
“Ma?” Usia bianca 11 tahun saat itu. Ia terbangun karena angin kencang yang berembus dari jendela kamarnya. Sheila masih terlelap di sampingnya, mengkerut kedinginan. “Mama?” panggil Bianca. Ada syal ibunya di kaki ranjang, sebuah tas tangan, dan dua gelas minuman yang dibawa ibunya untuk ia dan Sheila. “Ma?” Bianca melongokan kepala ke luar pintu. Mengapa rumahnya mendadak sehening itu? Ke mana ibunya? Ayahnya? Para pelayan? Bianca harus mencari mereka. Tapi sebelum itu, ia berjalan ke jendela kamarnya yang terbuka. Jendela kamar itu terhubung dengan balkon, dan tepat di bawahnya adalah kolam renang mereka yang besar. bianca menarik salah satu pintu gesernya, mencoba menutup jendela itu, tapi ketika ia mendengar suara di luar balkon, ia bergerak perlahan. Tubuh Bianca membeku di balkon. Matanya menatap balkon lain yang terhubung dengan kamar orang tuanya.
Pukul 9 pagi, Nindi itu masih asyik membeli kopi di kafe lantai satu Abraham Inc Tower, tempat kantor mereka berada. Kaki jenjangnya berhias sepatu hak tinggi berwarna hitam yang seksi, sewarna dengan rok pensil yang membalut pahanya dengan ketat. Ia tersenyum tipis kepada gadis di belakang kasir saat mendapatkan minumannya, lalu melangkah sambil terus menatap ponsel. Biasanya di jam-jam seperti ini kafe akan lebih sepi karena orang-orang sudah masuk ke kantor masing-masing. Namun entah mengapa hari itu ada beberapa anak kecil yang berlarian di dalam kafe. Dua wanita berpakaian necis asyik mengobrol, menempati salah satu meja kafe yang berhiaskan bunga mawar dalam vas. Nindi memutar bola matanya saat melihat keributan itu. Ia jengah melihat anak-anak dan segala kekacauan yang bisa ditimbulkan mahluk-mahluk berisik itu. Sialnya, saat Nindi baru akan membuka pintu kafe, salah satu bocah berkucir dua menabraknya. Praktis ia langsung tersan
“Apa saya terlambat?”Elegan, berkelas, dan jelas begitu mengancam. Karena selangkah kaki itu memasuki ruang meeting, aura di dalam ruangan itu langsung berubah. Wajah para pemegang saham dan sekretarisnya masing-masing tampak membeku dalam keterkejutan. Termasuk Damian dan Dandy. Mungkin hanya Nindi yang tidak mengenali siapa wanita cantik itu. Namun, wajah Nindi tetap ikut memucat saat melihat sosok lain yang berdiri di samping wanita itu.Clara Vivian Peruka adalah putri kedua keluarga Peruka, adik dari pendiri salah satu dari lima perusahaan kosmetik kenamaan di Indonesia, Claire Veline Peruka. Secara sekilas, orang tidak akan bisa membedakan Clara dan Claire, mereka kembar identik tapi dengan dua kepribadian yang sangat jauh berbeda.Claire yang juga seorang dosen bedah kulit dan kosmetologi Fakultas Kedokteran salah satu universitas di Indonesia, pada awalnya mendirikan sebuah laboratorium kecantikan yang ia namai se
“Secara otomatis, jabatan saya sebagai presiden direktur akan dialihkan kepada Bianca, keponakan saya. Dan saya akan mundur.” Deg. Ruangan itu membeku dalam keterkejutan yang lain. Semua wajah menunjukkan ekspresi yang sama, bahkan Indrawan Bimasena. Kedua tangannya terkepal erat. Dadanya bergemuruh, dan matanya menatap tajam sosok gadis bergaun merah di meja presiden direktur. Ini pasti lelucon. Bianca pasti sudah gila, batin Indra panik. Ia melirik ayah gadis itu yang memasang wajah begitu dingin. mulutnya memang terkatup rapat, tapi entah apa yang sudah ia persiapkan di dalam kepalanya yang keji. “Tapi ini tidak bisa diputuskan semudah itu!” ujar Dandy, baru saja terbebas dari keterkejutannya. Clara tersenyum tipis. “Anda bahkan tidak punya hak suara di sini, Pak Wakil Direktur,” senyum Clara membungkam Dandy dengan raut memerah marah dan malu. Ia menatap tajam Bianca yang duduk dengan angkuh di kursi itu.