Share

01 : B - Galeri Seni

Collage Art Gallery, Manhattan, USA. | 13.19 PM.

Suara alunan musik klasik kini mulai terdengar di penghujung ruangan. Orang-orang yang mendapat undangan untuk melihat pameran ini pada mengantri melewati pintu masuk yang sudah disediakan. Galeri Seni ini begitu luas, ada beberapa patung dan banyak karya lukisan yang terlihat indah saat dipandang berjejer di antara dinding.

Semenjak kuliah di London Sean tidak pernah bosan melihat pameran seperti ini. Apa lagi Sean selalu penasaran siapa orang yang membuat lukisannya. Sebuah lukisan yang elegan dengan aksen Eropa yang kental, lukisan yang sangat jarang sekali diperjual belikan.

Dan Julian memberitahunya kalau pemilik galeri seninya adalah anak dari Paman Rodrigo. Sahabat dekat Ayahnya, tetapi yang diketahui oleh Sean, Paman Rodrigo hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama James yang berprofesi sebagai seorang Dokter. Semakin membuat Sean bingung siapa pelukis itu, dan seperti apa sosoknya, mungkin saja bukan anaknya Paman Rodrigo.

“Ayo, kita harus menemui Paman Rodrigo lebih dulu.” Ajakan Julian membuat Sean dengan cepat mengangguk, lantas berjalan beriringan bersama Julian.

Sambil berjalan, pandangan Sean tidak hanya fokus ke depan melainkan memerhatikan sekelilingnya. Sean tidak bisa berhenti kagum pada lukisan-lukisannya, dan sebuah patung sepasang laki-laki dan perempuan sukses menyita perhatiannya. Patung itu berdiri dengan sempurna membelakangi satu sama lain dengan tangan yang saling menggenggam dari belakang. Ini adalah salah satu mahakarya yang luar biasa.

Julian pun ikut berhenti melangkah, menikmati pandangannya dengan leluasa. Bahkan Julian tidak bisa berkata-kata, matanya benar-benar terfokus pada patung ini.

“Sean, Julian. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk hadir, patung yang kalian lihat itu adalah projek terakhir yang dikerjakan oleh keponakanku selama satu tahun terakhir ini.” Suara Rodrigo mengintrupsi keduanya dan segera berbalik badan lantas menyalami Rodrigo dengan sopan.

“Ini benar-benar menakjubkan.” Setelah itu Sean kembali menatap patung tersebut. Pancaran mata laki-laki itu menunjungan kalau dia teramat menyukainya.

“Wah . . . benarkah Paman? Apakah kita bisa bertemu dengannya kali ini? Sungguh, aku penasaran,” kata Julian dengan semangat. Laki-laki itu menatap Rodrigo dengan senyum yang mengembang.

Rodrigo mengangguk dan balas tersenyum dengan wajah yang sedikit muram. “Dia tidak bisa datang, karena masih ada kepentingan di Madrid. Entahlah aku tidak habis pikir dengan anak itu, padahal ini adalah acara pameran semua maha karyannya.” ucapnya.

Baik Sean atau pun Julian mendesah dengan kecewa. Padahal ini momen ini adalah salah satu alasan Sean membatalkan pertemuannya dengan orang penting, karena ingin bertemu dengan orang yang lebih penting. Tapi sangat disayangkan orang tersebut tidak bisa datang.

“Dilain kesempatan, Paman akan memperkenalkan kalian dengannya.” Rodrigo tersenyum sambil menepuk bahu Sean dan Julian secara bergantian.

Julian tertawa pelan menanggapinya. Julian memang tidak seperti Sean yang begitu menyukai seni, dia lebih suka hal yang menyangkan dan lebih menarik perhatiannya. “Baiklah, semoga lain kali aku bisa bertemu dengannya.”

“Paman ke sana dulu ya, selamat bersenang-senang. Dan sekali lagi aku ucapkan terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk hadir.” Rodrigo tersenyum dan berjalan meninggalkan mereka berdua untuk menghampiri istri laki-laki paruh baya tersebut.

Berada di dalam Galeri Seni ini tidak dingin atau panas. Suhu pendingin ruangan diatur dengan apik sehingga menciptakan sebuah kenyamanan bagi pendatang. Julian melipat tangannya di depan dada, mata laki-laki itu melirik ke sana ke mari dan perlahan berjalan meninggalkan Sean.

Sosok di balik pembuat patung ini adalah orang yang sama. Orang yang selalu menghantui Sean dengan rasa penasaran akan sosoknya. Sebenarnya mudah sekali bagi Sean untuk melacaknya, tapi dia menghargai privasi seseorang, jadi dia hanya bisa menunggu orang itu muncul ke depan publik dengan sendirinya.

Namun sayang sekali, kali ini dia tidak bisa bertemu dengan orang tersebut. Keponakan Paman Rodrigo terlihat begitu sibuk dengan dunianya yang lain. Membuat Sean mendesah dengan sedikit rasa kecewa yang hinggap dalam dadanya.

Sean kembali melangkahkan kakinya untuk berjalan ke arah lain, ruangan yang berisi hal menakjubkan ini tidak dapat Sean hindarkan begitu saja. Meski tidak dapat bertemu dengan senimannya, setidaknya dia bisa menikmati hasil karyanya. Sean mencari-cari keberadaan Julian yang entah di mana keberadaannya, sepupunya yang satu itu mudah sekali menghilang sehingga tertelan oleh keramaian.

Setelah merasa lelah berkeliling, Sean memilih duduk di sebuah sofa panjang yang disediakan dalam ruangan sembari menunggu Julian untuk menghampirinya.

Sean Axel : Aku akan menunggumu jika kau ingin kembali bersamaku.

“Sean, itu kau?”

Suara seorang perempuan itu membuat Sean mengangkat wajahnya dengan malas. Dia sudah sangat mengenal suara itu sejak dulu kala. Zara Mellano, teman sekolahnya semasa junior high school. Seorang model papan atas yang sedari dulu mengejarnya.

Zara berdeham pelan menyadari Sean lagi-lagi mengacuhkannya. Dia kembali berujar, “Sedari dulu kau memang sangat menyukai hal yang berbau seni. Tidak heran jika aku bertemu denganmu di tempat ini.” Zara tertawa kecil setelah menyelesaikan perkataannya.

“Lantas, kau sendiri sedang apa di tempat ini?” tanya Sean dengan suara yang terkesan begitu datar. Dia hanya berbasa-basi, dan tidak akan peduli dengan apa jawaban Zara mengenai pertanyaannya.

Zara kembali tertawa dan mengambil tempat duduk di samping Sean. Perempuan dengan balutan dress berwarna peach itu menyandarkan tubuh rampingnya, lantas menahan kepalanya untuk menghadap samping sembari menatap Sean.

“Aku menemani temanku. Dia hanya teman Sean, not others.” Sebelah mata Zara mengedip disertai dengan seringaian lebarnya.

Laki-laki itu mengalihkan tatapannya dengan begitu malas. “Aku tidak peduli, Ra.”

“Aku tahu, tapi kapan kau akan peduli mengenai perasaanku padamu Sean? Sampai kapan, kau mau aku tetap mengejarmu seperti ini?” tanya Zara, perempuan itu menatap Sean yang tatapan yang pilu.

Sean tertawa meremehkan, matanya beralih untuk menatap Zara dingin seakan tatapan itu dapat menembus ke dalam diri seorang Zara Mellano. “Perasaan yang kau miliki itu bercabang, Zara. Aku jelas-jelas tahu kau bukan perempuan yang tidak bisa hanya dengan bertahan pada satu laki-laki.” Sean membantah ujaran Zara dengan telak. Sehingga membuat perempuan itu diam dan menunduk.

Zara dapat merasakan kalau aura dalam diri Sean terasa begitu dingin. Tapi dia harus mengatakannya lagi, meski dianggap angin lalu oleh Sean. “Tapi sampai kapan Sean? Apa kau tidak merasa lelah, karena aku selalu melibatkanmu dalam majalah entertaiment?”

Sudahlah, Sean muak. Laki-laki itu memilih bangkit dari duduknya dan segera pergi dari tempat ini. Sesaat dia merasa menyesal telah menunggu Julian di sini, jika tahu akan ada Zara di tempat ini. Sean akan memilih menunggu Julian di parkiran saja. Banyak perkara yang sudah Zara ciptakan demi menjeratnya ke dalam dunia perempuan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status