***
Alhasil kami mengobrol di luar, di sebuah warung angkringan yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Kami mengobrol hangat, tawa canda menghiasi perbincangan ringan antara aku dengan Ridho.
Perlahan topik pembicaraanku mulai mengarah ke kejadian penculikan tersebut, tapi aku tidak blak-blakan menanyakannya secara langsung.
“Terkait pembicaraan kita yang terhenti siang tadi,” ucapku.
Posisi duduk kuubah dan kini tengah menghadap ke pria tersebut, Ridho tampak terkesiap sembari menghabiskan gorengan yang ada di piringnya.
“Pembicaraan? Apa itu tentang dia?” tanya Ridho.
Aku mengangguk, Ridho tampaknya dalam keadaan tenang, dilihat dari wajahnya yang tidak gelisah dan cemas seperti siang tadi. Malam itu, wajahnya begitu tenang layaknya air di danau.
“Namanya Stefano, mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui siapa dia sebenarnya,” jelas Ridho.
Udara semakin dingin menit ke menit, kulirik jam di tanganku su
Akhirnya tertangkap, kira-kira Revan bisa mengungkapkan tidak tentang siapa sebenarnya Stefano tersebut? Simak terus kisahnya, yah. Jangan lupa vote dan comment, serta share ke temen-temen kalian
***“Di mana aku?” tanya pria tersebut, Valenkov, nama dari penjahat yang berhasil kutangkap.Aku melihat ada dua bukti identitas yang pria itu miliki, sebagai seorang warga Rusia dan sebagai warga Indonesia dengan nama Supratno.Polisi langsung tiba sepuluh menit sejak penembakan terjadi, untungnya aku berhasil melarikan diri sebelum mereka tiba.Jika dugaanku benar, maka mereka pasti akan melakukan pengetatan di kawasan perbatasan, dan aku akan dengan mudah tertangkap melalui bukti pintu mobilku yang pecah dan rusak.“Kamu aman bersamaku, jika kulempar kamu keluar, pasti kamu juga akan tertangkap atas tuduhan pengerusakan barang.” Kuputar kepalaku dan berbalik menatap Valen yang tengah terikat di atas kursi, tangan dan kakinya terikat dengan mata yang tertutup kain hitam.“Silakan, lakukan saja. Tuan Stefano pasti akan melindungiku,” ungkap Valen, suaranya meninggi penuh percaya diri.“Itu t
***Tak hanya Soo, para pengawal yang menemani wanita itu sama brengseknya. Aku bahkan harus dipaksa keluar dari dalam mobil dengan tangan terikat layaknya penjahat.“Ah, menyebalkan sekali, bukan? Harus tertangkap dua kali oleh wanita sepertiku,” hina Soo, ia tersenyum seraya memasukan kembali G2 Elite yang telah ia tunjukan di depan publik.Entah kenapa para petugas keamanan di rumah sakit ini tidak mengamankan Soo, wanita di larut malam dengan senjata yang teracung kepadaku, itu bukanlah sesuatu yang bisa disebut main-main, nyawaku taruhannya jika aku melawan.“Tapi aku akan bersikap lembut kali ini kepadamu, karena jas hitam ini sudah tak lagi membuatku kedinginan.” Ia mencium jas hitam yang menutupi tubuhnya dan meremasnya dengan penuh perhatian.“Lalu apa lagi yang akan kamu lakukan padaku? Bukankah sudah kubilang, aku tidak akan menyerahkan Cincin Hitam kepadamu,” tegasku.“Sebaiknya
*** “Apa dia benar-benar pergi dengan keadaan seperti itu?” tanya Reno. Sebelum melancarkan serangan balasan ke kediaman Soo, kuajak dia untuk masuk ke sebuah apartemen kecil di dekat pasar rakyat Semarang. Pada awalnya, aku memarahi Reno karena pria itu meninggalkan posisinya seenak jidat, tapi ketika kudengar penjelasan darinya, aku tidak bisa memarahinya lagi. Singkatnya, ia memiliki informasi berharga tentang keberadaan Stefano di Semarang dan kota sekitarnya. Ia mendapatkan informasi tersebut dari informan yang tak ingin namanya diketahui, sebut saja dia Mr. X. “Aku tidak ingin mengulang apa yang sudah kukatakan, mengingatnya saja sudah membuat hatiku sakit.” “Aku mengerti,” balas Reno. Ia melempar tas besar yang ada di tangannya ke atas kasur dan menarik rasleting tas secara perlahan. Kuperhatikan jalanan di luar, tampak lengang dan sunyi, hanya ada beberapa orang yang lalu lalang di jalanan tersebut. “Apa ini cuk
***Dua jam berlalu, pembantaian yang kami lakukan berakhir sudah. Kulihat mayat dari anak buah Soo banyak bergelimpangan di atas lantai dengan luka tembak yang besar, kebanyakan dari mereka tertembak peluru kaliber besar yang berasal dari senapan Reno.“Mereka semua sudah mati, aku harap kamu menyesali apa yang sudah kamu perintahkan.”Kutarik tangan Soo dan mengajak wanita itu keluar kamar, ia tampak terkejut, takut, dan gemetar melihat banyak rekan-rekannya yang tewas.Bahkan ia tidak bisa menutupi ketakutannya tatkala melihat beberapa potongan tubuh berserakan di lantai rumahnya, ada kepala yang terlepas, mata yang tercopot hingga organ perut yang tercerai berai.“Aku tidak menutup kemungkinan ada yang selamat dari tragedi hari ini,” ucapku, dengan tenang aku berbicara padanya seolah aku tidak memiliki kesalahan apa pun.Kubuka tas milikku dan mengeluarkan bom yang sudah Reno persiapkan, terdapat tiga buah bom den
***Selang dua hari kemudian, Soo mengabari sang penelepon misterius dan mengatakan kalau ia sudah menangkapku. Sungguh tak terduga ketika aku mendapati antusiasme dari penelepon misterius ketika mendengar informasi dari Soo.‘Cepat pertemukan aku dengannya’ begitulah yang dikatakan sang penelepon misterius, aku merasa tersanjung mendengarnya, layaknya seorang fans yang begitu menantikan kabar dari artis idola mereka.“Mereka setuju dan akan datang di lokasi,” ucap Soo.Rencanaku berjalan lancar sejauh ini, mereka belum menyadari kalau pertemuan ini memang sudah direncanakan.H-1 sebelum pertemuan, pada malam hari kubuat rencana yang tersusun agar esok bisa berjalan dengan lancar. Reno menyimak perkataanku dan mengangguk tanda mengerti di setiap perkataanku.“Apa kamu tidak keberatan? Melepas borgolnya sama saja dengan membiarkannya kabur?” tanya Reno, mempertanyakan hal yang kuusulkan.Akan sangat
***Minggu pertama dipersembunyianku, aku mulai menetap di sebuah desa di salah satu kota kecil di Jawa Barat. Desa ini cukup unik, karena berada di atas perbukitan dan hijau oleh ladang perkebunan.Para penduduk desa biasa memanggilku Pak Lutfi, banyak nama samaran yang kugunakan dan nama kali ini sepertinya cocok bagiku. Begitu juga dengan Reno, ia memilih nama Asep yang mana sangat identik dengan warga Jawa Barat.Sore itu, aku barusan pulang dari ladang perkebunan yang kubeli dari sudagar kaya, perkebunan stroberi dan wortel. Perkebunan ini akan kugunakan sebagai perisai agar warga desa tak mencurigaiku, bahkan kami harus merubah sikap agar bisa bergaul dengan warga lainnya.“Tampaknya perlu menunggu sampai beberapa hari lagi,” ucap salah satu warga yang bekerja kepadaku, ia bertugas mengumpulkan buah-buahan yang siap panen, tapi jika musim panen belum datang, dialah yang bertugas untuk mengawasi ladang.Namanya Suto, pria berusia 4
***“Maaf telah mengganggumu semalam.”Kukunjungi rumah mereka kembali seraya membawa makanan ringan yang kubeli di swalayan desa. Risa tampak mencoba menjauhiku ketika tangan-tangan ini hendak meraih tangan putih wanita tersebut, apa ia masih kesal karena ucapanku semalam?“Hmm….” Ia melenggang pergi meninggalkanku yang masih berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, kulihat Soo tampak sibuk menyapu lantai dan membereskan bagian-bagian yang kotor.“Apa ada masalah di antara kalian berdua?” tanya Soo ketika tengah menyapu lantai, ia pasti menyadari perubahan sikap dari Risa yang mendadak ketika melihat kehadiranku di rumah pengasingan tersebut.Kupandang lirih Soo sembari tersenyum kecil, “Tidak.”Soo hanya berdeham pelan menanggapi apa yang kukatakan. Pagi itu, entah kenapa udara cukup dingin berhembus menerpaku, dan begitu juga dengan suasana di rumah pengasingan tersebut, begitu ding
***Kubuka kedua mata ini dan mendapati aku berada di atas kasur dengan keadaan kepala diperban, tampaknya ada yang datang menyelamatkanku ketika malam itu tubuhku sama sekali lemas tak bisa digerakkan.Aku telentang di atas kasur dengan diterangi lampu kamar dan sinar matahari yang menyeruak masuk pagi hari itu, terlihat juga di antara barang-barang di atas meja, terdapat piring, gelas, dan sebungkus rokok yang tergeletak tanpa pemilik.Rasa sakit akibat luka yang ditimbulkan benda tumpul tersebut masih terasa nyeri, sesekali kulihat darah yang mulai merembes keluar membasah perban putih yang melilit kepalaku.Pintu terbuka, atensiku terpancing ke arah seorang wanita tua yang tengah menyiapkan seember air hangat dengan kedua tangannya. Ia datang bersama dengan Suto yang membawa pakaian ganti untukku.“Apa yang sedang kamu lakukan di rumahku?” tanyaku, suaraku cukup pelan karena fisikku yang lumayan lemah pagi itu.“Oh, ter