Share

Tak menduga

Aku memilih diam, setelah merasa malu karena minimnya ilmu. Tentu aku yang bukan siapa-siapa dan bukan dari kalangan ahli agama, tentu tak tahu menahu tentang panggilan khusus itu.

"Duh, malunya jika nanti aku ketemu Ning Sukma lagi," aku membatin, tapi kemudian sadar kalau Ning Sukma tak mengenali wajahku. Jadi buat apa aku malu?

Aku memilih diam, bermain ponsel adalah jalan ninjaku agar tak terasa boring. 

"Mbak mau turun dimana?" tanyanya membuyarkan konsentrasiku.

"Ditempat tadi juga ngga papa, Mas Abu gosok!" ujarku.

"Ini ngga ke hotel dulu, Tadz. Mubasir loh udah di booking ngga dipakai. Aku juga mau," celoteh si supir.

"Hust, ngga boleh, Pak! Aku tak akan mengizinkan itu. Kalau bisa do'akan dia agar segera berhenti dari pekerjaannya. Mencari pekerjaan yang lebih halal." Kali ini Abu gosok menimpali.

Aku cuek dan pura-pura tak mendengar. Takut lama-lama dia malah tauziah, kan males jadinya.

"Mbak, kapan mau taubat dan berhenti menjadi Kupu-Kupu malam?" tanyanya kemudian padaku.

"Nanti, Mas Abu, kalau udah kaya raya dan ayahku sudah berhenti berjudi!" jawabku sekenanya.

"Bagaimana kalau belum kaya raya dan kamu sudah dipanggil sang pencipta?" Nah kan Abu gosok mulai.

"Ya sudah, terima takdir aja. Mungkin memang Allah tak kasih jalan aku untuk bertobat!" Aku mendengkus kesal. Dia benar-benar mulai menyebalkan.

"Divinisi kaya raya itu seperti apa? Pasalnya manusia itu tak pernah puas dan akan merasa kurang, sebanyak apapun uang yang ia punya."

"Ya pokoknya ya bisa beli apa aja, duduk manis duit datang sendiri dan tidurpun dibayar." Aku berkata sambil berkhayal, menerawang jauh ke awan, membayangkan hidup nyaman bergelimang harta, "tapi ... Aku juga mau tobat kalau Mas Abu gosok mau jadiin aku istri."

Aku mengedipkan mata tepat saat dia membalikan wajahnya. Mendekatkan wajahku padanya.

"Ampun dah!" justru Si Sopir yang malah rese. Ia membuat aku langsung mengerucutkan bibir karena Abu gosok langsung membalikkan wajahnya. Menatap lurus kedepan.

"Mbak kok jadi perempuan percaya diri banget. Mana mungkin Ustadz sekelas Abu Bakar yang terkenal seantero Nusantara malah mau menikah dengan seorang..." 

"Cukup, Pak!" Abu gosok menghentikan ucapan si Sopir yang kepo.

"Insya Allah jika berjodoh ya, Mbak!" ucapan yang keluar dari mulut Abu gosok ingin sekali lagi aku dengar.

"Apa tadi, Mas?" Aku mendekatkan telinga.

"Insya Allah, kan jodoh itu rahasia Allah dan kita tak tahu dengan siapa nanti akan berjodoh. Jadi aku tak ingin bersuuzon bahwa aku tak mungkin menikah dengan kamu. Kemungkinan kan tetap ada selama saya atau Mbak masih bernafas dan belum memiliki pasangan." Dia berkata panjang lebar. Sopir hanya geleng-geleng kepala.

"Kamu sudah punya pasangan pun aku mau, Mas, dimadu!" Aku makin intens menggodanya. Biarkan saja itu sopir melihat tak suka. Nyatanya aku senang membuat ia tersenyum walau aku yakin hatinya risau.

"Sudah sampai, Mbak!" si sopir berhenti tepat ditempat semalam aku berada.

"Jalan lagi aja, Pir, Aku turun di gang depan!" Aku menunjuk ke depan. Jika aku turun disini dan Mami Mawar melihat, bakal minta jatah dia.

"Pir?" tanya sopir.

"Iya, Pir Sopir!" jawabku cuek, Abu gosok tersenyum sambil mengelengkan kepala.

Mobil berhenti tepat didepan gang menuju ke kontrakan. Aku membuka pintu, kemudian menunggu tepat disamping pintu mobil bagian depan.

Aku ketuk kacanya karena Abu gosok masih belum menurunkan kacanya.

"Mana bayaranku!" Aku langsung mengadakan tangan. Ia justru membuka pintu dan keluar. Jangan-jangan dia mau ingkar janji lagi. Tak mau bayar dengan alasan tak memakai aku. Lihat saja kalau benar begitu.

Dia berdiri sejajar dengan aku. Kucincingkan gamis putih itu tinggi-tinggi.

"Ini, Mbak. Aku tak tahu jumplah nominalnya berapa, tapi insya Allah tak kurang satu juta, kalau lebih bolehlah kirim untuk Ayahmu agar segera hutangnya bisa terlunasi dengan uang halal dan insaf bermain judi." Ia menyerahkan amplop coklat yang terlihat berisi. Aku menerimanya.

"Makasih ya! Boleh kapan-kapan temui aku lagi, tapi jangan di ajak kepengajian langsung kepelaminan saja!" Celotehku dengan mengengam amplop. Itu adalah amplop yang tadi diberikan oleh seseorang saat di Ndalem.

Dia tersenyum, entah kenapa aku jadi suka melihat senyumnya. Apakah aku sudah jatuh hati? Oh, tidak!

"Siapa namamu?" tanyanya tanpa melihat aku yang hampir pingsan oleh senyumannya.

"Kiara, diingat ya, Mas Abu gosok, namaku K-I-A-R-A!" Aku sengaja mengeja agar ia tak lupa.

"Baiklah, Mbak Kiara. Aku pamit pulang dulu!" ujarnya yang langsung memilih membuka pintu.

"Mas Abu gosok, ngga mau cipika-cipiki dulu?" tanyaku menggoda. Entah keberanian dari mana, aku punya kesempatan menggodanya selalu.

"Nanti saja kalau sudah mahram!" ucapnya dan langsung masuk kedalam. Saat aku hendak pergi, dia kembali memanggil.

"Apa, Mas? Nyesel kan tawaran aku buat cipika cipiki?" Aku tetap berkata dengan genit.

"Sini, Mbak. Cipika-cipiki sama aku saja!" Sopir itu nimbrung lagi. 

"Ini, Mbak Kiara tertinggal! Ning Sukma ngasihnya buat, Mbak. Bukan buat aku!" Dia menyerahkan paperbag dari Ning Sukma. "Ini ada lagi, isinya makanan tadi juga dikasih dari pesantren!"

Aku menerima keduanya. Kemudian menjauh dan melambaikan tangan pada mobil Pajero putih itu. 

Aku senang, karena malam ini tak perlu tubuhku kotor oleh jamaah laki-laki. Justru aku merasa tubuh ini bersih karena pergi kepengajian.

Bergerak langsung menuju kontrakan yang ternyata sudah ada nenek lampir tengah menungguku.

"Hei, Kiara! Mana uang kontrakannya. Kalau hari ini ngga bayar go out dari sini!" Nenek lampir alias Bu Bawon itu menatapku dalam.

"Ah, Nek, eh, Bu, sabar atuh! Baru aja sampai, mbok ya disuruh masuk dulu, dibuatkan minuman dibawakan camilan direbuskan air serta dipijat!" Aku berkata panjang lebar.

"Emangnya aku babumu!" Dia melotot padaku. Aku terkekeh. Usil pada orang semacam dia itu menjadi hobiku, ah lebih tepatnya pada semua orang.

Aku membuka pintu kontrakan dengan kunci yang kubawa.

"Hei, mana duitnya!" Bu Bawon tak sabaran.

"Sebentar, Bu. Aku mau hitung uangnya dulu, takutnya kelebihan bayarnya sama Ibu!" Aku langsung masuk kedalam diikuti olehnya.

"Kamu habis mangkal atau pengajian? Kok pakai gamis begitu?" Ternyata ia baru memperhatikan penampilanku.

"Aku mangkal di pengajian, Bu," jawabku apa adanya.

"Gila kamu ya! Masa mangkal di pengajian? Memangnya ada hidung belang disana?" Bu Bawon kepo.

Aku memutar bola mata malas. Menyerahkan uang lembaran warna merah lima lembar.

"Ada atau tidak adanya laki-laki hidung belang yang penting aku dapat uang buat bayar Ibu!" Aku mendengkus kesal, ia memang kepo akut pada urusanku. "Sudah kan, Bu? Sana pulang!"

Aku mengusirnya. Tentu ia tersenyum karena apa yang dia inginkan sudah didapatkan.

"Bulan depan jangan telat lagi!" ujarnya sambil berlalu. 

Aku memilih langsung membuka tas dan menarik amplop yang tadi sudah aku ambil isinya lima lembar. Karena penasaran tadi hanya lihat sepintas isinya. Benarkah lebih dari satu juta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status