"Gala udah siap belum?" Anak lelakiku itu masih berisik aja di kamar adiknya sedari tadi. Suaranya begitu nyaring, menertawakan adiknya yang pakai baju nggak modis, katanya."Iya, Ma. Udah beres. Bajunya dah masuk ransel nih," teriaknya menjawab pertanyaanku.Hari ini, rencananya aku mau mengajak anak-anak dan ibu jalan-jalan ke Jogja, sekalian menginap di sana. Ibu pasti senang belanja di Pasar Beringharjo atau sekadar menikmati suasana Malioboro di malam hari.Setidaknya cuci mata untuk menghilangkan beban pikiran yang akhir-akhir ini terus diterimanya. Lagipula, anak-anak juga butuh suasana baru supaya lebih semangat menjalani aktivitas sekolahnya."Mas Angga mana, Mas? Kok nggak kelihatan?" tanyaku pada Mas Huda yang masih sibuk dengan cameranya. Mungkin ada yang rusak atau kotor karena memang jarang terpakai."Mas Angga ketemuan sama rentenir itu buat melunasi hutangnya. Gaji Mas Angga itu lumayan loh, Sayang. Enam juta ya sebulan. Dia bilang cuma megang sejuta, tapi Mbak Agnes k
Bakda maghrib, anak-anak sudah siap dengan style mereka. Gina pun memakaikan jilbab pada neneknya. Beberapa menit kemudian mereka sudah kompak menghampiriku yang menunggunya di depan pintu sembari menelpon Mbak Sinta."Kami siap ke Malioboro," ucap Gala dengan semangat 45. Gina pun merangkul kakaknya lalu berjalan bersama menuju mobil. Jalanan sudah mulai padat, Mas Huda parkir agak jauh ke arah timur. Arah pasar BeringharjoDua anak kesayanganku itu pamit mau jalan-jalan dan cari kaos Jogja, katanya. Sementara aku, Mas Huda dan ibu duduk santai di bangku yang tertata rapi di area Malioboro. Tak lupa Mas Huda memotret kebersamaan kami dalam kameranya."Bu, mau makan apa? Biar Mas Huda beliin," ucapku pada ibu yang masih mengamati pemandangan sekitar."Kacang rebus aja, Rum. Ibu bingung mau camilan apa. Jajanan pasar kalau ada," pinta ibu kemudian.Mas Huda mengangguk pelan, pamit pergi sebentar lalu datang dengan membawa satu plastik berisi jajanan pasar dan kacang rebus sesuai permin
|Mas, apa kamu nggak ada niatan untuk memiliki istri kedua? Padahal kamu sudah pantas melakukannya|Pesan yang dikirimkan Mayang pada Mas Huda itu terus menghantuiku. Seolah tak pernah lepas, selalu saja muncul di manapun tak pernah lihat situasi.Piknik tiga hari yang seharusnya membuatku bahagia, justru selalu dirasuki perasaan takut dan curiga. Namun aku berusaha menutupi kegelisahanku ini dari anak-anak dan ibu. Mereka tak boleh tahu dan mereka harus bisa menikmati liburan kali ini dengan senyum dan tawa.Berulang kali Mas Huda menjelaskan dan meyakinkan, tetap saja membuatku tak tenang. Bahkan saat dia menuruti semua permintaanku untuk menutup akses Mayang mendekati Mas Huda, tetap saja aku masih disesaki khawatir dan curiga.Kini, nomor ponsel Mayang sudah diblokir. Media sosial yang terhubung dengan Mas Huda pun diblokir pula. Tak ada celah lagi untuk menghubungi suamiku. Namun perasaan takut, khawatir dan kesal belum juga hilang.Aku memang salah jika kesal dengan Mas Huda, ka
"Keterlaluan kamu, May. Jangan memalukan papa di depan Huda dan keluarganya!" bentak Om Burhan kemudian. Wajahnya memerah karena malu melihat tingkah anaknya yang terlalu kemayu itu.Mayang hanya tersenyum tipis saat aku membulatkan kedua mata menatapnya. Benar-benar perempuan aneh. Terang-terangan mengucapkan kalimat itu di depanku. Istri Mas Huda sendiri.Gala dan Gina yang sedari tadi melihat foto-foto mereka di kamera papanya pun menoleh seketika saat Om Burhan membentak putri semata wayangnya. Aku dan ibu saling lirik, seolah paham apa isi hatiku ibu mengajak anak-anak keluar untuk cari jajan.Mereka pun tersenyum senang, pamit keluar setelah menyerahkan kamera itu pada ayahnya. Kuberikan selembar uang merah untuk ibu, memintanya untuk belanja di sekitar sini saja. Tak peduli lirikan sinis Mayang padaku dan anak-anakku.Kini, tinggal kami berempat di ruangan ini. Om Burhan masih memegangi dadanya, mungkin cukup shock melihat sendiri bagaimana sikap anak perempuannya di depan tamu
Dering alarm berbunyi. Pukul lima pagi. Aku sengaja membunyikan alarm tiga kali. Jam empat, setengah lima dan jam lima.Kebetulan hari ini aku sedang berhalangan, jadi tak ada kewajiban untuk menunaikan salat subuh. Alarm terakhirlah yang kupakai sebagai alarm bangun tidur.Tak peduli Mas Huda sudah menghilang sedari tadi. Badanku rasanya tak karuan. Perjalanan dan liburan yang harusnya menyenangkan justru membuatku pusing dan melelahkan."Rum, Angga kemana?" tanya ibu tiba-tiba. Aku yang baru keluar kamar pun agak kaget mendengar pertanyaan ibu soal Mas Angga."Ningrum kurang tahu soalnya baru bangun, Bu," ucapku sembari meringis kecil."Oh iya. Anak gadis bangunnya kesiangan," sindir ibu sambil tertawa kecil membuatku garuk-garuk kepala yang tak gatal."Semalam Mas Angga bilang mau hadiri sidang perdananya dengan Mbak Agnes, Bu," ucapku lagi saat ibu sibuk dengan persiapan sarapan. Sepertinya menu pagi ini adalah opor ayam dan tahu tempe. "Kenapa nggak bilang ibu? Harusnya ibu ikut
"Kenapa saya harus tanda tangan, Mas?" tanyaku cukup kaget."Pak Huda yang minta, Bu. Kata beliau sertifikat toko atas nama ibu, buat kado anniversary ibu dan bapak yang kebetulan jatuh pada hari ini. Pak Huda tahu ibu pasti lupa makanya dikasih kejutan spesial," balas pemuda berkaos hitam itu kemudian.Hadiah anniversary? Ya Allah iya. Hari ini ulang tahun pernikahanku dengan Mas Huda yang ke dua belas. Aku benar-benar tak menyangka jika Mas Huda memberikan kado sebuah toko atau butik di samping Apotek Husada, tak terlalu jauh dari sini.Air mata bahagia menitik seketika. Mas Hamzah, dia notaris yang dipercaya Mas Huda untuk mengurus sertifikat toko ini. Sedangkan di sebelahnya ada Mas Fauzan yang membantu Mas Hamzah mengurus ini dan itu.Tak lama kemudian, Mas Angga dan Mas Huda datang. Mereka ngobrol sebentar di halaman lalu melangkah beriringan menuju rumah."Mas, makasih banyak loh ini. Kamu mah suka bikin deg-deg an. Kupikir suruh tanda tangan apa," ucapku dengan suara serak saa
"Mas, sepertinya Mayang ngikuti kita sampai sini," ucapku saat Mas Huda mendekati ranjang dan rebahan di sebelahku. Dia menoleh, menatapku lekat seolah ingin mendengar kembali kalimat yang baru saja terucap dari bibirku."Iya, Mas. Aku lihat Mayang tadi siang. Dia pakai mobil merah dan berhenti di depan rumah Mbak Sri. Kulihat dia dari rumah Budhe Narni. Meski matanya tertutup kaca mata hitam dan pakai masker segala, tapi aku yakin sekali kalau itu Mayang. Secinta itukah dia sama kamu sampai mencari tempat tinggal kita di sini?"Mas Huda menggeleng pelan. Dia masih tak percaya jika itu memang Mayang. Bodohnya aku tak memotret dia saat membuka jendela mobilnya tadi. Jadi, aku nggak bisa ngasih bukti apa-apa ke Mas Huda kalau yang kulihat itu memang Mayang."Dia kembali sering menghubungi Mas itu baru tiga bulan terakhir, Sayang. Itu pun karena Mas kirim pesan dia duluan dari medsosnya. Minta nomor rekening Om Burhan, karena memang baru tahu kalau Om Burhan masih butuh banyak biaya untu
Pesan dari Mayang benar-benar membuatku tak bisa fokus mengerjakan sesuatu. Padahal hari ini, waktunya aku membantu Mas Huda dan dua karyawanku-- Mbak Nisa dan Mbak Arum untuk menata barang-barang ke toko."Mbak, sepertinya Mbak Ningrum nggak enak badan ya? Dari tadi aku lihat lemes begitu. Mungkin lebih baik Mbak istirahat saja. Soal barang-barang biar aku sama Mbak Arum yang bereskan," ucap Mbak Nisa tiba-tiba saat aku duduk di lantai samping etalase begitu saja tanpa alas."Iya, Mbak. Sepertinya masuk angin atau nggak tahu ini kok kurang fokus. Pusing juga. Badan di sini, tapi pikiran berasa entah dimana," balasku kemudian.Kupijit kening perlahan. Mungkin Mbak Nisa memang benar. Aku kelelahan dan butuh istirahat. Setidaknya agar pikiran sedikit lebih tenang. "Kuantar pulang ya, Mbak? Mungkin kalau istirahat di rumah Mbak lebih tenang. Kalau di sini sedikit terganggu lalu lalang kendaraan apalagi kalau toko ramai." Mbak Nisa kembali menawarkan. Tanpa banyak pertimbangan, aku pun m