Meminta pada Tuhan. Sama seperti yang dilakukan Ibunda Dzulaikho.Saat Dzulaikho mengejar Yusuf. Maka, Allah menjauhkan. Tapi, saat Dzulaikho mendekati yang memiliki Yusuf, maka Yusuf, Allah datangkan!"Ucapan Aisha membuat Arash menganga tak percaya. Namun, ia tetap bersikeras pada pendapatnya."Baiklah, kisah siapapun yang akan Anda jadikan contoh. Saya tetap tidak peduli," ucap Arash dengan mengeram. "Perjanjian itu akan tetap berlaku!"Arash berjalan ke arah meja makan. Dimana disana sudah ada keranjang yang berisi buah-buahan segar lengkap dengan pengupasnya.Arash mengambil pisau tajam dengan geram dan penuh ancaman. Dan kembali mendekati Aisha yang masih diam mematung."Mana tanganmu?" tanya Arash sambil mengertak tegas memerintah.Dengan pelan dan penuh keraguan. Aisha mengulurkan tangannya yang sedikit tertutup dengan handshock. Sehingga, terlihat hanya jemarinya saja yang putih bening dan kontras.Arash segera meraih kasar tangan halus nan putih itu. Merapatkan telapak tanga
"Ingat, kau hanya pembantu!" ucap Arash cepat. Saat tersadar ia telah menatap manik mata coklat milik wanita bercadar yang tengah mengobati lukanya."Ah, oboss!" Gerutu Tomo kesal. Sedangkan Aisha. Ia hanya mengangguk menanggapi perkataan Arash.Suasana keadaan ruangan tengah ini jadi sedikit canggung. Tempat ini, biasanya digunakan untuk gila-gilaan tiga preman itu. Mulai karaokean, minuman bahkan sampai mengadu kartu ganda. Namun, kini. Bukan karena Arash sedang tidak berdaya. Melainkan, ada satu wanita anggun yang membuat siapapun akan merasa segan. Sikapnya yang ramah, tutur kata yang lembut, serta tubuh yang tertutup membuat aura kesholehahannya nampak.🍁🍁🍁Hampir semua orang yang berada di lingkungan pesantren milik ustadz Harun menyangka bahwa Aisha mati rasa dan patah hati atas kepergian Gus Fahmi bersama janji-janji yang telah terukir tanpa kabar dan penjelasan, karena hari-hari wanita yang selalu mengguna
Tubuh Arash terasa lemas. Anggotanya seolah remuk tak bertulang, ia luruh ketika melihat wanita yang telah ia anggap sebagai pembantu di gotong dan dibawa mobil ambulance yang datang.Mobil pemilik suara nyaring itu menerobos membelah jalanan. Membuat spontan masyarakat langsung menyingkir, memberikan jalan."Boss! Kita salah sasaran!" ucap Tomo yang segera menghadap. "Bagaimana ini? Kita melukai orang yang tidak berdosa,""Dan parahnya, korban adalah istri boss sendiri," Timpal Bean yang tak kalah panik."Ah, jangan pusing!" Jawab Arash menyangkal yang padahal dalam lubuk hati yang paling dalam. Ia juga merasa bersalah dan jiwa kepriamanusiaan tersentuh."Cabut yuk!"🍁🍁🍁"Dok, bagaimana keadaan perempuan itu?" tanya Arash. Ia menunjuk Aisha yang masih terbaring selama beberapa jam ini. " Apa lukanya parah? Apa ada biaya tambahan?""Oh, lukanya memang cukup parah," Sang dok
"Bagaimana, Mas? Bolehkah saya meminta Anda menganggap saya sebagai istri? Dalam dua minggu ini? Saya hanya ingin mengabdikan diri agar saya dapat memanen pahala kelak," ucap Aisha lagi mempertegas.Ucapan yang membuat Arash terhenyak dan seperti dicambuk ribuan belati.Mendengar permintaan Aisha yang lembut dan penuh iba serta tatap penuh harapan. Sesuatu yang seperti menerobos ke ulu hati Arash semakin menjadi. Jika, kemarin hanya separuh hati kecilnya hanya iba karena merasa bersalah. Kini, berubah seperti tak tega. Bagaimana pun, tindakannya terlalu kejam."Baiklah, Aish! Kau istriku saat ini!" ucap Arash yang membuat secercah harapan tergambar jelas di bola mata hitam milik Aisha. Wanita yang menggunakan niqab itu meneteskan bulir bening haru. Hendak memeluk, hanya saja terlalu canggung.Sedangkan, Arash. Ia hanya menguatkan hati. Bagaimana pun, tak tahu seperti apa Aisha yang sesungguhnya. Bisa saja, tindakannya
"Tidak tahu, bang. Tapi perlu abang tahu bahwa nyonya Aisha...""Kenapa dia?" Sewot Arash tak sabar."Aisha hamil, Bang!""Apa?" Pekikan Arash membuat beberapa santri yang berada di kobong itu spontan menoleh. "H-ha-hamil?" Tegas Arash lagi dengan tangan menutup mulut. Tak kuasa mendengar berita yang begitu istimewa ini."Iya, Bang! Mereka datang dan mempertanyakan keberadaan Abang," Jawab Tomo dari sebrang telepon. "Saya mendapatkan berita ini dari Ucok, karena dia berharap dapat kabat keberadaan boss lewat saya!"Arash terdiam, ia masih mencerna kabar yang membuat seperti ada ribuan cahaya pelangi di matanya. Namun, masih terhalang kabut keraguan dan malu diri."Kami ingin berkumpul dengan Abang, Abang dimana sekarang?" Setelah lama diam, akhirnya pertanyaan itu terlontar dari Tomo, sehingga hatinya berharap akan sedikit mendapat
Tangan Aisha perlahan meraih tali dibelakang kepalanya yang terbalut hijab lebar. Mempersembahkan wajahnya untuk dilihat sang suami. Meskipun, ia tidak menjamin dengan melihat wajah itu Arash akan jatuh cinta. Atau, malah sebaliknya. Yang jelas, Suaminya harus tahu, bagaimana paras yang dimilikinya agar tidak merasa di bohongi atau bak memiliki istri seperti kucing dalam karung.Pelan, dengan penuh perasaan. Tali kain penutup wajah itu mulai terbuka sehingga niqab yang digunakan longgar. Aisha hanya memejamkan mata bersiap menerima reaksi apa yang akan di tunjukan suaminya."Tidak!" Tegas Arash dengan lantang tanpa aba-aba. Sehingga, spontan tangan Aisha terhenti dan matanya terbuka."TIDAK, Aish!" ucap Arash, ia menggelengkan kepala lalu mengangkat kakinya berlari menaiki anak tangga meninggalkan Aisha yang masih terkejut sekaligus percaya. "TIDAK!""TIDAK, Aisha!" Suara Arash menggema ke seluruh ruangan luas i
Aisha di sambut dengan anak-anak yang sudah berkumpul di aula. Mereka terdiri dari anak usia sembilan tahun sampai empat belas tahunan. Yang tak lain Anak Sekolah dasar atau sekolah menengah pertama."Selamat datang ustadzah cantik!""Hore! Ustadzah cantiknya sudah datang!""Aseeekkkkk!"Suara girang dan ceria menggema hingga ke luar ruangan. Mereka hendak berdesakan menyalami Aisha yang baru turun dari mobil dan di gandeng oleh Ummi Sakeena."Mohon maaf ya anak-anak! Ustadzah cantiknya mau istirahat dulu," ucap ummi Sakeena dengan lembut. Mencegah anak-anak yang sudah berkerumun menyambut kedatangan Aisha. Namun, Ummi Sakeena menolak halus karena keadaan Aisha yang masih terpincang-pincang. Bahkan, menggunakan tongkat cructh. Bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jika anak-anak berdesakan."Anak-anakku, kalian baca doa dulu, ya!" ucap Ummi Sakeena menenangkan."Ustadzahnya mau rehat dulu sebentar,"
"Silakan duduk dulu, Ummi!" Perintah Faruq dengan sopan. "Darimana ummi dan Aby tahu tempat tinggal Faruq ini?"Saat ummi Nayla akan menjawab. Tiba-tiba Sorot matanya menangkap dua wanita yang berdiri seperti mengintip ke arahnya."Mereka siapa, Nak?""Mereka siapa?" tanya Gus Faruq pura-pura tidak tahu."Itu, mereka yang berdiri di balik pintu!" Tunjuk ummi Nayla dengan diikuti tatapan oleh Faruq, Rumanah dan Ustadz Hameed. "Kok pakaiannya bukan tipe keluarga kita ya?""Mereka siapa, Faruq?" Kali ini, Ustadz Hameed yang bertanya dengan sedikit tegas dan menekan. Sorot mata Faruq langsung memerah saat melihat dua wanita itu hanya tersenyum manis menyambut kedatangan mertuanya meskipun dari kejauhan."Aby, jangan garang seperti itu lah!" Tegur Faruq seraya mengambil peluang untuk memutar otak. "Mereka hanya pembantu disini, By!"Apa?"Rumanah dan ummi Nayla s