“Aku udah siap!”Gadis kecil berpita ungu di kanan-kiri rambutnya berlari ke arah papa yang sedang duduk membaca koran. Pria bermata sendu itu meletakkan lembar bacaan di atas pahanya, lalu bertanya, “Ada yang ketinggalan, gak?”Gelengan kepala yang menggemaskan dihadiah kecupan lembut di pipi kemerahan berisi itu. Reynan meletakkan koran di atas meja kaca sebelum berkata. “Kita beli dulu makanan buat Ibu Guru, ya.” Dijawil hidung bangir itu, lalu bangkit dari sofa keemasan yang atasnya berbingkai lengkungan ukiran kayu jati. “Siap, Papaku yang baek!”Keduanya tertawa, saling menggenggam menuju tempat yang sama-sama ingin segera di kunjungi. Putri kecil itu duduk manis di samping papanya. Setelah tetpasang selfbelt mobil pun melaju. Sepanjang jalan raut wajah Aslena berbinar-binar. Keinginan untuk main ke rumah guru kesayangan tercapai juga. Kehilangan sosok mama sejak usia lima tahun membuatnya haus kasih sayang seorang ibu. Kebahagiaan juga kentara di sisi Reynan. Meski baru per
“Makasih, Ibu. Aku seneng banget!” Fahira memeluk gadis kecil yang tengah menguarkan pendar bahagia. Di hatinya tumbuh sayang berlebih pada anak yang kehilangan seorang ibu cukup lama. Di sekolah pun Aslena sangat mencari perhatiannya. “Aduh, maaf, hanya bisa menjamu ala kadarnya. Ayo silakan di minum, Sayang.”Ibu Salma masuk kembali ke ruangan dengan nampan besar di tangannya. Duduk di samping Aslena, membelai lembut wajah dan rambut putri kecil itu. Selanjutnya mengecup kening yang tertutup anak rambutnya. “Terima kasih, Ibu. Maaf merepotkan. Ini ada sedikit oleh-oleh dari Aslena.”Reynan menyerahkan dua kantung belanjaan pada Bu Salma. Wanita bergamis dongker itu tak bisa menyembunyikan binar bahagia di matanya. “Aduh, apa ini? Banyak sekali, Makasih, ya, Sayang.”Wanita bertahi lalat di dagu itu kembali mencium Aslena yang tengah tersenyum senang. senangBu Salma segera masuk untuk menaruh buah tangan tersebut. Seandainya tak dikejar tugas kantor, ingin rasanya Reynan berlama
Tak terasa waktu menanjak menuju sore. Aslena mulai merajuk meminta sesuatu yang membuat Fariha kebingungan. “Harus izin Papa dulu kalau mau makan di luar. Kita pesen online aja pizzanya.” Fahira mencari kata agar Aslena menghentikan keinginannya jalan-jalan ke mall untuk makan pizza. Ditawarkan beberapa alternatif, tetapi putri kecil itu tetap kukuh dengan keinginannya. “Papa pasti ngizinin. Aku udah lama pengen makan pizza di luar, tapi Papa selalu gak bisa nemenin. Pulangnya malem aja.”Kembali, gadis kecil itu muram. Luluh juga hati Fahira melihat kemuraman di wajah putih itu.“Yaudah kita telpon Papa dulu, ya?” bujuk Fahira. “Iya, kah? Asiiik!” seru Aslena. Refleks Aslena merangkul Fahira, menciumi kedua pipinya. Gadis itu tersenyum, dibalas ciuman itu dengan gemas. Hari ini dia serasa menjadi seorang ibu sesungguhnya.Fahira menghirup udara dalam-dalam sebelum menelpon papa Aslena. Satu tangan mengelus dada untuk menghilangkan detak-detak yang entah apa namanya. Setelah pan
Reynan memanfaatkan momen ini untuk berlama-lama bersama nona cantik. Meski risih, Fahira tak bisa juga mengusir pria itu dari sisinya. Bahkan sampai ke market pun terus diikuti. Gadis itu makin tak enak ketika seluruh belanjaannya dibayarkan dengan alasan sebagai tanda terima kasih.Lepas belanja, sebelum Fahira mengucapkan kata pamit, Aslena mendahului bicara.“Pah, aku mau maen itu!”Aslena menarik tangan Reynan ke tempat permainan anak. Mau tidak mau Fahira mengikutinya.“Sejak tantenya menikah, Aslena sering kesepian. Saya terlalu sibuk di kantor, “ ucap Reynan memecahkan kebisuan. Fahira menoleh pada pria yang sedang menatap lurus ke depan. Kali ini, binar itu meredup.Selama menunggu Aslena bermain, Reynan dan Fahira duduk di tempat yang disediakan untuk pengunjung. Mereka berbagi bangku panjang yang teebuat dari besi. Sesekali melambaikan tangan pada putri kecil itu.“Dulu Aslena sering bertanya kapan mama pulang? Pertanyaan itu lebih menyakitkan dari apapun karena saya tak pe
“Fa, berjanjilah, apapun yang terjadi kau akan tetap di sisiku. Aku gak bisa bayangin hidup tanpa kamu.”Bayu kembali masuk ke lorong bening manik hitam itu, menyelam hingga ke dasarnya. Mencoba menanamkan ulang keyakinan pada gadis yang entah mengapa seakan gamang.“Apa Mas ragu padaku?”Pertanyaan itu meluncur sebagai pembelaan diri atas tuduhan yang tepat menghantam ke ulu hatinya. Ia pun langsung meradang.“Maksudku bukan begitu. Maaf kalau membuatmu tersinggung.”Bayu tergagap di hadapan pertanyaan gadis pujaannya. Tak menyangka Fahira jadi sensitif begini. Ia tak mengerti di mana letak kesalahan pernyataan tersebut.“Kalau Mas meragukan aku, baiknya tak usah diteruskan.”Suara Fa naik satu level dari biasa. Kelelahan raga juga rasa didakwa mencuatkan sisi emosi jiwa.“Fa, jangan bicara begitu. Aku benar-benar minta maaf. I love you soul and body.”Fahira menundukkan kepala, jari meremas kuat gamis biru dongkernya. Perkataan bayu telak menikam hati yang memang sedang dilanda kege
Aslena menghadapkan badan pada Papa, mengerjapkan mata yang membuat Reynan makin gemas saja. "Hahaha! Bintangnya lucu, kayak-"Pria itu menahan bibir agar tak menyebut nama seseorang yang dilamunkan sedari tadi. Ia tak ingin putrinya bingung akan perasaan orang dewasa. "Lucu kayak putri Papa, muach!"Pipi putih itu sekali lagi mendapat kecupan. Mata Aslena tiba-tiba membesar, ia teringat sesuatu tentang ibu gurunya. "Bu Guru Fa juga lucu. Rambutnya dikucir ke atas, hihihi!"Jantung itu tiba-tiba menghentak, lalu darah ikut berdesir. Sekilas ditepis bayangan liar yang lancang bertandang. "Sssst! Jangan kasih tahu rambut dan badan Bu Guru ke Papa. Itu aurat."Reynan menyimpan telunjuk ke bibir gadis mungil itu. Aslena memiringkan wajah, menggoyangkannya sebagai tanda tak mengerti."Bu Guru bukan mahrom. Jadi Papa gak boleh lihat, gak boleh tahu rambut dan badannya."Meski tak paham, gadis cilik itu manggut-manggut. Hanya saja ia belum puas, lalu bertanya lagi. "Kok, Papa boleh liat
Oma menghentikan aktivitas mengaduk teh manis yang tersaji di atas meja kayu di depannya. Wanita berambut ikal itu memang sangat menginginkan putra sulungnya menikah. "Ibu Fahira, guru aku," tambahnya dengan mata berbinar. Oma yang duduk di bangku kayu jati ukir mendekatkan wajah ke kepala cucunya. Ditopangkan tangan pada dagu, bola mata digerak-gerakan bersiap mendengar penjelasan jujur dari bibir mungil itu. Selanjutnya Aslena menceritakan semua hal yang dia ketahui tentang gurunya. Sesekali oma melirik putranya yang belum juga menimpali."Ibu Fa pintar masak. Ayam gorengnya enak. Nanti Papa mau dibuatkan ayam goreng sama Bu Fa!" seru Aslena dengan kepala ditolehkan pada pria yang sedang berpura-pura melihat ke arah lain. "Wah, Oma mau juga, dong!" timpal wanita yang tubuhnya lebih berisi dari dua orang di sampingnya. Saking penasaran, wanita itu menginterogasi Reynan saat Aslena asyik bermain ayunan di samping kanan gajebo. "Belum fix, Mah. Insya Allah lagi usaha."Reynan men
Pria beralis tebal itu mencoba mencairkan suasana dengan mengajak Fahira berbincang seputar dunia anak dan pendidikan. Cara itu dalam waktu singkat mampu membuat sang guru menyambut antusias tiap pertanyaan. Aktivitas belanja menjadi ringan di sisi Fahira sebab diiringi obrolan ringan bersama pria yang tak seharusnya membersamai. Satu jam sudah keduanya melewati rak demi rak berbagai jenis barang. Kadang Reynan membantu mengambil barang yang tak terjangkau tangan Fahira. Sesekali bercanda dengan menarik benda yang sudah disodorkan, lalu keduanya tertawa. “Haus, ya. Minum dulu di sana, ayo!”“Ehmm!” Fahira melirik benda melingkar di pergelangan tangannya. “Hanya sebentar, ayo!”Mau tak mau Fahira mengikuti langkah pria tegap itu. Tak sampai lima menit keduanya sudah duduk di salah satu foodcourt di mall tersebut. Duduk berhadapan di depan meja kotak coklat. Di tengahnya terdapat tissu dan tusuk gigi. Perbincangan kembali mengalir setelah sama-sama nyaman. “Saya bahagia sekali hari