Di balik dinding bertirai tebal terlihat dua orang laki-laki yang sedang sibuk membicarakan suatu hal. Tentu sudah menjadi kebiasaan Amar dan asistennya itu untuk mengisi waktu senggangnya dengan mengumpulkan beberapa kalimat obrolan.
Anton mendekat ke arah Amar, tidak lama kemudian ia mencoba mengatakan sesuatu yang sedari tadi sudah ia pikirkan.
‘’Apa kita perlu mengawasi nyonya di sana?’’ tanya Anton. Ia tidak tega melihat Amar yang seringkali hilang fokus karena terlalu memikirkan Sara. Meskipun Amar tidak pernah bercerita tentang hal yang ia pikirkan terus menerus, Anton tentu yakin tidak akan salah mengira.
Amar masih terdiam, lalu tertegun beberapa saat tidak menghiraukan perkataan asistennya itu.
Hingga kemudian laki-laki bertubuh kekar itu memejamkan kedua matanya, sambil terus mulai mempertimbangkan saran dari asistennya.
‘’Tidak perlu. Dia tidak boleh sampai risih karena kita mengawasinya
Pukulan keras seketika menyentuh tubuh seorang gadis kecil berusia sembilan tahun. “Bukan. A ... aku tidak melakukannya, Ma.” Dari bilik kamar di sebuah rumah, terlihat anak kecil tengah meyakinkan sesuatu kepada ibunya. Gadis kecil itu terlihat sangat mungil. Ia mengenakan pakaian bermotif polkadot, ditambah penampakan pita merah muda yang menghiasai rambutnya, membuat dirinya terlihat begitu menggemaskan. “Sudah, ngaku saja! Kamu yang memakan ikan di meja itu, kan?” tanya perempuan paruh baya yang berdiri tepat di depan gadis kecil tersebut. Tatapan matanya begitu sinis, bola mata yang berbentuk bulat sempurna, seakan mau keluar dari kerangkanya, ditambah kerutan di dahinya, membuat gadis kecil tersebut makin merasa ketakutan. “Argh, sakit!” Gadis kecil terseb
Sara tidak menemukan satu pun fotonya di dalam buku itu. Ia semakin yakin bahwa orang tua kandungnya, tidak pernah menganggapnya ada. Terlepas dari rasa sakit hatinya, ia tetap melanjutkan untuk membuka buku tersebut sampai tuntas. Hingga pada akhirnya, ia sampai di halaman paling akhir. Dia menemukan sebuah informasi tentang kelahirannya. Sara Damayanti, dilahirkan di Klinik Bunda Mulia, Bidan Anik Masruroh, Surabaya. Hanya tulisan itu yang ia temukan. Mungkin itu adalah kalimat biasa bagi orang lain, tetapi tidak bagi Sara. Tulisan tersebut bisa ia jadikan sebagai petunjuk untuk menjawab semua pertanyaan yang ada di benaknya selama ini. ‘Bagaimanapun caranya, aku harus pergi ke sana,' ucapnya dalam hati. Sara jelas-jelas mempunyai tekad yang kuat untuk pergi ke klinik itu. ** Keesokan harinya, Sara mengemasi beberapa pakainnya untuk di bawa ke Su
Klinik Bunda Mulia. Hati Sara berdegup kencang, ketika melihat tulisan yang terpampang jelas di depan matanya. Selangkah demi selangkah ia berjalan, tujuannya semakin dekat. Ada rasa penasaran yang ingin segera ia temukan kebenarannya. Namum, juga ada perasaan takut akan kenyataan yang nantinya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Suasana klinik tersebut benar-benar sepi, bahkan di bangku antrean depan hanya ada dua orang yang menunggu. Mungkin karena hampir seharian hujan turun, jadi banyak yang merasa malas untuk keluar rumah. “Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis yang duduk di depan pintu pendaftaran. Ia menyapa Sara dengan ramah, lalu tersenyum hingga menonjolkan lesung pipinya yang membuatnya tampak manis. “Iya, Mbak. Perkenalkan saya Sara. Sebenarnya, saya mau ketemu dengan Bidan Anik Masruroh, apa saya bisa sekarang?”
''Wah! Jawaban yang kamu berikan sangat berbeda dari pelamar lainnya. Nilai ijazah kamu, juga tidak buruk. Stabil di angka 8. Yang paling saya suka, kamu begitu percaya diri, dan sangat ramah,'' ucap Zea. Ia seperti sedang memberi sinyal yang positif untuk Sara. “Jadi, keputusannya bagaimana, Mbak?” tanya Sara. Ia benar-benar tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Zea. Meskipun Zea terlihat memujinya, Sara masih tidak berani menyimpulkan apa maksud dari pujiannya itu. Zea menepis bibirnya, lalu mengulurkan tangan. “Selamat! Kamu diterima di toko kue ini. Mulai besok, kamu sudah bisa bekerja,” jawab Zea dengan tersenyum ramah. “Alhamdulilah. Terima kasih banyak, Mbak,” ucap syukur Sara karena ia bisa diterima kerja di toko kue tersebut. Sara kembali termenung. Ada perasaan lega karena ia sudah mempunyai pekerjaan. Namun, d
“Kamu di sini anak baru, jadi harus berhati-hati. Kalau tidak tau, tanya. Jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang membuat pelanggan saya kecewa. Saya tidak suka kesalahan, apalagi kecerobohan,” kata Amar. Ia menatap tajam wajah Sara. Meskipun ia memiliki bibir yang tebal, ia sangat pandai mengecam orang lain dengan sangat mudah. “Baik, Pak, saya mengerti,” jawab Sara seraya menunduk. ‘Dasar orang songong,’ gerutu Sara dalam hatinya. Sara tidak habis pikir dengan sifat bosnya yang begitu angkuh. Ternyata ekspektasinya terlalu berlebihan, ia pikir bosnya adalah orang yang baik hati dan ramah, kenyataannya adalah orang terangkuh yang pernah ia temui. “Pergilah, saya mau berbicara dengan Zea!” perintah Amar kepada Sara. Rupanya ia tidak ingin pembicaraannya dengan Zea didengar oleh orang lain. Lagi pula, Sara juga tidak berselera m
Rumor mengenai keberadaan Sara membuat para pembeli banyak yang berdatangan, dan menarik simpati banyak orang, sudah sampai di telinga Zea. Raut wajahnya pun menggambarkan kecemasan tanpa sebab, sesekali berusaha menarik napas, lalu membuangnya. Bersikap biasa-biasa saja menjadi jalan ninja agar tidak terlihat cemas. ‘’Bagaimana mungkin hanya karena seorang pelayan … apa dia mempunyai ilmu marketing yang jauh di atasku?’’ Tanya Zea pada dirinya sendiri, setengah tidak percaya dengan kenyataan yang ada di depannya. Keberhasilan Sara dalam menarik minat pembeli, menciptakan teka-teki khusus untuk Zea. ‘’ Apa cuma karena dia cantik? ’’ Lagi-lagi ia bertanya pada diri sendiri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa diam-diam dirinya juga mengakui kecantikan Sara. Bahkan sesekali ia membandingkan dirinya sendiri dengan Sara. Namun tetap saja, ia tidak
‘’Mas, are you okay? Hallo!!’’ ‘’Oh ya, ini mbak uangnya!’’ Dengan segera Anda menyulurkan uang berwarna biru tua, yang ia ambil dari dalam dompetnya.Kali ini, matanya masih tidak bisa terpental dari wajah Sara. Meskipun Andra melamun, ia tetap sadar dan mendengar dengan jelas nominal yang Sara ucapkan tadi. ‘’Terimakasih,’’ ucap Sara pada Andra dengan sedikit mengukir senyum di bibirnya.Mempunyai alis tebal berwarna hitam pekat, justru semakin menghiasi wajah Sara. Bagi Andra, setiap kali Sara tersenyum, setiap itu juga ia merasa jatuh hati berulang kali. Sebuah bibir yang memiliki warna merah merekah, membuat senyuman itu terlihat seperti bunga mawar yang baru saja mekar.Sebenarnya ada tanda tanya yang tertanam di benak Sara saat ini, mengenai sikap Andra yang seringka
Sara memberikan handphone itu kepada Andra, ia juga mengetahui kalau handphone yang ia temukan bukanlah barang murah, tentu saja ia sangat berhati-hati untuk menjaganya, sampai pemilik asli handphone tersebut datang untuk mencarinya.Sara bukanlah orang yang cacat teknologi, ia sangat tahu bahwa brand terkenal yang berpusat di California itu, tentunya mempunyai harga belasan juta. Terlebih lagi handphone tersebut menyongsong type terbaru di kelasnya. Di lain sisi, Sara cukup pintar untuk menelitik sesuatu berdasarkan pengamatannya.Dengan lihainya, Andra sengaja mengecek handphone miliknya dengan detail, ia tidak mau Sara sampai curiga kalau sebenarnya dirinya hanya berpura-pura. ‘’Aku akan membalas budi, dengan memberikan handphone yang serupa seperti yang kamu temukan,’’ tutur Andra