Frank gesit berbelok menghindari pepohonan besar. Tembakan batu-batu mengikutinya dari belakang. Lengannya tadi terluka saat lengah. Darah segar membasahi baju. Frank tidak bisa kabur terus.Dia berhenti pada pohon beringin besar. Sebuah pedang panjang muncul pada tangan kanannya yang tidak sakit. Saat pedang itu sempurna ditutupi cahaya kemerahan, Frank menancapkannya pada tanah. Tak! Waktu berhenti. Dia hanya punya setengah menit. Frank menoleh ke belakang, dia kemudian mendekat ke sumber hujan batu muncul. Matanya menyipit saat melihat ada monster kayu lebih besar dari kemarin, duduk di bawah mesin pelempar batu dengan seringaian lebar. Frank berlari mendekat dengan kecepatan penuh, dia kemudian melompat tinggi, tangan kanannya membesar lalu Brakkk! Monster itu hancur bersama mesinnya, lebur jadi satu. Waktu kembali normal. Sisa bebatuan jatuh ke tanah lalu menghilang. Pedang yang tadi ditancapkan juga ikut tersapu angin.Pada waktu yang sama, Jeo mendorong batu besar sekuat tenaga
Mengeluh, Bora mengintip isi lapangan.Dia bisa saja ke bagian dimana Zed sibuk menyatukan kaca-kaca tapi pasti akan dicurigai karena bisa menembus pelindung. Lalu harus bagaimana?Mencoba berpikir keras, Bora memutuskan akan mencari Fred dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau belum terlalu akrab tapi apa boleh buat. Kalau bertemu Jeo di jalan, itu lebih baik. Atau lebih buruk? Mungkin tidak seburuk bertemu monster. Dia siap dimarahi karena ini memang kesalahannya.Bora memandang hutan di depan. Dia meneguk liur berat lalu berjalan sesuai insting. Kemungkinan kanan karena sisi itu selalu baik.Berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Bora terduduk di bawah pohon. Tidak ada jam, kalau dirasa-rasa mungkin sudah satu jam dia berjalan menyusuri hutan. Kakinya lelah, butuh istirahat. Sejak masuk tidak bertemu siapapun. Entah itu Fred atau Jeo atau siapapun itu. Kakinya juga tambah sakit karena dipaksa berjalan.Bora menyenderkan punggungnya. Dia tahu kalau kadang bisa bodoh di beberapa si
"Suara apa itu?" Stephanie berhenti berjalan. Dia memandang Fred yang menjawab sambil menaikkan bahu tidak tahu. Toples besar yang diisi tumbuhan ajaib dipegang erat dalam pelukan.Mereka kembali menaiki tangga.Stephanie berhenti di depan pintu perpustakaan. "Kau juga dengar kan? Aku yakin suaranya dari sini.""Bukalah. Cepat periksa lalu kita pergi." Fred meletakkan toplesnya. Tangannya keram.Stephanie membuka pintu. Gelap. Tidak ada apapun. "Apa aku salah?""Periksa dengan benar."Stephanie masuk lebih dalam. Dia menyalakan lampu lalu memindai isi perpustakaan. Namun tidak ada yang aneh. Semua tampak normal. "Aku salah. Apa mungkin di atap?""Aloha!"Bugh! Fred menimpuk kurcaci menggunakan buku hingga pingsan. "Sejak kapan ada Tinny di sini." Dia meletakkan kembali buku setebal sepuluh senti ke atas meja."Oh! Yang ini bermahkota perak." Stephanie baru pertama kali bertemu jenis kurcaci tersebut."Cukup berbahaya," celetuk Fred."Dia pasti tidak sendiri." Stephanie kembali mengece
Penjara bawah tanah yang berada tepat di bawah halaman luas Trevisia berisi satu dua monster yang berhasil ditangkap. Akan di eksekusi sebentar lagi, jika terlalu lama dikurung takut membahayakan keamaan Trevisia. Tinny si kurcaci perak ditempatkan di penjara berukuran sedang.Bora menatap kasihan, dia duduk dalam posisi jongkok. Sudah hampir lima belas menit menyaksikan Tinny bergumam dengan posisi telentang yang hampir tidak pernah berubah. Bora tidak mau kurcacinya dihabisi, terlalu kejam. Dikurung begini saja hampir membuatnya membuka kunci dan melepas liarkan ke hutan. Frank tidak setuju atas permintaan Bora yang menyuruh melepaskan Tinny sedangkan Jeo tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam."Dia tidak boleh dilepas." Vrey datang dari bawah. Jeo yang berdiri di belakang Bora menoleh ke samping. Menatap datar. Bukan idenya mengurung Tinny di sini tapi Frank setuju saja dengan ide Vrey."Biarkan dia keluar. Kasihan dia." Bora berdiri, berpegang pada lengan Jeo."Setiap monster harus
“AaaAaaaaa.” Suara erangan Bora menarik perhatian. Beberapa orang yang lewat menatap aneh. Posisi duduk miring dengan kepala yang bersender pada kayu ulin tua, mata sayu dihiasi kehitaman di bagian bawahnya, rambut acak-acakan serta gaun selutut kumuh dan celana panjang kecokelatan longgar yang dipadu dengan sepatu jerami butut. Bora pasrah, badannya remuk sehabis mengantarkan lima puluh roti ke perumahan sebelah dengan berjalan kaki. Dia mengangkat tangan saja tidak bisa, saking lelahnya. Badannya seperti masuk ke dalam papan kayu yang sebenarnya sudah agak jabuk tersebut.Ini adalah tahun 1845, dimana kata modern belum ditemukan. Seratus tahun lebih sebelum semua alat canggih terlihat. Tidak ada smartphone, tidak ada internet, tidak ada sandwich dan lebih parah lagi tidak ada es krim!Kim Bora meneguk liurnya sambil mengecap bibir saat melihat cerobong asap yang mirip es krim. Perkiraan suhu hari ini mencapai hampir empat puluh derajat, peluh menetes tanpa henti. Bora mengabaikan, d
“Jangan! Ini aku yang membuatnya!” Langkah Bora terhenti saat mendengar suara anak kecil yang dikenal. Itu George. Anak yatim piatu yang tinggal dekat rumahnya. Sebuah boneka kayu terlempar setelah jadi rebutan setengah jam lamanya. Hancur begitu saja. Kaki dan tangan boneka terlepas. Suasana langsung hening.Tap! Tap! Tap! Bora mendekat. Ia mengambil boneka kayu, membersihkannya dari debu lalu menyerahkannya pada George."Hey kau!" Bora menunjuk anak berambut ikal yang bertengkar dengan George. Kedua tangan berpangku pada pinggang. Posisinya mirip ibu-ibu komplek yang siap membela anaknya yang tengah dibully. "Apa ibumu yang melajarimu untuk mencuri hah??"Anak berambut ikal diam. Bora mendekat kemudian menjewer telinga kanan anak tersebut. "Dasar anak nakal! Dua hari yang lalu kau juga mengganggu kucing-kucing dekat rumahku kan!! Aku sudah tahan-tahan supaya tidak menghukummu tahu! Rasakan ini!" Bora menaikkan tangannya. Anak tersebut berteriak kesakitan, satu dua pejalan kaki yang
Perlahan cahaya api kebiruan hilang dari telapak tangan Jeo. Lampu kembali dinyalakan. Bora masih mematung, ia bahkan tidak bergerak sejak tadi."Aku tidak menduga kau sekaget itu," celetuk Jeo. Pria itu berjalan mendekat, berniat membantu berdiri."Jangan mendekat!" Teriakan Bora memenuhi seisi ruangan. Langkah kaki Jeo terhenti jarak dua meter.Nafas Bora memburu, keringatnya menetes terus menerus. Dia perlahan bangkit sendiri lalu berjalan ke pintu dengan kaki bergetar. Mencoba membuka pintu yang ternyata sengaja dikunci."Kau tidak bisa keluar." Jeo menjelaskan."B-bukakan pintunya!"Jeo menggeleng tenang. "Tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkanmu kabur begitu saja.""K-kau akan membunuhku?""Eyy, tentu saja tidak. Apa wajahku mirip penjahat?" Jeo tertawa kecil. Tapi tidak bertahan lama, dia kembali berwajah datar setelah melihat keseriusan nampak di wajah takut Bora.Jeo mulai berjalan mendekat. Bora menempel pada pintu, jantungnya berdetak tak karuan. Memikirkan banyak kemungkina
Tok! Tok! Tok! Hening, tidak ada jawaban. Bora menatap jam dinding besar. Baru jam sepuluh malam. Tidak mungkin Jeo sudah tidur. Ah, dia bahkan tidak tau pria itu tidur di sini atau punya tempat tinggal lain.Tok! Tok! Tok! Bora menunggu setiap beberapa kali ketukan pintu. Lima menit, kalau sudah lima menit, dia berjanji akan pergi dan kembali lagi besok pagi. Bora menurunkan pandangannya kemudian menatap lubang kunci, menoleh ke kanan dan kiri, menunduk, menutup satu mata dan mulai mengintip isi dalam Bar. Gelap, tidak kelihatan apa-apa.Krskk! Krskk! Suara terdengar. Telinganya bergerak, matanya membesar, dia yakin suaranya berasal dari dalam.Krsskk! Krsskk! Terdengar lagi! Bora masih menatap isi dalam Bar yang gelap. Ia meneguk liurnya berat, bersiap kalau-kalau ada kejutan.Hening, suaranya hilang. Bora fokus menatap gelap. Dia pasti bisa menemukan sesuatu malam ini. Satu menit, matanya sudah agak perih. Satu menit setengah, membasahi mata dengan belasan kali kedipan mata secepat