Share

JELANG PERNIKAHAN

KANAYA

Lelaki yang akan menjadi suamiku itu tidak tua, tetapi amat dewasa. Ia seusai adik papa yang paling kecil sekitar tiga puluh lima tahun usianya. Perawakannya tinggi, tegap dan tampan. Hanya saja rautnya tidak ramah, tak pula semringah.

Aku sama sekali tak berani menatapnya. Dia lebih angker dari guru killer di kelasku dulu. Apakah ini kutukan atas kekurangajaranku pada pak guru. Oh, Tuhan ampuni hamba yang selalu mengerjainya.

Sepanjang acara makan, aku sama sekali tak mengeluarkan suara. Hanya ayah dan lelaki itu yang bicara. Mereka tentu saja membahas bisnis yang aku tak mengerti. Sesekali mama ikut nimbrung dalam obrolan mereka.

Sesekali mata ini beradu dengan netranya . Namun, hanya sekian detik saja aku sanggup menatapnya. Kulihat iris biru terang itu amat tajam. Persis elang atau rajawali mengincar mangsanya.

"Baiklah, kami akan keluar sebentar. Mungkin Tuan Hans dan Kanaya ingin berbincang lebih jauh. Ayo, Mah!"

Aku gagal meraih tangan papa. Mereka terlanjur beranjak meninggalkan kami berdua. Jangan tanya suara jantungku, deg-degan pasti.

Semenit, dua menit kami masih diam. Punggungku mulai terasa basah, wajah pun makin naik suhunya. Tak ada romantisme ala drama korea. Yang ada suasana datar, dingin dan diliputi kecanggungan luar biasa.

Lelaki itu menghentikan aktifitas makannya. Ia mengarahkan pandangannya tepat pada kornea coklatku. Ditatap begitu aku makin salah tingkah. Ya Tuhan apa dia akan menelanku?

"Kamu keberatan dengan pernikahan ini?"

Akhirnya lelaki itu buka suara. Namun, pertanyaannya sungguh di luar dugaan. Aku yang sedang grogi, makin gelagapan.

"Iya, eh, tidak, eh, iya!"

Hellow Kanaya, kamu kenapa? Aduh gawat bisa diamuk mama ini. Kututup mulut dengan satu tangan. Sekilas kupandangi iris biru di depan sana. Ia sepertinya tak terusik dengan kegrogianku. Tatapannya tetap sama.

"Jika keberatan, aku bisa membatalkannya, " ucapnya lagi. Terang saja itu membuatku kaget setengah mati.

"Hah!"

Sumpah, aku bloon banget sampai bereaksi sereaktif itu. Eling Kanaya. Dia itu Mr Hans bukan teman sekolahmu.

Sebelum melanjutkan pembicaraan, aku harus menghela udara sepanjang mungkin, lalu mengembuskam perlahan. Ini diperlukan agar tak terjerumus lagi pada kebodohan.

"Jika pernikahan batal, apa Anda akan menolong perusahaan papa?" tanyaku setelah berhasil meredakan kekagetan.

"Tentu tidak!" jawabnya singkat. Terang saja emosiku naik mendengar jawaban menyebalkan itu.

"Kenapa begitu? Kenapa Anda menolong harus dengan pamrih?"

Ya ampun, kenapa aku bicara begitu. Kanaya, Kanaya jangan bertindak bodoh. Papa membawamu kesini bukan untuk berdebat atau marah-marah. Beliau memintamu untuk bersikap manis di hadapan pria ini.

"Kamu masih terlalu muda untuk memahami hal ini. Nanti, jika kita telah hidup bersama, kamu pasti mengerti kenapa aku begitu."

Selepas ucapan itu aku tak berselera lagi untuk bicara. Mood ini langsung jatuh. Kesan pertamaku adalah pria itu tak menyenangkan. Kaku, dingin dan tak bersahabat. Terlebih ucapan tegasnya bahwa tak akan menolong jika pernikahan dibatalkan. Keelokan paras itu ternyata tak sebanding dengan sifatnya. Entah bagaimana hidupku kelak di sisinya?

*

"Gimana? Cocok pasti?" selidik Ben di ruang keluarga. Pemuda itu duduk di samping kiriku. Ia menyelonjorkan kakinya hingga mencapai ujung sofa bed.

Aku malas merespon ucapan pemuda yang usianya lewat lima tahun dariku. Meski sama matre dengan ibunya, tapi ia tak pernah bersikap buruk padaku. Bahkan cenderung perhatian.

"Kenapa sih gak lo aja yang kawin ma janda kaya. Trus selametin deh perusahaan papa."

Ben terbahak mendengar celotehanku. Saking kesal kusumpal saja mulutnya dengan tisu. Pemuda koplak itu mengumpat setelah mengeluarkan benda putih yang memenuhi mulutnya.

"Rasain, weee!"

Aku berlari sebelum Ben membalasnya. Untung saja langkah kakiku masih lincah hingga bisa menghindari kejarannya.

"Nay, kalau laki lo macem-macem, lapor ke gue. Tangan ini siap menghajar siapapun yang nyakitin lo!"

Sebelum pintu kamar tertutup, masih terdengar jelas ucapan Ben. Sepertinya tulus dari hati. Namun, apa bisa aku mengadu pada orang luar terkait rumah tanggaku kelak. Tak mungkin'kan!

*

"Kanaya, pengantin pria sudah tiba, ayo!"

Detak Jantungku tak lebih kuat dari deru napas ini. Dalam Ayunan langkah menuju ruang akad, aku hanya mampu memasrahkan diri pada-Nya.

Sungguh, tak ada jalan untuk lolos dari perkara ini. Aku melakukannya semata untuk menyelamatkan orang yang telah berjasa dalam hidup ini. Papa tak Boleh menderita apalagi dipenjara.

Sesaat, Ayunan kaki ini tertahan seiring tabuhan sel-sel di jantung mengencang. Dia, sang pengantin pria ada di seberang sana. Berdiri menatapku dengan iris biru serupa mutiara berkilauan.

Hanya dalam hitungan detik aku akan berada dalam genggamannya. Tanpa pilihan, tanpa kata cinta yang membuai angan.

*

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status