Share

Rumah peninggalan Ibu

"Ya-allah, Mas! Apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku ketakutan.

Jantungku berdetak kencang, takut jika Mas Rian berbuat nekat. 

"Laki-laki kurang ajar itu harus mendapat balasan yang setimpal!"

"Tapi, Mas, bukan pake cara kekerasan! Kita bisa bicarakan dulu baik-baik. Bagaimanapun saat ini status Mas Ilham masih menjadi suami, Rima," jawabku mendekati Mas Rian yang sedang dibakar emosi.

"Sudah, Rim. Kamu diam saja! Ini urusan lelaki" sahut Mas Rian tidak memperdulikan ucapanku.

Ketakutanku semakin menjadi, saat Mas Rian sibuk mencari kunci motornya.

Mas Rian orang yang sangat emosional, amarahnya sulit dikendalikan, jika sedang marah dia bisa berbuat nekat. Teringat kejadian lima belas  tahun lalu, saat Almarhum Bapak difitnah oleh temannya, Mas Rian hampir saja menghilangkan nyawa teman Bapak itu.

Karena tidak terima bapak di fitnah, Mas Rian menghajar habis-habisan sampai korbannya koma, dan akhirnya Mas Rian berurusan dengan polisi. Untung saja dia hanya di tahan sebentar, karena keluarga korban mau diajak berdamai setelah Bapak membayar penuh biaya rumah sakitnya.

Mendengar keributan antara aku dan Mas Rian, Mbak Lena pun akhirnya keluar dari kamar menghampiri kami.

"Kalian ini apa-apaan sih? Ko malah ribut. Kasihan Aisyah. Dia baru saja tidur, jangan sampai dia terbangun gara-gara kalian berisik!" 

"Ma'af, Mbak. Aku cuma khawatir jika Mas Rian berbuat nekat," jawabku pelan.

"Kamu juga, Mas. Apa-apaan sih, pake bawa golok segala?" tegur Mbak Lena, wajahnya sedikit kesal.

"Kita bicarakan baik-baik solusinya, jangan sampai malah kita yang jadi tersangka!" ucap Mbak Lena menggiring kami untuk duduk.

Mendengar ucapan Mbak Lena, Mas Rian langsung nurut. Dia pun kembali menaruh golok di tempat asalnya.

"Rim, sertifikat rumah sudah atas nama kamu?" tanya Mbak Lena.

"Belum, Mbak. Masih atas nama almarhum Ibu, rencananya akan segera kurubah menjadi atas namaku."

"Kamu bawa sertifikatnya?" Kali ini Mas Rian yang bertanya.

"Bawa, Mas," jawabku sambil mengeluarkan sertifikat dari dalam tas ku.

"Bagus! Lebih cepat dirubah, lebih baik!" sahut Mas Rian yang mulai terlihat lebih tenang.

"Besok, Mbak antar kamu urus semuanya! Kebetulan Mbak punya teman yang bekerja di jasa balik nama tanah dan rumah,"

"Alhamdulilah, makasih banyak ya, Mbak!" Mendengar ucapan, Mbak Lena, membuatku sedikit lega.

Setidaknya rumah dan tanah warisan dari ibu yang menyimpan begitu banyak kenangan masa kecilku akan terselamatkan.

***

Hari sudah sore, aku harus segera pulang. Kulihat Aisyah sedang asik nonton TV bersama Mbak Lena dan Mas Rian.

"Mas, setelah sholat ashar aku mau pulang. Takut keburu malam,"

"Kamu gak nginep disini saja, Rim?" cetus Mbak Lena melirik ke arahku.

"Nggak, Mbak. Kapan-kapan saja, aku masih banyak urusan dirumah yang harus ku selesaikan."

"Mending kamu tidur disini saja, Rim!, lebih aman. Lagian kasihan Aisyah. Capek bolak-balik Depok-Banten," seru Mas Rian, tangan kekarnya mengelus kepala Aisyah.

'Aku tidak mungkin nginep disini, aku harus segera mencari buku nikah yang disembunyikan Mas Ilham entah dimana. Lagian aku juga belum lapor diri ke Pak RT mengenai kedatanganku dari Saudi,' pikirku dalam hati.

"Maaf, Mas. Sepertinya aku memang tidak bisa nginep disini,"

"Ya sudah, Rim, kalo kamu ngotot ingin pulang ke Banten, Mas tidak bisa larang. Tapi biarkan Aisyah tidur disini! Disini dia akan lebih aman." 

"Iya, Rim, biarkan dia tidur disini biar Mbak ada temennya!" timpal Mbak Lena.

Setelah dipikir memang benar juga apa yang dibilang oleh Mas Rian dan Mbak Lena, rasanya Aisyah memang lebih aman jika untuk sementara tidur disini. Walau berat hati berjauhan dengan Aisyah, tapi ini yang terbaik.

Aku ingin segera mengajukan cerai, jadi aku harus segera mencari buku nikah itu.

"Ya sudah, Mas! untuk malam ini, Aisyah tidur disini dulu, besok baru aku ajak pulang." Mendengar jawabanku, Mbak Lena langsung tersenyum renyah, jari lentiknya mencubit pipi, Aisyah, lalu memeluknya erat. 

Mbak Lena sangat menyayangi Aisyah seperti anaknya sendiri. Mungkin karena sudah dua belas tahun menikah tapi belum juga mendapatkan keturunan.

Setelah selesai shalat ashar aku langsung berpamitan. 

"Aisyah, Ibu pulang pulang dulu ya. Aisyah malam ini bobo sama tante ya sayang, besok Ibu jemput," kupeluk tubuh Aisyah cukup lama, ku cium pipi kanan dan kirinya. Wajahnya tetap tanpa expresi, dia hanya mengangguk sambil menggigit kerudung yang dia pakai.

Berat hati ini untuk meninggalkan, Aisyah. Tapi kurasa ini yang terbaik untuk kesehatan dan keselamatan, Aisyah. Mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan.

'Sabar ya, Nak! Nanti kita berobat ke dokter,' lirihku dalam hati. 

"Mas, Mbak. Aku pamit dulu ya! Aku titip Aisyah, tolong dijaga baik-baik."

"Iya, Rim!" jawab Mas Rian. "Kamu tenang aja, maaf gak bisa anterin kamu, Mas kerja malam!" ucap Mas Rian mengantarku sampai pintu pagar. 

***

Selama perjalanan yang ada di pikiranku hanya Aisyah. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Mas Ilham kepada Aisyah selama lima tahun ini? Kenapa Aisyah sama sekali tidak mau berbicara, bahkan untuk mengutarakan rasa sakit saja tidak bisa. Padahal di sekujur tubuhnya dipenuhi luka yang seharusnya dia keluhkan saat merasa sakit. Aku harus secepatnya bawa Aisyah ke dokter.

Setelah tiga jam perjalanan akhirnya sampai juga dirumah.

Aku terkejut saat mengetahui pintu rumah sedikit terbuka. "Ya allah, siapa yang masuk kedalam rumahku? Apa jangan-jangan, Mas Ilham ada di dalam?" seketika dadaku terasa sesak, napas mulai tidak beraturan, tangan dan kaki gemetar. "Ya-allah lindungilah hamba," lirihku takut.

Kenapa nyaliku tiba-tiba menciut, aku takut saat aku masuk pemandangan yang kulihat sama seperti kemarin, dengan ragu-ragu aku mulai langkahkan kaki, perlahan ku buka pintu dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu aku tidak melihat ada orang, aku sedikit lega. Kulanjutkan langkahku menuju kamar, dan ternyata tidak ada satu orang pun di dalam kamar. Aku menarik nafas lega.

"Alhamdulilah ya allah" ucapku tenang.

"Rima!! Dari mana saja kamu?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status