Suara Mas Ilham mengagetkanku dari arah dapur. Aku yang sedang berjalan mengendap-ngendap seketika berhenti karena terkejut. Jantungku hampir saja copot.
"Mas Ilham!" jawabku. "Ngapain kamu datang lagi ke sini? Apa kurang puas kamu menyakiti aku dan Aisyah?" ucapku dengan nada tinggi, walaupun sebenarnya hati kecil ini takut bukan main. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan rasa takutku kepada Mas Ilham."Rima, tolong jangan marah-marah dulu, kita bisa bicarakan baik-baik' kan?" "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas!" sahutku melengos meninggalkan Mas Ilham."Rima! Tunggu! Bisa nggak' sih, kamu dengar dulu penjelasan ku?" Teriak Mas Ilham mengejarku ke kamar Aisyah."Suami macam apa kamu, Mas. Tega-teganya kamu berbohong kepadaku selama ini, setiap aku menelponmu dan ingin berbicara dengan Aisyah, kamu selalu saja banyak alasan dan berusaha mengalihkan pembicaraan, dan ternyata aku baru sadar itu semua kebohonganmu untuk menutupi kesalahanmu, apa yang sebenarnya kamu lakukan terhadap Aisyah, Mas? Kenapa sekujur tubuh Aisyah penuh luka?" cecarku panjang lebar penuh emosi."Aku stres, Rim! Coba kamu bayangkan, selama lima tahun aku mengurus dia seorang diri," sahut Mas Ilham membela diri."Bukannya kamu yang dulu menyuruhku menjadi TKW, Mas?" "Sudahlah Rim, kamu tidak akan mengerti bagaimana rasanya jauh dari istri" sahut Mas Ilham berlalu meninggalkanku.Malam semakin larut, malam ini aku akan tidur di kamar Aisyah dan membiarkan Mas Ilham tidur sendirian di kamarnya.***Seperti biasa setiap subuh aku selalu bangun lebih awal, selesai sholat subuh, kuniatkan mencari buku nikah yang disembunyikan Mas Ilham, kulangkahkan kaki berjalan menuju kamar di mana Mas Ilham tidur, sepertinya Mas Ilham sengaja tidak menutupnya. Pelan-pelan kakiku berjinjit memasuki kamar, perlahan kubuka pintu lemari pakaian dan mengeceknya, namun hasilnya nihil, sepertinya Mas Ilham tidak menyimpannya di sana.Mataku tertuju ke nakas putih di samping ranjang. Akupun langsung mengeceknya, namun mataku terbelalak saat yang kutemukan bukan buku nikah, melainkan beberapa bungkus kondom dan testpack baru yang belum digunakan.Dadaku mulai sesak, nafasku mulai tersengal, keringat dingin membasahi tubuhku."Ya Allah mas, apa sebenarnya yang kamu lakukan di rumah ini? Tega-teganya kamu mengotori rumah ini dengan kelakuan bejatmu!" lirihku dalam hati.Dengan cekatan aku ambil semua yang ku temukan sebagai bukti .Bergegas aku keluar kamar dan menyimpan semua bukti ini dalam tasku, sejenak aku berfikir. "Dimana Mas Ilham menyembunyikan buku nikah itu"Akhirnya aku putuskan untuk mengeceknya di jok motor Mas Ilham, kuambil kunci motor di atas TV, segera aku pergi menuju garasi kecil di samping rumah, tempat dimana motor itu diparkir. Belum sempat aku membukanya, Mas Ilham menegurku."Rim! Ngapain kamu disini?" tegur Mas Ilham mengagetkanku."A-anu, Mas. Aku lagi cari sapu, aku gak tau Mas Ilham naruh sapunya dimana," sahutku terbata-bata. "Mas sendiri kok tumben pagi-pagi sudah bangun" tanyaku memicingkan mata."Oh, aku kangen kopi buatanmu. Cepat buatkan aku kopi!" "Gasnya habis, Mas, sebentar aku beli dulu ke warung pak RT!" sahutku melengos meninggalkan Mas Ilham."Kenapa harus beli di warung pak RT sih? Kenapa gak beli di warung Mpok Uyuy saja," cetus mas ilham kesal."Warung Mpok Uyuy jauh, Mas, harus masuk gang, lagian Rima juga ada perlu sama pak RT, uda dua hari belum lapor kalau Rima sudah disini,""Ya udah! Mas antar saja kalau gitu!""Terserah kamu saja, Mas!" jawabku datar.Mas Ilham pun bergegas mencuci mukanya, kemudian mengambil kaos yang tergeletak di sofa lalu memakainya, kita pun berjalan kaki menuju warung pak RT, sepanjang perjalanan Mas Ilham terus mengoceh."Rim, nanti kalau kamu ketemu si Ibnu kamu jangan ngobrol sama dia' ya!""Hemm.""Kalau dia menatap wajahmu, kamu segera berpaling, jangan balik menatapnya.""Hemm.""Kalau si Ibnu ngajak salaman, kamu jangan mau. Abaikan saja!""Hemm.""Rima! Kamu dengerin aku gak' sih? kok dari tadi, ham-hem ham-hem terus!""Denger, Mas! Lagian, Mas aneh banget, ngajarin aku kayak anak kecil saja. Aku juga tau batas, Mas! Aku bukan wanita pengumbar nafsu yang bisa dengan mudahnya tergoda dengan lawan jenis!" jawabku dengan tatapan sinis.Mendengar jawabanku, wajah Mas Ilham seketika berubah pucat pasi, tangannya menggaruk kepala seperti salah tingkah.Puas hati ini melihatnya salah tingkah karena tersindir.***"Assalamualaikum, Bu,""Waalaikumsalam" jawab Bu RT yang sedang menyapu di depan warung."Ya allah, Neng Rima! Kapan datang Neng? Duh Ibu kangen banget, Neng!" sambut Bu RT hangat. "Dua hari yang lalu, Buk" jawabku mencium tangan Bu RT."Ayo, masuk, Neng!" ajak Bu RT membukakan pintu rumahnya.Dengan semangat Bu RT berteriak memanggil Pak RT."Pak! Pak! Sini cepat, ada tamu istimewa!" "Ada siapa sih, Bu? Ko teriak-teriak," sahut Pak RT menghampiri."Eh … ada Neng Rima! Kapan datang Neng?" "Dua hari yang lalu, Pak." jawabku, sama seperti tadi, aku langsung cium tangan Pak RT.Kami pun ngobrol bersama, sedangkan Mas Ilham duduk di teras luar sendirian. Entah kenapa Bu RT tidak begitu menyukai Mas Ilham. Begitupun sebaliknya, Mas Ilham selalu sewot kalo berurusan dengan keluarga Pak RT.Mungkin Mas Ilham masih cemburu dengan Ibnu, anak Pak RT, temanku saat SD."Rim, ko suamimu tidak disuruh masuk?" tanya Pak RT."Biarin saja lah, Pak! Orang seperti itu jangan diurus." sambar Bu RT kesal."Jangan gitu dong, Bu! Malu sama Neng Rima," ucap Pak RT sedikit malu karena omongan istrinya."Tidak apa-apa, Pak. Mas Ilham tunggu diluar saja" "Rima!" panggil seseorang ber jas putih yang baru keluar dari kamar. Aku terdiam dan sedikit berpikir. "Ibnu?" suhut ku menunjuk dari kejauhan."Nu, sini cepat. Kamu gak kangen apa sama Rima?" Teriakan Bu RT membuat Mas Ilham terperanjat dari teras dan seketika langsung nyelonong masuk ke dalam."Kamu kenapa sih, Mas? Jangan bikin malu di rumah orang," ucapku pada Mas Ilham yang tiba-tiba nyelonong."Ayo kita pulang, Rim. Mas uda laper, kamu kan harus segera masak!" Dengan seketika Mas Ilham menarik tanganku."Sebentar, Mas. Kita kan masih ngobrol," jawabku menarik tanganku dari genggaman Mas Ilham.Dari kejauhan Ibnu datang menghampiri kami, dia terlihat sangat gagah dengan kemeja putih khas seorang dokter, lengkap dengan tas hitam di tangan kirinya."Hi, Rim! Apa kabar? Kapan datang?" tanya Ibnu ramah membuat Mas Ilham sedikit geram. Aku dan Ibnu saling mengulurkan tangan, namun tidak sampai bersentuhan. Ibnu sangat mengerti jika Mas Ilham sering cemburu padanya."Kabar baik, Nu! Dua hari yang lalu. Kamu sendiri gimana kabarnya? Keren ya sekarang uda jadi dokter.""Keren, tapi masih jomblo, Neng! Susah cari yang cocok. Ibnu pengennya yang seperti Neng Rima. Uda cantik, baik, sholelah, pinter lagi. Tapi sayang …" belum tuntas Bu RT bicara, Ibnu sudah memotongnya."Uda, Bu! J
Entah sudah berapa lama aku tidak merasakan kehangatan seperti sekarang ini, biasanya hari-hariku selalu dipenuhi luka batin yang kurasakan dari sosok yang menyebutnya Ayah. Iya … semenjak Ayah sering mengajak teman wanitanya ke rumah, aku bagaikan binatang piaraan yang terlantar. Sehari-hari hanya dikurung dalam kandang, menunggu sang pemilik memberinya makan. Pukulan dan hardikan bagai sarapan rutin untukku. Terkadang aku berpikir, aku hanya tinggal menunggu waktu untuk mati. Betapa tidak, untuk sesuap nasi saja, aku harus memohon sampai air mataku kering.Namun, setelah kehadiran seseorang yang memanggil dirinya, Ibu. Hatiku menjadi hangat. Dua hari lalu, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba dia hadir di rumahku, saat melihatku, dia menangis, berderai air mata di pipinya.Tangannya yang halus membelaiku. Dan memelukku dengan erat. Seketika dia menggendongku di pangkuannya. Dengan suara paraunya, dia mengajakku bicara. Namun, trauma yang kurasakan membuatku sulit untuk berucap. Ak
Bu dokter tidak menjawab. Dia hanya memberiku sebuah amplop berisi kertas putih. Tidak menunggu lama, aku langsung membukanya. *"Astagfirullah …! Ya-allah, Aisyah!" seketika air mataku menetes membasahi kertas yang ku pegang.Banyak istilah kedokteran yang aku tidak mengerti, tapi kulihat riwayat kesehatan Aisyah sangat buruk. Bahkan ada beberapa tulisan yang dicetak tebal seperti. Gizi buruk, irritable bowel syndrome/IBS (sindrom iritasi usus), fisura ani (luka/robekan di anus), dan pioderma (infeksi bakteri kulit). Nama-nama yang asing di telingaku, namun sangat menakutkan.Air mataku terus mengalir deras di pipi, Mbak Lena merangkul pundakku, berusaha menguatkan aku. Meskipun aku tau, dia juga merasakan kesedihan yang kurasakan saat ini. Ku lihat tubuh kecil Aisyah yang masih terbaring diatas ranjang, matanya menatap ke arahku, seolah ingin bertanya apa yang aku tangisi.Tak bisa kubayangkan anak sekecil Aisyah harus menderita seperti ini. Berbagai macam penyakit hinggap di tubuh
"Rim, suamimu itu benar-benar keterlaluan. Coba kamu lihat ini!" ucap Mas Rian sambil mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Dan memperlihatkan isinya kepadaku dan Mbak Lena. Sebuah surat perjanjian utang piutang atas nama Ilham Anggoro. Dengan jaminan rumah dan tanah."Ini maksudnya apa, Mas?" tanya Mbak Lena."Tadi aku bertemu dengan temanku, dia sering memberi pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah. Dan saat aku lihat foto rumah yang sedang dia pegang membuat aku terkejut. Ternyata rumah di dalam foto itu adalah rumah ibu!""Jadi, maksudnya, Mas Ilham meminjam uang dengan jaminan rumah kita?" sahut ku terkejut mendengar apa yang diucapkan Mas Rian."Iya, Rim betul!" "Tapi, mana mungkin Mas Ilham bisa mendapatkan pinjaman. Sementara sertifikat nya saja di tangan kita?" "Si Ilham hanya memberikan foto copy nya saja, temanku bilang si Ilham hanya meminjam uang dalam kurun waktu 1 bulan. Dengan bunga 10%. Bukan hanya itu, sepertinya si Ilham pandai sekali berbohon
"Dasar istri kurang ajar! Semalaman gak pulang, ternyata kamu asik selingkuh dengan si Ibnu!" teriak Mas Ilham yang menyambutku dengan sebuah tamparan."Jangan asal ngomong kamu, Mas! Siapa yang selingkuh? Aku gak pulang semalaman karena jagain Aisyah di rumah sakit!" ucapku tak terima dengan tuduhan Mas Ilham."Gak usah mengelak kamu, dasar pelacur!" kali ini Mas Ilham mendorong tubuhku hingga terjatuh ke kursi."Kamu suami gak punya perasaan, Mas! Selama Aisyah tidak ada di rumah ini apa kamu pernah menanyakan dimana keberadaan Aisyah? Apa pernah kamu mengkhawatirkannya? Aisyah sakit aja kamu gak tau, Mas! Bahkan gak mau tau! Apa jangan-jangan kamu yang selama ini menyakiti Aisyah, Mas?" cecarku penuh emosi."Ngo-ngomong apa kamu, Rima? Jangan asal tuduh sembarangan!" jawab Mas Ilham terbata-bata. Kulihat dia sedikit salah tingkah. "Kenapa, Mas! Mas gak suka 'kan kalo di tuduh sembarangan?" tanyaku memicingkan mata."Jangan kurang ajar kamu, Rima!" "Siapa yang kurang ajar, Mas? Aku
Aku sama sekali tidak menghiraukannya, aku biarkan dia terus-menerus mengirim pesan, aku tidak akan membalasnya. Karena itu hanya sia-sia, Mas Ilham adalah orang yang sangat cemburuan, dia akan berbuat nekat jika aku melayaninya.Sesampainya di rumah sakit aku langsung naik ke lantai dua menuju kamarnya Aisyah, kulihat Aisyah sedang asik bermain ponsel ditemani Mbak Lena."Assalamualaikum!" ucapku memberi salam."W*'alaikum salam," jawab Mbak Lena."Hai, Aisyah. Aisyah lagi liat apa?" tanyaku pada Aisyah lalu mencium pipi kanan dan kirinya. Aisyah tidak menjawab, namun dengan cekatan dia memperlihat kan layar ponsel yang sedang dia pegang ke arah wajahku, seolah ingin memberitahu apa yang sedang dia lihat."Oh, Aisyah, nonton doraemon, ya?"Aisyah langsung mengangguk mengiyakan."Mas Rian mana 'Mbak?" tanyaku pada Mbak Lena yang sedang menguap ditutupi oleh kedua tangannya, sepertinya Mbak lena ngantuk dan kelelahan, dia menjaga Aisyah seharian tanpa ada yang menggantikan."Mas Rian ta
Pov IlhamLelah sekali rasanya, bertempur dengan Rima untuk pertama kalinya setelah lima tahun tidak pernah berhubungan dengannya. Kulihat Rima masih terbaring lemas di atas ranjang.Aku segera bergegas keluar dari kamar menuju sofa di ruang TV, lalu ku ambil sebatang rokok yang tergeletak di atas meja. Kusandarkan pundakku di bibir sofa untuk beristirahat sambil menunggu peluh yang masih bercucuran ini surut.Rima keluar dari kamar, tubuh mulusnya dibalut selembar handuk putih, langkahnya sedikit tertatih. Sepertinya dia benar-benar kelelahan setelah melayaniku, kakinya melangkah menuju kamar mandi.Setelah kuhisap habis sebatang rokok, aku pun tertidur di atas sofa, entah berapa lama aku tertidur. Namun, saat mataku terbuka hari sudah semakin gelap, kulihat jam di ponsel pukul 19:15 suara gerimis masih terdengar nyaring di telingaku."Rima! Cepat buatkan aku kopi!" teriakku pada Rima."Rima! Rima!" berulang kali ku panggil namanya namun Rima tidak juga menampakan batang hidungnya. "
"Kurang ajar, kau Rima!" teriak Mas Ilham yang masih menutup matanya dengan tangan."Dasar istri pelacur!" hardik Mas Ilham lalu berdiri dengan mata yang masih tertutup mengayunkan tangan kanannya ke udara dan tangan kiri yang masih menutupi wajah, sepertinya dia mau menamparku. Namun sayang, tamparan itu tidak mengenaiku. Aku berhasil menghindar."Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian, Mas! Siap-siap kamu angkat kaki dari rumahku!" ucapku lalu melangkah meninggalkan mereka. Mendengar ucapanku sepertinya Mas Ilham tidak terima. Dengan cepat dia menarik hijab ku dari belakang, sampai aku terjengkang."Sampai kapanpun, aku tidak akan keluar dari rumah itu!" teriak Mas Ilham dengan lantang sambil terus menarik hijabku.Melihatku yang masih duduk di lantai, mereka berdua mulai membalasku, Mas Ilham dan wanita simpanannya terus mengoyak-ngoyak baju dan hijabku. Tangan kananku terus menahan agar hijab yang ku pakai tidak terlepas.Bahkan wanita itu menendang bagian perut ku dengan s