# Dikerjai Ibu mertua
Setelah sampai tujuan, Devi melihat layar ponselnya, dan membayar sejumlah tarif yang tertera di layar.
Devi masuk ke ruangan salon dan merasa beruntung Karena kondisi sedang sepi, jadi tak perlu untuk mengantrinya.
Devi pun mengatakan sama tukang salon keinginannya untuk Spa full body, facial wajah dan creambath rambut.
Setelahnya dia diarahkan oleh pegawainya ke ruangan khusus untuk spa, dan membaringkan badannya di atas kasur empuk tapi tipis yang berukuran sesuai dengan badannya.
Ia pun dengan pasrah sambil memejamkan kelopak matanya. Tidak menunggu lama ia sudah merasakan pijitan dan beberapa gerakan Perawatan yang lihai dari mbak salon membuatnya menguap berkali-kali.
Setelah selesai Spa lanjut untuk facial, wajahnya yang mulus tanpa jerawat memudahkan mbaknya mengolesi krim racikan andalan dari salonnya, tanpa harus memencet jerawat seperti beberapa pelanggan sebelumnya.
Devi tampak menikmati pelayanannya, dan saat ingin beranjak ke tahap selanjutnya dia melihat gaun yang indah berjejer yang digantung di dalam lemari kaca, rasa penasaran yang tinggi akhirnya memberanikan diri untuk bertanya tentang gaun itu.
"Itu gaun siapa, Mbak?" tanyanya sambil menunjuk gaun yang menggangu penglihatannya.
"Owh itu gaun baru, Mbak. Dari desainer yang lumayan terkenal menitipkan kesini untuk disewakan," jelas Mbak salon sambil menatap gaun.
Mata Devi berbinar, keinginan untuk memakainya akan segera terwujud. Membuatnya tersenyum saat membayangkan dia memakai ke acara ulang tahun teman suaminya nanti.
"Disewakan, Mbak?" tanyanya memastikan kembali.
"Benar disewakan."
"Berarti sebelumnya udah dipake sama penyewa-penyewa sebelumnya dong?" terka Devi.
"Di sini juga menyediakan beberapa gaun untuk disewakan, Mbak. Berbagai model dari hijab dan non hijab. Beberapa pelanggan banyak yang nyewa dari sini juga make up, mungkin buat acara-acara tertentu," jelasnya lagi panjang lebar.
Memang terlihat banyak sekali dres yang berjejeran, membuatnya paham.
Sebelumnya dia tak mau tau dengan lemari kaca di salonnya yang berada di tengah ruangan. Hanya melihat dan berlalu, namun kondisi saat ini berbeda melihat ada Gaun pendek selutut berwarna hitam membuatnya penasaran.
"Untuk gaun yang ditunjuk Mbak, kebetulan belum ada yang nyewa sama sekali. Ini benar-benar baru," ucapnya lagi.
Perasaannya girang bukan main, dia mengambil dompetnya dan melihat uang cash, serasa cukup untuk membayar tagihan beserta uang sewa gaun.
Akhirnya dia menyewa gaun tersebut, dan kembali ke perawatan yang sempat tertunda tadi.
Hari beranjak makin sore, acara creambathnya sudah selesai, dan akan melanjutkan mengikal rambut di rumah, karena peralatan di rumah lumayan lengkap, make up adalah hobinya dari kecil, membuatnya memiliki lebih banyak alat makeup dari rambut sampai ratusan koleksi nail art.
Dia pulang dengan menenteng gaun yang sudah tertutup cover dari bahan kain tipis. Dan masih dilapisi plastik tebal dan gantungan baju.
Devi melipat lebih kecil agar enak membawanya.
Dia kembali memesan ojek online ke arah warung Padang nanti, kali ini seorang Bapak lebih tua daripada tukang ojek yang tadi.
Setelah motor melaju, Devi masih dengan perasaan bahagia dan tidak sabar untuk mencoba gaun itu pun sesekali mengusapnya beberapa kali di pangkuan.
Tidak lama mereka sampai tujuan. Dia Melihat parkirannya sudah lumayan sepi, dan dia masuk lagi untuk memesan makanan karena di salon yang lumayan lama membuatnya lapar kembali.
Devi sengaja makan di sana dan tidak membungkusnya, kali ini dia mengerjai suaminya habis-habisan. Biasa sebelumnya dia akan memasakkan makanan setelah pulang kerja, Karena kebetulan pulang kerjanya lebih awal daripada suaminya. Jadi pas suaminya pulang selalu ada makanan yang tersaji di meja makan.
Devi sepertinya sudah capek dengan keadaan sebelumnya, dan sekarang dia akan bersifat bodo amat. Hanya satu tujuannya, agar suami tahu kalo perjuangan dia udah kelewat lebih. Dan merasa dirugikan banyak olehnya.
Setelah selama makan, dia langsung pulang ke rumah yang tak lupa membayar makanannya.
Dia menarik dan memutarkan arah motornya. Kemudian mengambil kuncinya di dalam tas. Kemudian menstarter motor maticnya.
Dia melajukan motornya dengan pelan, menyusuri jalanan sambil menikmati pemandangan yang masih asri, masih banyak pohon di kanan kirinya. Rumahnya yang terletak jauh dari kota membuatnya masih bisa menikmati udara yang masih segar.
Sesampainya di rumah, masih dengan ciri khasnya saat ia sedang berbahagia, dia akan berjalan sambil bersiul atau bernyanyi.
Devi begitu riang dan membuka begitu saja pintunya.
Begitu terkejutnya ia saat memandangi pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Bola matanya membulat sempurna, kaget melihat keadaan rumahnya seperti kapal pecah, lantai keramiknya sudah dihiasi dengan banyak bekas telapak kaki dari lumpur basah mengintari ruangan hampir setiap inci.
Bahkan yang paling pojok pun ada bekasnya juga karpet bulu yang sengaja ditaruh di bawah kursi sofa pun bisa-bisanya banyak butiran nasi yang menyebar di sana. Sofa yang masih kinyis-kinyis pun tak luput. Seperti disiram minyak goreng yang dilihat dari warnanya yang glowing.
Devi menghela napas kasar, dan teringat tadi sebelum pergi meninggalkan mertuanya yang masih duduk bersenderkan tembok.
'Mertua jahannam!' umpatnya sambil berjalan ke arah dapur. Padahal untuk membangunkan moodnya dia harus rela mengeluarkan beberapa lembar merah untuk ke salon. Kini moodnya benar-benar hancur tak bersisa.
Dia melangkah pelan sambil memakai sepatu putih yang dipakai tadi, karena tak ingin kakinya menginjak lumpur basah di lantai.
Sesampainya depan kamar mandi, dia melepaskan sepatunya, dan langsung membilasnya. Memasukkan ke ember yang sudah ada di dalam kamar mandi lalu ia keluar dan hendak ke dapur untuk mengambil air putih, tenggorokannya menjadi serasa mengering.
Lagi, ia melangkah begitu saja ke arah dapur tanpa melihat kebawah, membuatnya terpeleset dan bokongnya langsung terjun bebas mencium lantai yang sudah berlumuran minyak goreng, pinggangnya langsung terasa begitu pegal, pegangan tangannya ikut terlepas saat ingin menahan bobot badannya, ponselnya terpelanting lumayan jauh.
Gaun yang dibawa pun ikut terjatuh dan langsung kena minyak goreng, untung saja yang terkena cuma plastiknya. Wajahnya memerah ia mendongak, tangannya mengepal.
"As*! Baji****! T*i!" Dia mengumpat habis"an untuk mertuanya, sayangnya Ibu Endang sudah pergi duluan sebelum dia pulang.
Dia tertatih, mencoba bangun dan tangannya berpegangan sama sisi tembok, akhirnya mampu berdiri, dengan rasa pegal, kram yang mengikuti.
Dia merepet tembok untuk berjalan ke arah kamar, berjalan menyamping sambil telapak tangannya merapatkan ke tembok, seperti bayi yang sedang belajar berjalan.
Sesampainya di kamar, dia langsung merebahkan badannya ke atas ranjang. Saat badannya menempel kasur, ada hawa dingin yang menjalar di tubuhnya. Baju yang dipakai pun ikut basah karenanya.
Rambutnya yang habis creambath pun ikut basah. Devi terkejut dan bangun untuk memastikan, tangannya meraba sekitar kasur dan menekannya, matanya melotot saat mengetahui ranjangnya mengeluarkan air dari dalam, benar-benar basah.
Ia yakin, air yang dituang oleh mertuanya itu tidak cuma seember. Mungkin saja beberapa ember yang dituang.
Emosinya seakan-akan habis dibuat mertuanya. Perasaan dongkolnya udah tak bisa digambarkan lagi. Giginya bergemeletuk.
Dia duduk di samping ranjang dan menyandarkan badannya untuk menetralkan emosinya yang sedang menggebu. Membiarkan rumahnya berantakan, tak ada keinginan untuk membersihkan. Membayangkan saja sudah capek duluan ditambah habis terpelanting lumayan keras.
Dia membiarkan semua itu, biar suaminya aja yang membersihkan nanti atau besoknya.
Next bab selanjutnya ....
Jam kerja telah berakhir, dengan perasaan semangat yang menggebu , Hasan melangkah keluar meninggalkan gedung menuju parkiran, lalu ia mengemudikan mobilnya dengan membawa perasaan bahagia, ya, sebentar lagi ia menjemput sang istri untuk ke tempat di mana Rendi ulang tahun. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lantas ia menambah laju mobilnya agar segera sampai rumah. Yang ia tahu ia akan pulang ke rumah yang langsung disambut istrinya dengan penampilan yang sudah dandan cantik, dan ia pun akan langsung mandi dan makan setelah itu berangkat. Apalagi hari ini Devi libur kerja. Pastinya semua sudah beres rapi. Ia tahu karena tadi Ibunya mengirimi pesan kalau Devi sedang di rumah. Dia lupa pertengkaran kemarin ia menyetir mobil sambil bernyanyi, bersiul. Rasa laparnya pun terkalahkan dengan perasaan bahagianya. Sengaja istirahat siang dia tidak makan siang karena untuk menghemat pengeluaran, uang satu juta yang dipinjam dari teman kerjanya pun sudah
Saat keluar rumah mereka melihat beberapa orang menatap mereka dengan penasaran."Ada apa sih, Mas?" tanya Devi sambil memegangi kemeja suaminya."Gak tau, Dek. Yok lah biarin aja!" jawabnya sambil menarik tangannya Devi.Hasan menyadari ini perbuatan tadi yang berteriak di depan pintu. Namun malu bila harus ngomong jujur sama Devi.Akhirnya mereka masuk mobil, meninggalkan para tetangga yang penasaran. Hasan melajukan mobilnya dengan pelan, menyusuri Jalanan, melihat ke kanan kiri bermaksud mencari toko arloji. Setelah melewati beberapa lampu merah, akhirnya menemukan toko arloji yang berada pinggir kota.Mereka turun untuk melihat-lihat jam yang dijualnya. Hasan menemukan satu jam yang sesuai dengan keinginannya. Akhirnya meminta pihak toko untuk membungkusnya dengan kertas kado dan tidak lupa mencatat namanya dulu di sebuah memo kecil yang di selipkan sebelum dibungkus.Akhirnya mereka selesai bertransaksi, kemudian kembali ke mobilnya. Mengundurkan mobilnya sesuai arahan tukang
"Loh kamu, Mas? kok bisa jadi tukang ojek, bukannya masih kerja di kantor? dan kulihat kamu masih ada diacara ulang tahun Rendi?" tanyaku bertubi-tubi.Seribu pertanyaan menunggu penjelasan di benakku, tadi yang membuatku risih di acara tadi, kenapa bisa dia datang jadi tukang ojek yang aku pesan. Rasa penasaranku terlalu menggunung hingga mengabaikan rasa sebalku tadi pas di tempat Rendi."Iya, aku nyambi tukang ojek online kalo sepulang kerja, bagaimanapun aku harus berjuang membahagiakan istriku," jawabnya menatapku nanar."Berjuang? Sampe mati-matian gitu ya? emang istrimu gak kerja?" "Ya enggaklah, ngapain aku nikahin dia kalo nyuruh dia kerja, bagaimanapun aku bertanggungjawab atas nafkahnya," ucapnya dengan matanya yang terendam memandang ke langit menatap bintang-bintang.Aku mencoba mencerna perkataannya, memang dari segi fisik suamiku lah yang unggul, tapi cara berpikirnya mampu membuat netraku berkaca-kaca. Kenapa suamiku sendiri tidak ada niatan untuk menafkahiku, apakah
Aku terduduk lemas, menatap dinding lift, sudah beberapa kali aku menggedor-gedor. Namun tidak ada sahutan dari luar, mungkinkah mereka semua sudah tertidur ataukah mereka tidak mendengar suara gedoran. Aku harus bagaimana sekarang, seorang diri di dalam lift dengan hanya membawa gawai yang sudah habis baterainya, aku benar-benar putus asa, mungkinkah aku akan mati, aku belum sempat meminta penjelasan Mas Hasan, aku tidak siap bila harus mati sekarang.Setidaknya sebelum mati aku sudah membalas perbuatan Mas Hasan, aku ingin menebus kebodohanku sendiri, aku ingin memperbaiki keadaanku saat ini.Tak terasa air mataku luruh ....Satu jam ....Dua jam ....Tiga jam ....Akhirnya aku tertidur dengan posisi badan tertekuk, kepala menyender di lutut dan kedua tangan masih memeluk lutut.Aku tersentak saat ada gedoran pintu dari luar, dan bergegas bangun untuk membalas gedoran, biar mereka tahu kalau ada orang di sini.Saat ini aku mendengar obrolan dari luar, mungkin lagi berusaha memecahk
PoV 3Hasan menggeliat dari tempat yang ditidurinya, dia meraba sekitar untuk mencari gawainya. Saat ditemukan dia langsung mengaktifkan gawainya dan mencari aplikasi hijau yang bergambar telepon, menarik ulur layar depannya. Berharap ada pesan masuk. Namun sayangnya tak ada pesan yang masuk satu pun.Hasan bergegas bangun, menoleh kesana kemari."Dev, kamu dimana?" teriaknya sambil berjalan mondar mandir. "Devi!" Masih Belum ada jawaban dari Devi. Hasan keluar dari kamar, dia membuang nafas kasar melihat keadaan rumahnya yang masih berantakan. Hasan kembali ke kamarnya dan mengambil gawai. Memencet tombol untuk mencoba menelepon Devi. Namun tidak tersambung. "Kurang ajar sekali si Devi, ninggalin rumah berantakan! Mana perut lapar lagi!" gerutunya. Dia berlalu lalang, mencari solusi yang tepat untuknya dan akhirnya dia teringat pesan Devi."Lebih baik aku ke rumah ibu saja," ucapnya sambil bersiap pergi. Rumah ibunya yang tak terlalu jauh membuat Hasan mampu menahan laparnya. D
Devi benar-benar mantap ingin berhenti bekerja, karena kodratnya seorang isteri di rumah dan sang suami mencari nafkah.Hasan pun akhirnya kembali ke rumah, tidak jadi pergi ke rumah ibunya. Dia masuk mengambil sapu dan kain lap.Hatinya menahan dongkol yang bertubi-tubi. Rasa penasaran karena ketahuan jumlah gajinya. Membuat ia semakin berfikir keras, dia sekilas melirik Devi yang ikutan membersihkan karpet. Mengambil butir demi butir nasi yang tercecer.Rasanya dia tak rela bila harus berbagi gajinya dengan Devi, dipikirannya dia harus berbalas budi dengan ibunya jadi wajar bila ngasih uang gajinya. Tapi ke istrinya dia benar-benar tak ikhlas membaginya, karena ia beransumsi yang pantas di beri adalah orang yang tidak mampu bekerja, sedangkan Devi masih muda, mampu untuk bekerja. Entahlah anutan apa yang diikutinya sehingga tidak ada rasa kewajiban untuk menafkahi istri. Padahal itu hukumnya wajib di mata agama.Dia berfikir, seharusnya Devi beruntung karena memiliki suami yang ta
Mendengar kata cantik, Devi bergegas menghampiri suaminya. "Cantik apa maksudnya,Mas?" tanyanya tanpa menunggu teleponnya dimatikan.Hasan kaget melihat Devi sudah berada di sampingnya. "Loh, Dev. Tadi kan kamu lagi keluar kok tiba-tiba sudah di sini?" jawabnya langsung mematikan telepon."Mas, kamu mau menikah lagi? Kamu jahat, Mas.""Enggak, Dev. Kamu salah dengar tu," Kilahnya."Kalau sampai iya ... awas saja, Mas," ancam Devi dengan mata yang berkaca-kaca.Hueekk ....Tiba-tiba perut Devi begitu mual dan ingin memuntahkan isinya namun berkali-kali mencoba tak berhasil.Hasan yang melihat itu langsung khawatir dan memapah Devi untuk masuk ke Rumah.Ada perasaan menyesal dalam hatinya. Bagaimanapun dulu begitu manis berumah tangga. Hasan memandang Devi yang lemas dengan keringat di wajahnya. Memandangi inci demi inci wajah yang dulu begitu cantik dan menarik kini sudah berubah. Lebih terawat sebelum dia menikahinya."Kamu, hamil, Dev?" Hasan teringat perkataan teman kalau seorang
Tiba-tiba Hasan menarik tangan Devi dengan keras yang menimbulkan bekas kemerahan di pergelangan tangannya.Dia coba melepaskan pegangannya namun tidak juga terlepas, genggaman Hasan terlalu kuat. Cobaan macam apa lagi ini. Baru aja belum ada sehari dia merasakan hangatnya kasih sayang. Kini malah seperti ini."Ayo pulang!" ajaknya penuh penekanan dan bola matanya melotot ke arah Devi."Tapi, Mas. Ini kalau gak dihabiskan akan kena denda," lirih Devi sambil mengarah ke meja makan yang masih setengah lauk belum terjamah, bukan karena apa tapi takutnya nanti malah kena denda."Sudah seperti ini, kamu masih mikirin perut?" tanyanya dengan wajah mengejek."Mas! Aku cuman kasihan kalau nanti akan bayar dobel." Devi mencoba mengingatkan konsekuensinya."Ha ha ha, kasihan katamu! Lantas saat kamu bikin anak dengan orang lain otak kamu kemana? Mana belas kasihmu?" Dia menjawab dengan menghentakkan tangan Devi.Sakit? Tentu saja sakit, itu yang dirasakan Devi, bukan lagi karena tangannya melai