Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
"Ini tempat tinggal kamu," ujar Xabier pada Batari, istrinya, di teras sebuah rumah klasik. Rumah itu terawat dengan baik, seorang asisten rumah tangga setiap hari merawatnya. "Kita tidak tinggal serumah. Kamu bebas melakukan apa saja," lanjutnya, menatap malas pada Batari. "Ada yang ingin kamu tanyakan?" tanya Xabier pada perempuan muda usia sekira 24 tahun itu. Banyak hal yang ingin Batari tanyakan pada Xabier. Namun, kepalanya nyatanya menggeleng lemah sembari tertunduk. Pagi hingga sore tadi adalah acara pernikahannya bersama Xabier. Pernikahan terpaksa yang harus diselenggarakan karena permintaan Evaristo Xabier Santos sendiri. Sekarang, perempuan itu malahan ditempatkan jauh ke perbatasan kota. "Jangan mencariku, bila tidak ada keperluan mendesak. Aku sibuk dengan pekerjaan dan usaha," peringatnya tidak ingin diganggu oleh Batari Abiyasa. Perempuan itu mengangguk lagi. Ia tidak pernah meminta pernikahan ini terjadi, meskipun saat itu dalam ketidaksadaran penuh Xabier menod
Xabier turun dari mobil mewahnya, masuk ke dalam studio. Hari ini ia ada jadwal pemotretan untuk iklan merek parfum pria terkenal. Tubuh pria itu padat berisi, ia kerap menyambangi pusat latihan kebugaran untuk membentuk ototnya. Ditambah cambang halus di sekitar dagunya, menguatkan ketampanannya. Xabier telah bersiap, kini tengah memeriksa parfum yang didominasi aroma lemon, jeruk, sedikit apel. "Xabi, kita mulai sepuluh menit lagi," ujar fotografernya. Xabier mengangguk lalu mengendusi aroma wangi yang keluar dari botol parfum itu. Ia sangat menyukai aroma yang menguar dari wadahnya. Waktu yang ditentukan tiba, Xabier melakukan pose terbaiknya. "Aroma parfum ini menenangkan, aku suka. Untuk perusahaan mana ini?" tanya Xabier pada fotografernya, Guidom, setelah sesi pemotretan selesai. "Kebiasaan, tidak baca kontrak kerja," ujar Guidom, sahabatnya sejak zaman kuliah. "Sebut saja, Guidom. Jangan bertele-tele," tuntut Xabier. Tidak membaca kontrak kerja adalah kebiasaannya. Namu
Agenda Xabier hari ini mengunjungi dua cabang restoran miliknya. Itu kegiatan rutin Xabier sekali sebulan, selain menjadi model parfum pria.Jarak antara kedua restoran berkisar 20 km, masih berada dalam kota yang sama. Lalu lintas yang padat hanya memungkinkan untuk menyambangi dua restoran saja.Kunjungan ke cabang restoran pertama berjalan lancar. Meskipun restoran itu menghasilkan keuntungan paling kecil diantara cabang lain dan pusat, kinerja karyawannya memuaskan bagi Xabier.Pria itu tiba di cabang restorannya yang kedua. Sama seperti yang pertama, sambutan yang baik diterima dari para karyawan.Bertepatan dengan ramainya pengunjung restoran saat itu, Xabier merasa puas menyaksikan meja kosong hanya sedikit. Cabang restoran ini paling baik dalam menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan lainnya.Xabier berjalan menuju ruang yang khusus bagi dirinya bila mengunjungi setiap cabang restoran. "Apa semua berjalan lancar?" tanyanya pada Sekarita, kepala cabang restoran."Siap, Pak.
Batari dibaringkan di brangkar pasien di ruang unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Seorang perempuan dengan jas warna putih memeriksa keadaannya.Batari sudah sadarkan diri, tetapi dalam kondisi yang tidak prima. Ia hanya diam memandang ke sekeliling hingga bersirobok tatapannya dengan Xabier."Kamu di rumah sakit," jelas lelaki itu.Perawat di sampingnya membantu mengecek suhu tubuh dan tekanan darah."Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Xabier."Ibu Batari tekanan darahnya rendah, menyebabkan ia tadi pingsan. Ini membutuhkan perawatan di rumah sakit agar dapat kita pantau," jelas dokter bernama Cresentia pada label nama yang menempel di dadanya.Dengan berat hati, Xabier menerima saran dari Cresentia. Batari pun tidak membantah. Kalau ia ngotot minta dirawat di rumah, akan merepotkan. Xabier pasti harus mencari tenaga yang akan membantu merawat dirinya."Kita akan memasukkan cairan infus. Ini sedikit sakit," ujar perawat.Batari meringis merasakan sakit jarum suntik di lengannya.
"Tidak." Jawaban pendek itu semakin membuat Batari kesal. Dadany kembang kempis menahan emosi."Bapak datang kemari hanya untuk membuat saya marah?" protes Batari. Ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ponsel itu. Terpaksalah ia menggunakan angkutan umum untuk sampai ke rumah yang disediakan Xabier untuknya.Batari menyandang tas ranselnya, melangkah keluar ruangan. Ditentengnya map berisi hasil laboratorium dan resume medis.Sebelum sampai ke pintu, Xabier lebih dulu menghalangi jalan Batari."Pulang sama saya!" perintah Xabier, maniknya menatap Batari."Tidak mau," kata Batari. "Saya bisa pulang sendiri. Tolong, beri saya jalan, Pak," sambungnya dengan sorotan tajam pada Xabier.Pria itu geram melihat Batari yang keras kepala. Sebelum ini, Xabier tahu kalau Batari orang yang lembut dan ramah, sehingga pengunjung restoran yang bersedia mengikuti survei kepuasan pelanggan memberi nilai baik pada pelayanannya."Jangan berlebihan. Aku memang mau menjemput kamu," kata Xabier menjelaskan ma