Pov MiraJujur aku sudah merasa lelah menjaga Mas Lengga. Bukan apa, setelah dua Minggu di rawat dan di perbolehkan untuk pulang, Mas Lengga mengalami kelumpuhan dan sedikit idiot. Kini aku harus merawat dua orang sekaligus. Mengurus Mas Lengga lebih parah daripada merawat Dalisa. Rasa hati ingin mengeluh, kenapa setelah menikahi dia bukan kebahagiaan yang aku dapatkan, justru sebaliknya. Hah, ingin rasanya meminta cerai. Tapi, ada perasaan tidak enak. Apa yang harus aku lakukan sekarang?****Prang!Ya Tuhan, apa lagi yang dibuat gaduh olehnya.Aku meninggalkan Delisa di kamar dan menghampiri sumber suara itu. Ada rasa iba memandangnya meski ada juga rasa kesal padanya. Kulihat Mas Lengga sedang bersusah payah mengambil minum. Sambil berdengus aku menghampirinya. "Kan sudah aku bilang, kalau butuh apa-apa bunyikan lonceng!" ucapku sedikit ketus. Bukan apa, kalau dia mencoba sendiri, justru tidak akan beres dan menambah pekerjaan untukku. Seperti ini contohnya, aku harus membe
Ya ampun …. lelahnya aku hari ini, nasib ya nasib, berharap nikah sama pengusaha hidup enak, malah jadi babu. Bagaimana tidak jadi babu, kalau semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakan, benar-benar keterlaluan Mba Sinta.Perkenalkan, namaku Mira. Tepatnya, Amira Larasati. Wanita cantik berkarir cemerlang seketika harus redup karena nasib jadi istri kedua. Mba Sinta adalah istri pertama Mas Lengga. Cantik …, cerdas …, tapi angkuh menurutku. Beberapa tahun yang lalu, aku adalah sahabat kecil Mas Lengga. Pernikahan ini terjadi ketika aku bekerja menjadi sekretaris di kantornya. Karena seringnya bersama, akhirnya ada rasa diantara kami berdua, rasa itu semakin hari semakin kuat dan berubah menjadi cinta. Aku tahu, Mas Lengga sudah menikah dan memiliki istri serta anak laki-laki yang tampan. Tapi perasaan cinta yang aku miliki dapat mengalahkan segalanya. Suatu kejutan ketika sahabat masa kecil mengajak untuk melangkah ke pelaminan. "Aku nyaman sama kamu, Mir …" kata Mas Lengga saat it
"Mira! Sepatu saya mana?" tanya Mba Sinta keluar dari kamarnya."Mau Mira ambilin, Mba?" tanyaku berbasa basi. Harapannya Mba Sinta ambil sendiri."Boleh, tolong ya, Mir," pintanya."Eh, Iya, Mba." Dengan berat hati aku mengambil sepatunya. Udah persis babu beneran. "Mba Sinta mau pergi?" tanyaku sambil memberikan sepatunya. "Kelihatannya gimana? Emang kamu gak bisa lihat?" jawabnya ketus. Nyebelin banget si. Lagian aku juga cuma basa-basi. Uh, ingin sekali kuberi racun."Mau kemana kamu, Sinta?" tanya Mas Lengga yang baru saja pulang kantor. "Bukan urusan kamu! Awas deh aku mau ketemu teman," ketusnya pada Mas Lengga. 'ckckckck sukurin kamu, Mas. Emang enak di ketusin'"Ngapain cengengesan?" Mas Lengga terlihat merah padam."Seneng aja." Aku mulai berlendot di bahunya yang kekar."Iya, kenapa?""Gak apa-apa. Ayo kita makan udah kusiapkan makanan favoritnya.****"Mas … pindah yuk," rengekku manja."Lho, kenapa?" "Ya aku capek tinggal di sini. Mana enggak ada pembantu. Masa iya ak
Semalaman bergadang membuat badan lemas dan mata menjadi ngantuk. Gini amat si nasib gue. Udah persis babu. Sialan emang si Sintahe. Lagian Mas Lengga jadi suami kenapa mesti lembek coba. Dia itu kan yang punya kuasa di rumah ini, tapi kenapa harus takluk sama Sintahe. Tidak bisa dibiarkan kalau seperti ini. Tidak adil namanya.*****"Mira tolong setrikain baju saya." Mba Sinta melemparkan sekranjang pakaian lalu meninggalkannya begitu saja. Apa-apaan ini, enak saja dia mau menjadi nyonya di rumah ini. Aku yang gemas menarik kencang pergelangan tangannya sebelum dia pergi. "Mba! Tunggu! Maksudnya apa seperti ini?" kesalku padanya. "Kamu tuli? buta? Atau bodoh? Aku nyuruh kamu nyetrikain pakaianku. Kalau tidak kamu kerjakan, jatah bulanan kamu dari Lengga akan saya kurangi! Ngerti! Enak saja kamu masuk ke rumah tangga saya ketika kehidupan kami sudah jauh dari kata miskin! Kamu itu sahabat Lengga kan? Lalu kenapa kau menggodanya di saat Lengga sudah sukses dan memiliki istri serta an
Allhamdullillah …. Mba Sinta beneran pergi. Hatiku gembira riang tak terkira, mendengar berita, kabar nan bahagia. Mba Sinta kan pergi … jangan pernah kembali,,,, eh salah nyanyinya. Lupa lirik wajar, maaf ya sang pencipta lagu boneka India, Mira gak sengaja sangking seneng Mba Sinta mau ke Irlandia, eh salah, ke Bali maksudnya.**** "Mir … saya pergi dulu. Jaga Revan! Yang bener jangan macem-macem," pamitnya sambil membawa koper. "Kan Revan udah gede, Mba. Masa di jagain?" protesku. Mba Sinta tidak menjawab lagi, dia segera pergi.Yuhuuuuuuuuuu …. yes … yes …."Kenapa kamu kaya belatung nangka begitu?" Mas Lengga, kalau ngomong gak ada saringannya. "Mas … Mba Sinta ke Bali …." "Udah tahu! Aku juga mau ke Balik papan seminggu." "Serius, Mas? Ikut ya, please." Aku memohon."Gak usah, mau ngapain ikut-ikut segala! Suami mau cari duit juga!" tolaknya mentah-mentah."Mas, tapi inget, kalau digoda sekretaris, Mas cuekin aja, ya." Wanti-wanti lebih baik. Nanti dia diambil orang repot.
Setelah pulang dari salon, rasanya badan lumayan lebih enak, wajah sedikit terasa lebih kencang. Ya ampun, nikmat sekali rasanya. Baru terasa setelah pernikahan, ternyata tidak seindah waktu menjadi selingkuhan. Kukira Mba Sinta akan ninggalin Mas Lengga, tapi masih bertahan. Hem …. Entahlah, sampai kapan aku terus seperti ini, rasanya batin juga sudah tidak kuat. Bagaimana kalau Ayah dan Ibu tahu nasib anak perempuannya? 'Bu, hidup Mira di sini tidaklah seindah dalam angan.' Ini sebenarnya gara-gara Mas Lengga yang lembek ngadepin Mba Sinta. Pergerakanku tidak sebebas dulu, semua di bawah kendali Mba Sinta. Mira capek di sini, Bu. Tapi Mira takut ngelawan Mba Sinta. Mira juga malu cerita sama Ibu, Ibu pernah menentang pernikahan ini, tapi Mira tetap bersikeras. *****"Cantik-cantik kok jadi pelakor!" Aku teringat ucapan Bu Inem. Pelakor, perebut laki orang. Perasaan aku bukan pelakor, aku kan gak ngerebut Mas Lengga dari Mba Sinta. Pusing ih, mikirin kata-kata pelakor. Pesan masu
"Jurus jitu melawan pelakor supaya tidak kurang ajar ya memang kitanya harus tegas." Aku membahas seputaran tentang pelakor bersama Maya temanku. Dia baru saja mengalami apa yang aku alami, hanya saja Maya tidak sekuat aku, bodohnya dia malah langsung menyerahkan suaminya. "Sekarang Pelakor memang sedang merajarela, seperti sudah tidak ada pria single saja," ucap Ratna."Sebenarnya, ini semua tergantung mereka, mampu menahan hawa nafsu atau tidak. Tapi biarkan saja, aku tidak sebodoh itu menerima Mira. Setelah puas menjadikan babu, cepat atau lambat, semua surat-surat penting akan kuganti menjadi namaku. Kemudian, aku akan meminta cerai dari Lengga. Biar …. Jika sudah seperti ini, aku akan membuat mereka hancur, sehancurnya. Bermain cantik, butuh taktik," ungkapku pada kedua sahabatku."Gila! Sadis lu, Sint!" Ratna berucap sambil menengok ke arah Maya. "Laki-laki, jika sudah berani berselingkuh di belakang kita, tidak menutup kemungkinan dia akan mengulangi lagi. Selingkuh itu penya
Huaaaaaa … capek! Hik hik hik …. Tubuhku terkulai lemah akibat kelelahan, Mba Sinta kurang ajar! Aku terus berteriak memaki namanya. Capek, Mak! Lelah, capek, huuuaaaaaaaa! Awas lo, Mba! Aku siapkan racun besok! Dasar Sintahe! Gila! Gila! Gila! Sumpah aku gak kuat. ***Kebetulan Revan lewat mau kemana dia. "Revan! Kamu mau kemana?!" triaku beraharap anak tiriku mau menghampiri dan merasa iba."Ke rumah Nenek, Tan …." "Tolongin dong, bantuin Tante jemur korden yuk," pintaku dengan wajah penuh harap."Enggak ah, Tant, males. Tante kerjain sendiri aja, bye," jawabnya sambil berlalu mengabaikanku. Astagfirullah, Ya Robb. Mira … sabar … Mir. ****Akhirnya, setelah berjam-jam aku bergelut dengan korden selesai juga. Gila, capek banget. Untuk menghilangkan penat, aku duduk santai di ruang tamu sambil menonton televisi. Salah satu tema di sebuah chanel menarik perhatianku. Ya, tema itu mengusung tentang sebuah karma untuk pelakor. Sedikit takut melihatnya, tapi rasa penasaran mampu mengala