Share

Narsis

Jauh dari situ, Lichelle ‘bete’. Ia kurang suka melihat postingan F******k miliknya. Di laman F* itu, seorang pria, teman sekolahnya yang cukup dekat, sibuk memamerkan diri. Belasan foto multishot dengan wajah closeup dirinya dipajang di sana. Bagi Lichelle itu sepertinya pertanda kejiwaan. Ada spirit narsis, tidak percaya diri dan butuh pengakuan dari orang banyak akan keberadaan dirinya.

            Ketika bermain dengan medsos, hampir selalu ia menemukan wajah orang itu di sana. Termasuk juga ketika ia memajang sebagian kekayaan yang dimiliki berupa supercar, motor gede, gadget, lokasi wisata, serta restoran yang dikunjungi. Ada sifat pamer di situ dan Lichelle kurang suka. Ia sebal. Saat ia hendak berganti laman, ia melihat ada sebuah notifikasi bahwa seseorang melakukan postingan. Karena yang melakukan adalah ayahnya, ia lalu membuka.

            Rasa sebalnya makin bertambah. Berubah menjadi marah ketika melihat foto ayahnya di lokasi proyek dimana ada seorang wanita di dekatnya. Cantik, tapi ia curiga ada hubungan khusus antara keduanya.

*

            Charlie mengundang seorang temannya untuk datang malam itu karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan. Dedot, nama orang itu, sama-sama Kelas 11 seperti dirinya. Bedanya Dedot walau ada di jurusan IPS tapi beda ruang dengan Lichelle dan Maura yang sekelas. Ia sibuk membantu bapaknya di toko kecil mereka sewaktu Dedot datang. Melihat kesibukan Charlie memindah-mindahkan aneka dus makanan, Dedot berinisiatif nolong.

            “Tau nggak, Dot. Gue ngundang lu dateng ke sini berhubung mau nawarin sesuatu,” ujar Charlie setelah tugasnya selesai. Keduanya sekarang asyik menikmati minuman ringan.

“Sebetulnya gue juga dateng mau nawarin sesuatu, Lie.”

            “Oh, kalo gitu lu duluan deh ngomongnya.”

“Gue ke sini mau nawarin bass gue. Kali aja lu minat.”

“Bass? Yang Cort?”

“Siapa tau lu minat sama bass gue. Gue kasih harga temen deh.”

“Kenapa lu mau jual? Mau ganti baru?” tanya Charlie sambil menyeruput minumannya.

“Boro-boro. Gue mau jual untuk bayar sekolah. Gue udah dua bulan nunggak. Seminggu lagi udah jadi tiga bulan dah.”

“Bisnis orangtua lu gimana?”

“Lagi seret. Jaman now makin dikit orang mau makan nasi uduk.”

Charlie sulit membantah omongan tadi. “Itu bass lu satu-satunya. Nggak sayang?”

“Emang sayang sih, tapi… mau apa lagi. Alive is not easy,” kata Dedot.

Charlie yang sangat tahu bahwa Dedot itu keminggris – alias sok bahasa Inggris walau kosakata dan gramatikalnya tergolong parah – tertawa keras.

“Kenapa ketawa? O, anu, bahasa Inggris gue jelek ya?”

Charlie menggeleng.

“Nggak jelek. Cuma ancur aja,” cetusnya sambil kembali tertawa.

“Sialan.”

“Kalo tujuannya untuk bayar sekolah kenapa lu gak usahain cari beasiswa sekolah, Dot?”

“Lu tau kan IQ gue gak seberapa. Kadang gue malu di-bully sama orang-orang.”

“Sabaaaar.”

“Lu enak aja bilang sabar-sabar. Salah satu yang suka nge-bully kan lu sendiri.”

“Hehe… Kesian deh lu,” Charlie kembali terkekeh. “Tapi lu gak boleh ngomong gitu. Semua orang itu diciptain Yang Mahas Kuasa sebagai makhluk berharga. Lu pinter. Cuma pinternya di bidang musik. Yang jago matematika kan belum tentu jago musik kayak lu.”

“Terus apa yang gue musti lakuin dong di masa susah begini? Gue lagi kepepet.”

            “Nah ini yang tadi gue maksud mau tawarin ke lu,” Charlie berhenti sejenak. “Gue sama teman-teman mau bikin band. Tujuan akhirnya sih ngedapetin beasiswa. Pihak yayasan udah ngasih penawaran. Mereka kepingin sekolah kita punya band, punya paduan suara, punya tim olahraga, punya tim sains. Nah semua itu harus tampil di acara HUT Yayasan sebentar lagi. Pasti lu udah tau hal ini kan? Ini acara penting dan harus istimewa karena berkaitan ulang tahun ke 20. Kalo kita bisa tampil keren dan mereka nilai bagus, mereka siap ngasih beasiswa untuk setiap personel. Jadi intinya, gue ingin lu gabung di grup band kita sebagai bassis.”

            Dedot melihat ada setitik harapan di depan mata. “Gue mau aja sih. Tapi…”

            “Gue nilai lu tuh bassis jagoan.”

            “Apakah perlu ada audisi?”

            “Kalo gabung jadi bassis, pasti diterima dong. Tapi kalo lu ngelamar sebagai vokalis, pasti gue tolak. Hehehe…”

            “Kenapa why?” Dedot kembali keminggris. “Vokal gue jelek?”

            “Jelek sih nggak. Cuma lebih baik lagi kalo lu nggak nyanyi. Hehe…”

            Dedot memasang muka tidak suka. “Nyebelin lu.”

            “Asumsi gue begini. Lu sebagai anak tukang nasi uduk pasti suka juga nasi uduk. Ya kan? Nah, orang yang suka nasi uduk biasanya sih doyan lauknya yaitu semur jengkol. Betul kan? Karena itu gue nggak mau lu jadi vokalis. Apalagi lu nyanyi pas habis makan semur jengkol. Hehehe…”

            “Lichelle vokalnya bagus. Kenapa nggak rekrut dia?”

            “Gue sama Happy emang maunya gitu. Jadi kita sepakat supaya BJ deketin dia supaya gabung. Hehehe.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status