Share

[Bab 8] Tragedi Tiga Tebing

Sudah dua hari berturut-turut liburan di Pulau Misool berlalu. Dua hari berturut-turut pula aku dihantui rasa gelisah, marah, dan berbagai tragedi. Belum ada setitik pun kebahagiaanku yang terwujudkan dalam harapan. Kukira liburan dengan sahabat itu menyenangkan, bisa bersenda gurau tanpa batasan. Tapi buatku rasanya tidak, malah merekalah yang membuat masalah.

Hari itu rencana makan di restoran aku urungkan. Aku kembali ke vila seorang diri. Alma dan Aisyah aku tinggalkan di restoran. Lagi-lagi air mata berlinang di permukaan pipi, hatiku keruh kembali. Padahal belum sepenuhnya aku terjun ke dunia percintaan, tapi rasanya udah enek, gak tertarik tentang urusan remaja itu. Aku ingin kembali seperti dulu.

Sambil duduk bersandar di kasur vila kamarku, berulang kali kuusapkan kelopak mata ini dari linangan air mata. Hatiku sesak dibuatnya. 

Pikirku kembali melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu, saat usiaku baru menginjak 7 tahun. Waktu itu aku dan Papa melakukan kegiatan rutin berkemah di hutan sebagai bentuk kecintaan kami pada alam. Waktu itu hari masih terang disinari mentari cerah, pohon-pohon rindang seolah mengelilingi kami yang rendah di bawah, di atas tanah. Berbagai macam spesies hewan juga tak kalah beragamnya. Saat itu aku sangat senang, bisa melihat beberapa binatang yang jarang kutemui atau bahkan gak pernah kujumpai sama sekali. Ada berbagai macam jenis ular, burung, dan serangga dengan bentuk dan warna beragam. Sesekali kudongakkan kepalaku menyisiri tingginya bumi sembari melihat burung-burung merpati terbang kesana-kemari.

Namun sepertinya sebuah tragedi menimpa dua ekor merpati putih yang sedang melintasi pohon tinggi di dekat kami. Keduanya menabrak ranting pohon rindang itu dengan kencangnya, hingga mereka berdua terjatuh menggelepar di hadapan kami. Papa kemudian mendekati kedua burung malang tersebut, ia menganalisa. Merpati betina masih hidup dan tergeletak di tanah dengan sayap kanan yang patah, namun merpati jantan tampaknya mati terpancang oleh kayu tajam yang ditancapkan Papa ke tanah untuk menjemur baju kami yang basah terkena hujan semalam.

Papa berkata bahwa sepertinya merpati jantan sedang mencari perhatian si merpati betina. mengikutinya ke sana-kemari dan kemudian terjadi tragedi. "Malangnya nasib si jantan, cinta bertepuk sebelah tangan", begitulah komentar Papa kepada merpati jantan yang tergulai tak bernyawa. Waktu itu usiaku masih terbilang bocah, gak paham apa-apa. Tapi sekarang aku sadar bahwa:

"Cinta yang hanya mengandalkan satu pihak saja takkan berbuah sempurna, hanya meninggalkan tragedi yang merugikan diri semata"

Walaupun aku belum tahu kelanjutan kisah Raka yang habis kutolak mentah-mentah, tapi kuharap sebuah tragedi gak akan terjadi. Baik dari dirinya atau diriku.

Aku gak suka kiasan, gak suka menyamakan suatu hal dengan hal lain dengan objek yang berbeda. Tapi gak bisa kupungkiri, banyak kejadian yang seolah cocok dengan kiasan. Seolah mengulangi atau mempraktikkan kejadian itu sesuai skenario.

Tok-tok-tok. Balon lamunan dalam pikiranku terpecah mendengar suara gedoran pintu dari luar kamar. Pandanganku kembali menatap nyata. Beralih menatap pintu berwarna coklat. Entah perasaan dari mana, tapi sepertinya aku tahu siapa orang di balik pintu itu.

"Sa ... ini kami, Asyah, Alma." Sudah kuduga, feeling-ku gak pernah keliru. Itu Alma dan Aisyah, yang bergumam itu sudah jelas Aisyah.

"Masuk," ucapku dengan nada mendayu-dayu.

Alma dan Aisyah memasuki kamarku sambil membawa nampan rotan dengan alas kaca yang di atasnya teronggok sepiring makanan dan segelas minuman. 

"Lo kenapa?" Pertanyaan klise itu dilontarkan Alma sambil menahan kawat giginya yang menyembul ke depan. 

Bagaimana bisa aku menceritakan semuanya ke mereka tentang Raka. Menceritakan tentang kejadian semalam di danau romantis itu yang malah menurutku gak ada romantis-romantisnya. Aku memandang mereka sembab, sedangkan mereka berdua menatapku dengan wajah khawatir. "Gue gak papa, kok."

Alma meletakkan tatakan rotan itu di kabinet coklat mengilat di sebelah tempat tidurku. "Baru kali ini lo gak mau cerita sama kami, Sa." si badut kota tu menduduki pantat teposnya di lantai kamarku yang dialasi ambal berbulu. Ia mendongak ke atas, fokus menatapku.

"Bener, Sa. Sebenarnya semalam kami udah curiga ada apa-apa sama lo, tapi kami masih menghargai privasi lo. Tapi kayaknya sekarang justru masalah makin parah. Tadi Agra lewat restoran dengan muka cemberut. Lo ribut ya sama dia?" Kali ini Aisyah ikut bersandar di kasurku sambil mengelus-elus jemari kiriku. "Astaghfirullah. Maaf, gue sampai suuzan gitu sama kalian."

Mereka terus menatapku dengan penuh tanda tanya dan rasa prihatin. Malah sekarang lebih parah, Agra yang gak punya masalah apa pun jadi bahan tuduhan Aisyah. Mau cerita tapi ragu-ragu, kalau gak cerita jadi gelisah. Unek-unek yang ngendap di hati itu  bagai serbuk kopi. Aku benci kiasan!

Setelah beberapa menit membisu, rasanya aku harus segera menceritakan ini pada mereka. Siapa lagi kalau bukan mereka tempat mengaduku? Papa gak mungkin, soalnya dia udah menaruh harap pada Raka dan Agra untuk gak buat aku nangis, walau mereka mengingkari. Aku menghela napas, menenangkan pikir, dan kemudian menjawab tanda tanya mereka. "Bukan Agra, dia gak salah."

"Tuh, kan. Lo udah fitnah dia Cha." Alma menggelegarkan suaranya sembari menunjuk Aisyah karena sudah asal menuduh.

"Ma ... maaf, Sa. Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah."

"Terus, siapa yang buat lo nangis?" lanjut Alma dengan nafsu gibahnya. 

Aku merubah posisi duduk menjadi tegak tanpa bersandar. Kemudian kumuntahkan semua isi hatiku, unek-unekku, serbuk kopiku, atau apalah itu pada mereka. Dari awal ketika ikut dengan Raka mencari angin sore, sampai tragedi turun tebing sambil ngeraba, semuanya kuadukan pada mereka. Mimik wajah Aisyah tampak sedih ketika aku menceritakan bagaimana aku turun tebing sendirian di kala hari mulai gelap. Semakin kudramatisi cerita, semakin keruh pula wajah Aisyah prihatin padaku. Berulang kali ia mengelus punggungku, menyabarkan. Ya nangis lah aku lagi cerita digituin, kek kelen enggak aja. Loh, kok jadi logat Medan?

"Emang laki-laki itu sama aja. Brengsek!!" komentar Alma dengan wajah emosi yang menggebu. Tangannya mengepal kosong, alisnya merengut keruh.

"Huusstt ...." sergah Aisyah pada Alma yang keceplosan bicara frontal.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00. Kami masih berada di kamar dengan gibahan yang sudah merengsek ke mana-mana. Dari cerita semalam soal Raka, malah berlanjut cerita saat sekolah dulu, dan baru terselesaikan saat alarm perutku berbunyi. Baru ngeh kalau dari siang tadi aku gak ada makan sedikit pun apa-apa.

"Astaga! Makanan lo dingin nih, Sa." Alma mengambil tatakan rotan yang dari tadi menganggur di atas kabinet sebelahku. Mereka sampai lupa nawarin aku soal makanan yang mereka bawa tadi siang. Untungnya makanan itu di segel dengan plastik pembungkus agar awet. 

"Gimana kalau kita makan di ruang makan aja? Nanti bau kamar lo, Sa." Saran yang bagus dari Aisyah. 

Latar berganti di ruang makan vila yang berhias furnitur dan penataan bertema etnik, sebagian besar material ruang makan terbuat dari kayu dan bambu. Di dindingnya terhias peta Indonesia yang dibuat dengan triplek yang mengilat karena pernis. Lampu-lampu ruangan itu didominasi dengan warna kuning. Beberapa hiasan yang terpampang di atas meja terbuat dari kulit kerang, cangkang siput, bahkan ada wadah yang berisi butiran pasir pantai putih.

Seperti biasanya, Alma yang kurasa baru tahu tempat ini setelah dua hari tinggal sedang asyik berswafoto berlatar dinding berhias peta Indonesia itu. 

Aisyah sibuk membuka plastik segel dari makanan yang mereka pesan di restoran tadi siang. Untuk makananku yang kutinggalkan di resto tadi siang mereka bawa pulang.

Kepalaku sibuk mencari-cari Raka dan Agra, tapi mereka gak ada di vila. Sunyi. Kurasa Agra merajuk karena tadi siang aku membentaknya dan memupuskan hipotesanya yang benar. kalau Raka aku gak tahu dia ke mana.

Makan malam kami langsungkan. Bukan perempuan namanya kalau segala hal gak dibarengin dengan gosip. "Lo gak solat, Cha?" Aku membuka duluan pembicaraan dengan menanyakan Aisyah yang kurasa lupa solat magrib.

"Enggak, hari ini gue dateng bulan," jawabnya singkat dan langsung menandaskan feeling-ku. Tangan kanannya sibuk mencampur kuah soto dengan nasi menjadi padu. Potongan-potongan daging kambing bertaburan di atas tumpukan butiran nasi.

"Oh iya, Sa. Anyway ... lo yakin kita bakal lanjut ke Puncak Jayawijaya setelah dari sini?" Pembicaraan tersambung ke Alma yang baru saja mengantongi gawainya.

"Mungkin aja."

"Dengan membawa si Raka itu ke sana? Lo yakin?"

"Makanya itu yang jadi masalah. Gak mungkin juga gue usir dia dari rencana trip kita."

"Lagi pun, Agra ribut kan sama lo? Kayaknya dia juga gak bakal ikut ke puncak kalau hubungan lo sama Agra gak segera membaik."

Aku menaikkan bahu tanda gak tahu apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus melanjutkan harapanku yang bukan hanya sekadar trip liburan belaka? Atau harus mengalah dengan kembali pulang ke rumah? Ah! Rasanya gak rela harapanku ke Jayawijaya pupus, padahal ini kan permintaan terakhir aku sebelum .... Duh, teringat kata-kata dokter waktu itu.

"Gimana nih, Ustazah Aisyah?" Alma menyikut Aisyah yang tunduk saja ke makanannya.

Aisyah menoleh, kemudian menghela napas. "Terserah Osa aja, sih. Tapi kalau menurutku lo harus minta maaf segera ke Agra, Sa. Tapi soal Raka memang lo pantas marah, kalau mau lanjutin trip sebisanya lo bicara baik-baik agar dia gak ikut trip kita. Gue bakal terus bantuin lo kok, Sa.

Pandangan kutundukkan, merenungi omongan Aisyah yang ada benarnya juga. Tapi bagaimana minta maaf sama Agra yang jutek begitu? Jangankan minta maaf, bicara aja susah sama itu orang. Lagi pula, dia entah di mana sekarang. Mungkin terdampar di pulau kecil tak berpenghuni? Gak mungkin. Tapi mungkin juga, kan dia nolep.

~~~~~

Hari kembali berganti. Ini sudah hari ketiga kami berpetualang di Pulau Misool dengan segala tragedinya. Tapi sepertinya niatku untuk diving dan snorkeling bakal kuurungkan lagi, soalnya dari semalam Agra gak balik ke vila. Gak ada kabar juga.

Kalau Raka semalam Alma bertemu dengan dia balik ke vila sebentar buat ambil baju sekitar pukul 01.00, katanya dia bakal bermalam di tempat teman lamanya yang menetap di Misool Selatan. Biarlah dia di sana, lagian kenalannya juga banyak di mana-mana, dia kan petualang. Bagaimana mungkin aku tinggal satu vila dengan orang yang udah nyakitin perasaanku? Risih pastinya.

Pagi itu rasanya bosan. Celingak-celinguk gak jelas di dalam vila. Bukan aku banget. Luka di lutut juga belum membaik, malah semalam waktu manjat tebing terbesot lagi. Gak kering-kering, bernyenyeh, bagaimana mau nyebur kalau gini kondisiku?

Badanku gerayangan bak cacing kepanasan, guling sana-sini di atas sofa ruang TV. Hingga Aisyah yang menyadari kalau aku lagi bosan mengahampiri. "Mending kita ke destinasi lain  yang ada di dekat sini. Daripada nunggu luka lo kering, kan gak lucu kalau kita habisin waktu trip di sini cuma nunggu luka lo sembuh?" Akhirnya ada bidadari yang mampu menyelamatkanku dari belenggu kebosanan ini.

"Destinasi apa yang ada di sini selain nyebur ujung-ujungnya?" Aku mendongak ke Aisyah yang berdiri di dekat sofa tempatku menggelepar. Lagian mana ada destinasi lain di Pulau Misool ini kalau gak lain dan gak bukan segala hal yang berkaitan dengan air.

Icha menggeleng sambil tersenyum seolah berkata, "Astaga, goblok banget ini orang". Tapi kayaknya gak gitu, sih, Aisyah kan religius banget.

"I-iya, sih. Soalnya di sini banyak pantai. Tapi kan gak harus nyebur juga, gue juga gak nyebur kok. Paling foto-foto doang." Tuh benar kan kataku. Memang pantai-pantai di sini indah-indah, tapi masalahnya ini nih, luka yang tambah perih kalau kena air, apalagi air asin.

"Ya udah, daripada enggak sama sekali. Tapi di mana?"

"Pantai Kal ... lek, ya di Pantai Kalek aja, soalnya di sana sunyi, gak ramai pengunjung," sergah Alma yang kesusahan mengucap nama pantai itu ketika searching di G****e.

Aku mengangguk saja tanda setuju. Habisnya, mau gimana lagi, salah besar kalian liburan ke Raja Ampat jika pantang kena air. 

Tanpa basa-basi kami bertiga pergi ke lokasi tujuan dengan berjalan kaki. Untungnya hari ini cuaca mendukung-gak dingin-gak juga panas. Sejenak pikirku tentang keberadaan Agra teralihkan. Semoga anak itu gak tenggelam aja.

~~~~~

"Lo tahu, Sa, Cha, dulu waktu gue awal-awal masuk dunia model di SMP, gue punya temen yang mukanya mirip banget kayak Osa." Alma merangkul bahuku sambil berjalan pelan menuju lokasi. "Apalagi liat lo pakai baju pantai gini, plus topi pantai gini nih, jadi keinget dia." Topi floopy krim yang kupakai dipegang oleh Alma sambil terus bercerita.

"Ah, ngawur lo. Mana mungkin gue ikut terjun ke dunia menor kayak gitu. Ogah!"

"Lah, kan gue bilang mirip, kok elo yang merasa, sih."

"Ya terus-terus, siapa namanya?"

"Oh my salamander Osa ... di dunia model atau entertainment, kami gak pakai nama asli buat nyebutin diri, ya gue gak tahu nama aslinya. Kalau nama samarannya gue tahu."

"Siapa?"

"The Clausa Baron."

Aku melongo menghadap Alma yang ada di sisi kiriku, mencoba menelaah nama panggilan orang yang katanya mirip aku itu. "The Clausa Baron?" Nama samaran yang Inggris banget. Pasti orang itu lebih narsis dari Alma. Bibirku cuma bisa nyengir mendengar nama seperti itu. 

"Iya, tapi bentar dulu, lo jangan salah kaprah bilang kalau dia star syndrome, dia itu malah sebaliknya, dia pemalu juga tertutup banget. Jadi anak-anak yang main di circle kami nyebut dia 'The Clausa Baron' yang artinya 'bangsawan yang tertutup', seriusan gue gak bohong." Aku menaikkan pundak, gak mau tahu bualan badut kota ini. Lagian mana mungkin ada kembaran yang mirip denganku yang kepribadiannya berbeda. Pemalu? Kalau malu-maluin sudah pasti itu aku.

"Tapi kasihan sih lihat hidupnya." Alma melanjutkan ceritanya dengan nada merendah, menatap ke depan, dan melepas rangkulannya dari pundakku. Aku menoleh, kemudian menunduk kembali sembari menyapu pasir putih pantai yang hangat. "Dia memang cantik, Sa. Tapi kayaknya ada yang gak beres dari hidupnya, kayak dipaksa gitu sama ibunya."

Dipaksa? Haduh ... semakin gak beres aja cerita ini orang. Udah kayak di film-film sinetron, kawin paksa, kerja paksa. Entahlah. 

"Dia yatim, ayahnya udah meninggal. Tapi untung ibunya orang kaya raya, jadi gak begitu menderita." Aku diam saja menatap wajahnya yang sayu karena ceritanya sendiri. Sampai keisengan terlintas di pikiranku.

"Kalau lo sebutannya apa?" tanyaku sambil tersenyum sebelah.

Seketika raut wajah badut kota berganti, menjadi lebih berenergi. "Kalau gue sering disebut 'Pretty Pinky', karena gue suka merah muda."

"Pfftt ... pretty dari mananya? Kalau Prett aja gue setuju itu. Hahahaha ...." Sontak ketika mendengar nama samaran Alma aku langsung tertawa terbahak-bahak. Aisyah yang di sebelahku menutup mulutnya yang ikut tertawa kecil.

"Lo itu cocoknya disbut 'Alma Si Badut Kota'."

Ia merengut kesal mendengar ejekkanku. Aisyah menyikutku sambil terus menahan tawa. Akhirnya badut kota itu mengehentikan kotekkannya. kami lanjut berjalan tanpa ada satu gelombang suara pun terdengar, kecuali embusan lembut angin. Tapi tiba-tiba pikiran anehku mengingat sesuatu sehabis mendengar cerita Alma. Apa mungkin dia ....? Ah! Mana mungkin, kata Agra jangan sok tahu, sok asal nebak. Dasar olm.

~~~~~

Deru-deras ombak gak begitu terdengar kuat di Pantai Kalek tempat kami sekarang menikmati sebutir keindahan Pulau Misool. Tempat di sini bersih, gak ada sampah sedikit pun, mungkin karena pengunjung gak terlalu sering ke pantai ini, atau malah mereka gak tahu pantai ini? Tapi baguslah, sunyi, tenang, seperti dunia milik kami bertiga. Tapi feeling-ku merasa ada orang keempat di tempat ini, tapi siapa?

Pasir di tempat ini lebih cerah, gak banyak jejak kaki orang lalu-lalang di tempat ini kecuali kami bertiga. Pohon kelapa menjulang tinggi dan menunduk di puncaknya, membuat bayangannya meneduhkan panas. Hamparan lautan luas nan panjang membuat gradasi bermacam warna yang menandakan kedalamannya, mulai dari hijau, biru, hingga biru pirus, serta toska berpadu melungkis dunia. Untungnya hari ini cuaca gak begitu terik dan gak juga begitu mendung. Jadi pas untuk berfoto dengan panorama alam terbuka.

Ckrek ... ckrek. Berbagai macam gaya diposekan oleh Alma dengan eloknya. Wajahnya berubah-ubah setiap kali telunjuk Aisyah menjepret ke arahnya. Congornya maju-mundur, pinggulnya belok sana-sini, hingga lehernya seolah berputar 360 derajat terus-terusan berganti pose.

"Woy, foto sama-sama kek, lo keasyikan foto sendiri," ketusku sambil menyayukan mata karena angin kencang menerbangkan pasir pantai.

Alma cengengesan saja. Akhirnya kami bergantian menjepretkan diri dengan pose beraneka ragam. Untuk foto bertiga kami gunakan timer 10 detik lalu menaruh kamera Canon milik Alma di atas dipan kayu yang teronggok di bawah pohon kelapa. Dan tiga ... dua ... satu .... Ckrek! Jepretan terakhir kami setelah ribuan pose kami tunjuk tanpa menenal malu. 

Dengan tidak sabar aku berlari dan langsung mengambil kamera tersebut untuk melihat hasilnya. Kepala kami bertiga saling berhimpitan demi melihat layar kamera yang kecil. Kami tertawa melihat pose gila masing-masing. Hingga Aisyah baru menyadari ada yang janggal dari foto kami bertiga yang berlatar tebing itu. 

"Astaghfirullah, Penampakkan!" Dengan panik Aisyah menunjuk ke atas tebing dalam kamera yang kupegang.

"Bukan penampakkan, itu A-Agra." Aku mendongakkan kepala, beralih dari layar kamera menuju atas tebing yang menjulang. Ternyata Agra di sana, di atas tebing itu duduk bersilang membaca buku tebalnya.

"Agra ...!" jeritku senang dan langsung mendaki tebing tempat anak itu berada. Alma dan Aisyah menunggu di bawah sambil terus menatap ngeri aku yang manjat tebing laksana monyet berayun, hinggap sana-sini, merangkak, merayap, dan akhirnya sampai ke puncak. Untungnya gak ada luka baru disepanjang aku memanjat tebing. Mungkin aku sudah ahli mendaki.

Aku duduk di sebelah Agra yang masih terus berfokus pada buku tebalnya. "Gra, lo ke mana aja semalam? Kok gak balik ke vila?" tanyaku menggebu-gebu dengan napas tersengal karena manjat tebing tadi.

Agra gak menoleh sedikit pun, bahkan gak berganti pose. "Gra ... jawab dong. Chk, Agra ...." Baru setelah kupukul-pukul pundaknya, dia menoleh sinis padaku. Aku meleot seketika, pandangan Agra sangat tajam, apalagi ketika merengut begini.

"Lo mau apa?" jawabnya pedas sambil memangku buku tebanya di teklapak tangan kirinya.

Aku teringat pembicaraan Aisyah semalam di ruang makan, aku harus segera minta maaf ke Agra karena kesalahanku waktu itu. "Gue ... gue minta maaf, Gra."

"Soal apa?"

"Soal kemarin di atas tebing. Semua omongan lo waktu itu benar, Raka udah buat aku kecewa dengan pernyataannya."

Agra merubah posisi duduknya serupa denganku-kaki digantung menjulang ke bawah dari atas tebing. Buku tebal yang masih terbuka ia lipat salah satu halaman kemudian menutupnya. 

"Bukan masalah," katanya datar. Pandangan ia tujukan ke depan, rambut bowl cute-nya tersibak angin.

"Jadi lo udah gak marahan nih sama gue?" Wajahku mulai sumringah.

"Bahkan gak pernah."

"Yes! Ngomong-ngomong semalam lo ke mana? Kok gak balik ke vila?"

"Gak perlu tahu."

"Aishh ... yang bikin gue sebel sama lo yaitu gak pernah ngasih kepastian yang jelas." Wajahku yang sumringah kesal kembali. Muka sok cool-nya muncul lagi. 

"Kenapa gue ngasih kepastian buat hidup yang gak pasti ini?" Aku melongo mendengar kalimat puitisnya, kemudian berpikir, benar juga apa katanya. "Tapi syukurlah lo udah mau ngakuin kelihaian gue dalam berhipotesa."

Dengan segala keterpaksaan demi menjaga perasaan orang random ini, aku menjawab dengan senyum palsu padanya. "I-iya, hehehe ... lo keren."

"Jadi mana sekarang si Raka itu? Pasti dia gak pulang juga kan ke vila?" Agra mengalihkan pembicaraan, mencoba menganalisa di mana Raka. Benar saja, analisanya benar, gak sepertiku yang menerka-nerka dengan berpatokan pada kepekaan.

Kali ini dengan lebih transparan dan terbuka aku menceritakan posisi Raka sekarang. Dia tinggal di Misool Selatan bersama temannya, kataku pada Agra yang mendengar aku bercerita.

"Tragedinya lucu, cocok dibikin film berjudul, 'Tragedi Tiga Tebing', soalnya awal mula konflik lo sama Raka di atas tebing, puncaknya kemarin di atas tebing juga, dan sekarang antiklimaksnya." Agra tertawa kecil atas beberapa tragedi yang terjadi padaku. Kalau kupikir-pikir benar juga, setiap kejadian pasti terjadi di atas tebing. Hahaha, sebuah kebetulan yang pas. 

Kuterus memandangi wajahnya, senyum kecilnya entah kenapa menenangkan. Rasanya ... ah! apaansih!

"Woy! Kalau lo pada masih mau pacaran jangan di sini! Emangnya kami penonton bioskop apa, liatin kalian cinta-cintaan di panggung tebing ini?." Ada yang protes dari bawah sana. Astaga! Aku lupa ada Alma dan Aisyah yang menunggu, terlalu keasyikan bicara.

Syukurlah, slek yang terjadi padaku dan Agra gak berkepanjangan. Untungnya hari ini kami ke pantai, kalau tidak, mungkin aku gak bakal ketemu Agra. Lega rasanya, bisa berada di sisi si random ini walau gak jelas perasaanku padanya apa.

Tapi feeling-ku lagi-lagi merasa mengganjal, seolah ada hal yang tidak mengenakkan yang akan terjadi padaku. Suatu hal yang berkaitan dengan Raka. Semoga itu hanya perasaan bodohku saja, aku gak boleh mempercayai sepenuhnya tentang feeling. 

~~~~~  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status