"Udah, deh. Gak usah dipikirin orang kayak dia. Mending hari ini kita sama-sama diving, gimana? Soalnya sudah hari kelima kita di sini, tapi tujuan gue buat menyelam selalu tersendat." Setelah menceritakan kejadian tadi malam, aku cepat-cepat beralih topik pembicaraan.
Tanpa pikir panjang, aku menarik kedua pergelangan perempuan seusiaku itu, membawa mereka ke luar, menuju pantai.
~~~~~
Cuaca hari ini begitu mendukung. Langit cerah dengan cemerlangnya laut biru saling beradu, seolah mencari siapa dari mereka yang paling agung. Tebing-tebing batu yang terjal tampak jelas di sepanjang mata memandang. Udaranya tidak berdebu, karena angin lalu hanya bertiup kecil.
Gerombolan burung belibis beterbangan, berpatroli ke sana-kemari dengan gemulainya. Makhluk-makhluk darat seperti: kepiting, kerang, siput laut, terdampar pasrah di permukaan pasir yang basah. Di ujung sana, di laut lepas, tampak beberapa orang sedang berenang dengan riangnya. Tap
Random RelationSLURP!!"Ah ...." Sungguh nikmat menyedot air kelapa muda langsung dari buahnya.Duduk santai dilindungi teduhnya pondok tradisional beratap jerami kering, membuatku merasa di surga yang sesungguhnya. Sayup-sayup temaramnya angin siang membuat mata mengerjap ngantuk. Pandanganku terus disuguhkan keindahan alam pulau ini. Pohon-pohon bakau yang merambat gersang, membuat kontras warna yang begitu sempurna."Lima belas menit lagi kita balik," tegas si nakhoda abal-abal. Dia sibuk membenarkan mesin kapal yang aku pun tidak tahu di mana letak kerusakannya."Sial! Gue gak bawa baju ganti sepotong pun." Pandanganku yang tertutup kacamata hitam beralih, menatap Agra yang masih telanjang dada.Aku tidak memedulikannya. Urusan bajunya yang basah, ya itu urusannya. Orang angkuh dan songong seperti dia memang pantas dipermalukan sekali-kali, agar tidak semena-mena bicara sama orang. L
Gemerlapnya malam dunia menjadikan rembulan tampak nyata dipandang mata. Taburan bintang-bintang yang bertumpuk terang membuatnya laksana kesatria yang siap berperang. Awan-awan empuk yang mengambang, melayang, menyebar sejauh mata memandang. Hawa sejuk yang dihasilkan lautan tak kalah menusuk, membuat relung jiwa tidak kuasa menahannya. Gejolak air laut yang meluber ke bibir pantai, membasahi hangatnya tanah sedimen.Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh alam, menjadikannya bukti, bahwa waktu masih terus berjalan, menyebar ke seluruh mata angin. Waktu yang terus berjalan itulah yang menjadikan tolok ukur kehidupan bagi seinsan jiwa yang paling sempurna: manusia, apakah mereka lebih bermanfaat dari rembulan yang tak punya pikiran namun punya tujuan, atau malah mereka lebih tak berguna dari seonggok batu yang hanya berdiam menunggu ada yang menggerakkan.Cahaya lampu vila kami tidak seperti penginapan biasanya, yang temaram tenang kala malam menikam. Lampu yang
"Doain Osa ya, Pa. Semoga Osa bisa sampai di Puncak Carstensz Pyramid tanpa kendala.""Setiap hari bahkan papa selalu doain kamu ke mana pun perginya. Tapi papa ingatkan sekali lagi, Nak. Kalau kamu atau teman-teman merasa kesulitan, jangan paksakan. Ingat! Puncak Carstensz di Jayawijaya itu sangat tinggi.""Ok, Pa. Nanti kalau sudah sampai Osa bakal kabarin.Bye!"Tut ....Ponsel berlayar datar kutekan, putus sudah sambungan telepon antara aku dan Papa nun jauh di sana.Agra yang duduk santai di sampingku, masih terus fokus membaca bukunya sebelum pesawat lepas landas. Sedangkan Alma dan Aisyah sibuk di kabin belakang dengan urusannya masing-masing.Waktu tempuh lepas landas dari Sorong menuju Kabupaten Nabire berlangsung selama 1 jam 30 menit. Waktu yang lumayan lama, padahal satu pulau yang sama. Aku pikir, Indonesia itu bukanlah hanya sebuah pulau raksasa dengan butiran-butiran pulau ke
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal.Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katan
Setelah mengemasi barang bawaan, aku, Alma, Aisyah dan Agra, kini saatnya kami menyiapkan mental dan fisik. Aku mengenakan pakaian tebal dengan balutan jaketgore texdengan celana hiking yang selaras berwarna abu-abu. kedua telapak tanganku terselubung hangatnya sarung tangan tebal. Alma mengenakan pakaian yang sama jenis denganku, hanya warna saja yang membedakan. Kalian tahulah pasti warna apa yang ia kenakan: warna merah muda bercampur ungu. Rambutya menjuntai-juntai seolah ingin menerjang tanah di bawahnya. Tidak ada hari tanpa gaya bagi Alma. Dia bisa-bisanya berdandan terlebih dulu dengan lipstik merah muda mengkilau, bedak yang tebalnya laksana pondasi gedung serbaguna, dan aroma menyengat dari minyak wangi yang tersebar ke seluruh badan. "Cewe itu harus tetap rupawan di manapun dan kapan pun," katanya percaya diri. Aisyah memakai jaketgorte texhijau tua, dengan bulu-bulu lembut berwarna krim di lehernya. Jilbabnya yang
"Ayo Sa, buruan. Kita udah ketinggalan mereka." Tiba-tiba saja seseorang mengacaukan pikiranku yang sedang membayang. "Eh, i-iya...." Aisyah menarik tanganku agar segera bergegas. Langkah kaki kami percepat, menyusul para pendaki lain yang sudah lumayan jauh di depan sana. Semak-semak rimbun berkeresak ketika kami melewatinya. Napasku semakin berembun. Dan sekarang rambutku kini mulai mengering dan dingin—kaku. Semakin jalan menanjak, semakin berkabut pula udara. Untungnya kami sudah kembali ke barisan. Bulu kudukku semakin merinding kala kami tiba di Sungai Ugimba. Kali ini sebagian besar permukaan sungai sudah membeku. Bantaran sungainya san
"Bangun! Cepat pergi sarapan. Perjalanan akan kita lenjutkan sebentar lagi." Tubuhku tersentak ketika porter Aisyah—si Bongsor—nyelonongmasuk ke tenda kami. AIsyah langsung terburu-buru mengenakan jilbabnya sesaat sebelum si Bongsor masuk.Di saat itu juga, aku langsung mengganti pakaian—tidak mandi—kemudian pergi ke luar tenda untuk membasuk wajah.Di Kamp 1 ini, berbagai rombongan pendaki berkumpul padu menjadi satu. Perapian yang terbuat dari kayu kering yang dibakar, terlihat menerangi waktu subuh. Matahari belum terbit, itu sebabnya orang-orang masih bisa berleha-leha di tenda masing-masing. Karena setelah matahari menunjukkan eksistensinya, di saat itu juga pendakian yang penuh perjuangan kembali dilanjutkan."Sa, sini gabung!" tegur Aisyah yang sudah berkumpul bersama Alma dan Agra, juga para porter kami masing-masing—termasuk Kak Yewen.Aku menuruti teguran Aisyah, kemudian berlari kecil menuju me
Seperti yang sudah disampaikan oleh Kak Yewen selaku pemimpin. Hari ini ditargetkan kami akan tiba di Kamp 2. Sudah 8 hari ekspedisi menuju Carstensz Pyramid kami lalui. Puncak-puncak bersalju sudah mulai kelihatan di atas sana, namun belum bisa kami rasakan. Kawah-kawah tebing berbatu yang kering masih menemani perjalanan. Tidak ada candaan, tidak ada senyum kegembiraan, semua itu sudah sirna tertelan kejenuhan, kepenatan, hingga kebosanan bebatuan yang menjadi panorama satu-satunya. Monoton. "Kita naik sedikit ke sana, dan akan sampai di Kamp 2," Kak Yewen menunjuk tebing di hadapan menggunakan trekking pole. Tampak dari bawah sini pamflet besar bertuliskan "Kamp 2| 2.000 mdpl" teronggok tegas bersama bendera sang Saka Merah Putih. "Hufftt ...." Semuanya menghela napas panjang. Penantian hanya untuk mencapai kamp yang berjalan lama pun akhirnya terwujud. Beberapa pendaki juga sibuk mendahulukan rombongan demi cepat-cepat sampai Kamp 2 untuk beristirah